• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Risalah

Pengajaran Ilmu Politik di Pesantren, Mungkinkah?

Pengajaran Ilmu Politik di Pesantren, Mungkinkah?
Pengajian Kang Deden di Pesantren Al-I'tishom Warungkondang Cianjur yang sudah memanfaatkan sarana teknologi. (Foto: dok. FB Kang Deden)
Pengajian Kang Deden di Pesantren Al-I'tishom Warungkondang Cianjur yang sudah memanfaatkan sarana teknologi. (Foto: dok. FB Kang Deden)

Oleh Iip D. Yahya 

Dalam real politik saat ini, pesantren masih ditempatkan sebagai ‘suplemen’. Dipakai jika diperlukan dan dilupakan bila niat sudah tercapai. Diabadikan sebagai pendorong mobil mogok, yang selalu ditinggalkan setelah mesin mobil hidup dan melaju. Dukungan kiai pesantren yang kharismatis diperoleh dengan berbagai cara untuk sekedar diiklankan di media massa. Lalu bagaimana kalau tokoh yang didukung itu nantinya melakukan korupsi-kolusi-manipulasi? 

Musibah pandemi Covid-19 saat ini menjadi bukti bahwa perhatian pemerintah pada sejumlah pesantren yang terpapar, belumlah maksimal. Belum ada kajian sistematik dari pemerintah untuk mendukung para pengasuh pesantren agar tetap survive di tengah pandemi ini. Semangat untuk menuntaskan paparan Covid-19 di pesantren, tak sebesar saat para politisi itu mengincar dukungan. Tak salah jika Ketua PWNU KH Hasan Nuri Hidayatullah menegaskan bahwa selama pandemi ini, pesantren ikut terdampak tetapi tidak terdaftar. Khususnya di Jawa Barat, janji bantuan dari pemerintah provinsi untuk pesantren dalam mengatasi pandemi ini, belum terbukti.

Pendidikan Politik
Bagi dunia pesantren di Jabar, peristiwa politik paling traumatis adalah peristiwa DI/TII 1950-1962. Sedikitnya 600 pesantren di Jabar dianggap terlibat mendukung gerakan Kartosuwiryo itu. Bisa dimaklumi jika para kiai yang turun gunung melalui operasi pagar betis waktu itu, berpesan kepada para pelanjutnya, “Cukup Mama saja yang terlibat politik seperti ini. Jangan sampai anak-cucu ikut-ikutan yang akan membuat pesantren kita berhenti.” Atau jika kiai ‘alumni’ DI itu didatangi santri yang agak progresif, beliau akan berkata, “Mama dulu pernah bergabung dengan organisasi yang lebih besar, dan itu gagal. Sudahlah, belajar dan bekerja saja yang tekun.”

Tantangan saat ini dan ke depan ialah merefleksikan semua memori itu. Harus ada kemauan dari semua pihak sebagai pewaris tanah Sunda untuk kritis terhadap masa lalu itu. Tentu indah sekali jika membayangkan kembali kehidupan di era Sri Baduga Maharaja. Kerajaan Sunda hidup sebagai negeri dengan acuan etika yang sangat tertib. Ada yang tetap baik dari era itu untuk diterapkan saat ini, misalnya soal kejujuran dan sikap ksatria seorang pemimpin. Namun kondisi tatar Sunda saat ini jauh lebih kompleks dengan masyarakat yang sangat heterogen. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi saat ini lebih berat. Sekalipun pada dasarnya, sikap pemimpin ideal di setiap kurun waktu tetaplah sama: jujur, ksatria, adil, dan tidak berkhianat pada cita-cita memakmurkan kehidupan rakyat banyak.

Tak ayal lagi, pendidikan politik harus diajarkan secara komprehensif di lingkungan pesantren. Pendidikan kewarganegaraan yang menjelaskan hak-hak dan kewajiban warga negara harus kembali diajarkan. Sehingga proses demokrasi yang dilangsungkan benar-benar menjadi ajang pembelajaran, bukan pembodohan terhadap rakyat. 

Bagi kalangan pesantren, selain mengajarkan ilmu politik melalui Adabud Dunya wad Din dan Ahkamus Sulthaniyyah, juga perlu memahami secara baik ilmu politik Barat yang dianut Indonesia. Sudahilah sikap-sikap anti demokrasi yang hanya akan mengembalikan masyarakat kepada pemujaan individu. Memang, demokrasi Indonesia masih menghasilkan tokoh-tokoh kharismatis, tetapi hal itu karena pendidikan politik yang terpasung. Rakyat selalu disudutkan untuk terjerembab pada lubang yang sama karena sikap penguasa yang serakah. Mereka tidak punya kesempatan membangun sistem yang benar dan kokoh. Rakyat tidak diberi peluang untuk melakukan kontrol atas kekuasaan yang mereka amanatkan. Ketika sedikit ngotot, penguasa segera mencapnya sebagai anarkis atau separatis. Serba sulit. Di tengah kondisi itulah pesantren hanya menempati posisi pendorong mobil mogok atau pemadam kebakaran.

Pesantren sangat perlu melakukan kajian kritis atas pasang-surutnya politik pada era daulah-daulah Islam, terutama Muawiyah dan Abbasiyah. Santri dapat mengaji bagaimana ilmu pengetahuan bisa mencapai puncaknya berkat suksesnya kepemimpinan politik dua dinasti itu. Sebaliknya santri akan mengerti pula bagaimana puncak-puncak peradaban itu hancur oleh ambisi-ambisi kekuasaan. Dari kajian ilmu politik ini, akan diketahui bahwa batas antara agama dan politik sangatlah tipis. Dengan begitu santri akan mampu mengkritisi klaim-klaim keagamaan (keislaman) yang dijual para politisi mutakhir.

Dengan pengajaran dan pendidikan ilmu politik yang terstruktur itu, pesantren sejak awal bisa membagi-bagi peran. Kepada santri yang berniat menjadi politisi, pesantren membekalinya dengan etika berpolitik. Sementara santri yang memilih jalur keilmuan, bisa memahami permainan dunia politik, sehingga tidak mudah diperdaya oleh para broker politik. Kepada santri yang ingin berdagang, pesantren bisa mengajarkan kiat-kiat bisnis, aturan-hukum-perundangan di dunia bisnis saat ini. Artinya, tidak cukup lagi dengan hanya mencontohkan bahwa Nabi Muhammad dulu cara berdagangnya begini dan begitu. Realitasnya jelas berbeda. Dari praktik dagang  Nabi, kejujurannya itulah yang patut diteladani. Sedangkan untuk terjun di dunia bisnis mutakhir, santri harus berbekal ilmu ekonomi mutakhir pula.

Peluang Pesantren
Merubah kurikulum, menambah atau mengurangi, bukan perkara mudah. Di sekolah formal, hal itu berkaitan dengan proses birokrasi yang pabaliut. Sedangkan di pesantren, problemnya adalah tantangan untuk merombak konvensi, wasiat, dan tradisi yang sudah terlanjur disakralkan. Dibandingkan sekolah formal, pesantren mempunyai peluang yang lebih terbuka. Untuk memasukkan mata pelajaran ilmu politik, pesantren hanya memerlukan izin ajengan atau dewan asatidz.  Pilihan pada ilmu politik ini, karena fakta kehidupan saat ini menuntut kalangan pesantren untuk segera melek politik, agar tidak selalu menjadi bulan-bulanan permainan para politisi.

Untuk mewujudkan pendidikan ilmu politik itu, ada beberapa tahap yang dapat dilalui kalangan pesantren. Pertama, sharing gagasan antarpengasuh pesantren yang sudah terorganisir dalam asosiasi pesantren. Pesantren di Jabar saat ini terkotak dalam berbagai organisasi, sesuai afiliasi ormas, parpol, atau madzhab fikih yang dianutnya. Dari sharing awal ini akan dihasilkan beberapa rancangan: materi (kurikulum), pengajar, dana belajar-mengajar, jenjang usia santri, termasuk dampak yang akan di timbul akibat penerapan pelajaran baru ini.

Kedua, para pengasuh yang sudah sepakat itu mengadakan pertemuan. Mereka membawakan bahan (kertas kerja) yang dipresentasikan dalam forum, sesuai sudut pandang yang disepakati sebelumnya. Sebagai pembanding, bisa dihadirkan para pakar ilmu politik dan politisi yang dianggap kapabel serta kredibel. Dalam forum ini, rancangan dalam sharing gagasan dimatangkan sampai siap untuk diaplikasikan. 

Ketiga, memilih satu-dua pesantren sebagai pilot project, menilik kemampuan sarana dan prasarana yang dimiliki. Tidak mungkin menerapkan kurikulum itu secara langsung di semua pesantren yang mengikuti pertemuan. Ke pesantren terpilih inilah, secara periodik pesantren yang lainnya mengirimkan santri untuk belajar ilmu politik.  

Apabila pola ini berhasil mencerahkan para santri dalam ilmu politik, maka para pengasuh pesantren dapat melanjutkannya dengan menerapkan ilmu ‘duniawi’ yang lainnya. Misalnya ilmu pengobatan, kesenian, ekonomi, dan lain-lain. Jika pesantren A menjadi percontohan bidang ilmu politik, maka pesantren B menjadi pilot project ilmu pengobatan, dan pesantren C untuk kesenian. Demikian seterusnya.

Walhasil, dengan pembelajaran ilmu politik ini, pesantren secara sadar memandang perlunya santri mengerti dunia politik. Trauma masa lalu biarlah berlalu seiring perjalanan waktu. Sebab jika membiarkan santri sekedar menjadi bobotoh parpol atau politisi tertentu, hal itu akan menghasilkan sejarah yang lebih pahit lagi. Dengan pilihan itu, pesantren membuktikan diri tidak setengah-setengah dalam membimbing santri. Santri diberi wawasan seluas-luasnya dalam berbagai bidang kajian. Dengan inovasi ini, tidak berlebihan jika pesantren di masa depan diprediksikan akan sangat menentukan kehidupan di tatar Sunda. Bukan nabeuh maneh, hal ini semata karena pesantrenlah yang memiliki peluang paling terbuka untuk segera melakukan pembenahan kurikulum pendidikan, di saat bangsa didera krisis tak kunjung usai ini. 

Penulis adalah Direktur Media Center PWNU Jabar


Editor:

Risalah Terbaru