• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Opini

Transformasi Organisasi PMII, Resistensi dan Solusinya (2)

Transformasi Organisasi PMII, Resistensi dan Solusinya (2)
Logo PMII (NU Online)
Logo PMII (NU Online)

Oleh Heri Kuswara

Resistensi terhadap Transformasi Organisasi
Esensi dari transformasi adalah perubahan organisasi (organization change). Dalam implementasinya perubahan ini dapat berupa apa yang dikerjakan (fungsi), cara mengerjakannya (metode), mekanisme kerjanya (prosedur), alat atau media yang digunakan (tools), alokasi dan distribusi personil sesuai potensi (SDM), dan lain-lain. 

Tentunya spektrum transformasi yang dilakukan tidak mesti dilakukan di semua tingkatan atau lini dalam sebuah organisasi. Perubahan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan nilai strategis yang akan dicapai. Transformasi dilakukan untuk mengubah atau memperbaiki cara atau model atau metode dari teknologi lama ke yang yang baru, bahkan transformasi dilakukan untuk menggeser atau mengganti orang lama dengan orang baru yang lebih kompeten. Itulah yang kita kenal sekarang dengan istilah disruptif.

Pada dasarnya manusia hampir sama dengan makhluk lainnya yaitu tidak suka dengan perubahan. Secara natural manusia mempunyai cara atau “pola” dalam melaksanakan tindakan, merespons dan cara berpikir. Kebanyakan pola atau persepsi ini memang banyak menghemat energi. Perubahan terhadap persepsi dan pola tindak, jelas kurang disukai karena kita harus memprogram ulang respons kita. Jelaslah bahwa secara anatominya, resistensi terhadap perubahan adalah rasional, bukan tidak mungkin dalam setiap transformasi organisasi tidak ada resistensi, tak terkecuali resistensi pada organisasi kemahasiswaan yang meskipun pengurus dan anggotanya terdiri dari usia pada generasi Y (milenial) dan generasi Z yang sangat familier dengan teknologi informasi dan komunikasi berbasis online dan digital. 

Namun mungkin sebagai agent of change, mahasiswa yang merupakan komunitas intelektual dan masyarakat ilmiah, sumber resistensi terhadap program transformasi teknologi ini, hadir dengan skala kecil.

Resistensi dapat datang dari individu maupun organisasi. Setidaknya ada empat faktor utama kenapa individu menolak perubahan (transformasi) yakni faktor habit (kebiasaan lama), faktor keamanan yaitu ancaman terhadap posisi/jabatan dan ancaman terhadap keterampilan/keahlian (lama), faktor takut terhadap Ketidaktahuan (far of the unknown) dan faktor munculnya distorsi informasi. 

Ternyata organisasi pun mempunyai daya resistensi terhadap perubahan (transformasi). Sepertinya, hukum-hukum fisika juga berlaku di organisasi, bahwa untuk mengubah suatu struktur diperlukan energi aktivasi. Namun pada prakteknya resistensi organisasi mudah untuk ditemukan. Lihatlah beberapa organisasi pemerintahan/swasta yang SDM-nya datang silih berganti namun tetap saja tidak ada perubahan yang berarti. 

Demikian juga lembaga pendidikan sebagai institusi ilmiah, masyarakat intelektual dan garda terdepan dalam transformasi, kenyataannya tidak sedikit juga  yang sulit untuk bertransformasi. 

Beberapa faktor yang mungkin muncul atas resistensi organisasi diantaranya adalah faktor pertama, kelembaman struktur (structural inertia). Organisasi seolah mempunyai daya untuk mempertahankan stabilitasnya, lebih–lebih organisasi yang merasa telah mapan. 

Dengan sistem yang ada, job description, nilai-nilai kolektif, tata tertib, disiplin organisasi, mendorong personilnya untuk behavior. Sepertinya ada organization way of live, ada kekuatan yang tidak kelihatan yang menyebabkan organisasi mempertahankan “tradisinya”. 

Faktor kedua adalah keterbatasan fokus perubahan. Perubahan yang hanya difokuskan pada salah satu bagian/departemen/unit tanpa diikuti oleh bagian/departemen/unit lainnya akan menimbulkan ketimpangan, kesenjangan. Hal ini jelas akan berdampak buruk secara keseluruhan.  Institusi/organisasi sebagai sebuah sistem yang setiap departemen/bagian/unitnya saling berhubungan dan saling terkait akan menjadi tidak bersinergi.          

Faktor ketiga adalah kelembaman group (group inertia). Resistensi ini terjadi karena adanya solidaritas kelompok. Seringkali kita temui bahwa seorang individu sebenarnya mau berubah atau bahkan ingin menjadi agent of change, namun jika dalam kelompok tersebut sebagian besar anggota group menentang, energi itu bisa hilang begitu saja. Istilah fisika mengatakan bahwa energi yang mendorong perubahan masih di bawah energi ambang yang diperlukan untuk bergerak. 

Faktor keempat adalah ancaman terhadap relationship. Relationships yang sudah mapan juga memerlukan waktu yang lama untuk membangun dan meningkatkannya. Perubahan apapun yang akan mengancam relationship ini akan mendapat resistensi. 

Faktor kelima adalah ancaman terhadap alokasi sumber daya manusia. Resistensi semacam ini banyak muncul dari leader. Baik leader organisasi ataupun leader bagian/departemen/unit. Sumber daya disini adalah baik alokasi sumber daya anggaran ataupun alokasi sumber daya manusia. Resistensi alokasi SDM ini sangat sering terjadi di banyak organisasi, tidak jarang leader pada setiap organisasi atau departemen/unit/bagian tetap mempertahankan personil SDM-nya dengan berbagai alasan. Latar belakang dari Resistensi ini cukup beragam, mulai dari terciptanya solidaritas, hubungan baik, ketergantungan sampai pada rasa mempertahankan “rezim”.

Faktor–faktor resistensi baik yang bersumber dari individu maupun dari organisasi  di atas dapat berdiri sendiri atau muncul bersamaan. Semakin banyak faktor yang berperan, semakin besar pula resistensi yang muncul. (Bersambung)
 


Opini Terbaru