Opini KOLOM KANG IQBAL

​​​Tantangan Menghadang Gubernur Dedi Mulyadi

Ahad, 16 Maret 2025 | 00:29 WIB

​​​Tantangan Menghadang Gubernur Dedi Mulyadi

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. (Foto: Wikipedia)

Tak lama setelah pelantikan dirinya pada 20 Februari 2025 sebagai Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) melakukan langkah-langkah yang menarik tetapi tidak lazim bagi pejabat di Indonesia.


Ia menutup tempat wisata, villa, dan bangunan ilegal lainnya di Puncak; turun langsung membersihkan sungai Citarum dan Cipalabuan dari sampah; menginstruksikan pengerukan dan pelebaran sungai di Bekasi, Sukabumi dan Bandung; menghentikan pertambangan ilegal; membuatkan rumah panggung bagi penduduk di daerah langganan banjir di Karawang; menemui menteri ATR BPN, menteri lingkungan hidup, menteri perumahan, dan menteri kordinator pangan untuk kordinasi penanganan banjir; ikut dalam modifikasi cuaca dengan BMKG; melakukan MoU dengan BMKG; tanpa ragu kadang mengeluarkan dana operasional dengan uang sendiri; menembus formalitas  birokrasi; menemui langsung rakyat; menjadikan area hutan yang sudah beralih fungsi kembali menjadi hutan; meminta PTPN mengurusi kembali perkebunan, bukan menyewakan tanah kepada swasta; dan menjelaskan pentingnya kemanunggalan manusia dan alam yang bebasis pada ajaran Sunda sebagai ideologi kepemimpinannya dalam berbagai pidatonya dan kesempatan lainnya.


Semua itu KDM lakukan sebagai respon cepatnya atas bencana banjir di Bogor, Sukabumi dan Bekasi dan kerusakan lingkungan lainnya di Jawa Barat di awal Maret ini. Langkah-langkah kebijakan KDM ini banyak diliput oleh media nasional, apalagi media sosial. Ia  telah mengambil langkah-langkah berani dan tidak konvensional dalam mengelola lingkungan. Namun, kebijakan KDM ini berpotensi mendapat tantangan dari berbagai pihak yang merasa terganggu dengan langkah-langkahnya yang out of the box.  Keberhasilannya ditentukan sejauh mana ia mampu merespon tantangan ini untuk mempertahankan kepercayaan publik dan membuktikan komitmen jangka panjangnya sebagai pejabat dengan “environmental leadership” (kepemimpinan lingkungan).


Tantangan


Pertama, resistensi birokrasi dan kendala institusional. Pendekatan langsung KDM—seperti menutup lokasi wisata, menolak alih fungsi lahan, dan menerapkan kebijakan lingkungan tanpa prosedur administratif yang panjang—dapat menimbulkan perlawanan dari birokrasi dan institusi pemerintah. Pegawai negeri dan pembuat kebijakan lainnya mungkin menolak gaya kepemimpinannya, yang berpotensi memperlambat atau bahkan membatalkan kebijakannya.


Kedua, konflik antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Banyak inisiatif KDM—seperti mencabut izin penggunaan lahan bagi bisnis swasta dan menerapkan regulasi lingkungan yang lebih ketat—berbenturan dengan kepentingan ekonomi yang kuat, termasuk pengembang properti, sektor pariwisata, dan industri. Tekanan dari kelompok bisnis dan elit politik dapat menyebabkan tantangan hukum atau upaya lobi untuk melemahkan kebijakan lingkungannya.


Ketiga, ekspektasi publik vs. hasil kebijakan lingkungan. Meskipun KDM mendapat sorotan media dan apresiasi publik, mempertahankan kepercayaan jangka panjang membutuhkan bukti nyata dan perbaikan lingkungan yang berkelanjutan. Jika banjir tetap terjadi, aktivitas ilegal kembali marak, atau pembatasan lingkungan menyebabkan kesulitan ekonomi, maka masyarakat dapat mulai meragukan kepemimpinannya.


Keempat, kerentanan politik dan siklus kepemimpinan yang berubah. Pendekatan KDM sangat bergantung pada kepemimpinan pribadinya, yang membuatnya rentan terhadap perubahan politik. Jika ia tidak mendapatkan dukungan politik yang kuat, inisiatifnya dapat dibatalkan oleh pemerintahan berikutnya. Lawan politik atau penerus dengan agenda berbeda bisa membatalkan regulasi lingkungan setelah KDM meninggalkan jabatannya.


Terakhir, menyeimbangkan identitas budaya dengan efektivitas kebijakan. KDM mengusung kearifan ekologi Sunda sebagai prinsip kepemimpinannya dalam lingkungan. Meskipun pendekatan ini memperkuat keterlibatan publik, kebijakan yang diterapkan harus tetap berbasis ilmiah dan berorientasi pada hasil agar efektif. Jika hanya dianggap sebagai simbol tanpa dampak nyata, pendekatan ini bisa kehilangan kredibilitas di mata para ahli lingkungan dan pengambil kebijakan.


Respon Strategis Mengatasi Tantangan


Untuk membuktikan komitmennya dalam kepemimpinan lingkungan dan menjaga kepercayaan publik, KDM harus menerapkan strategi yang mencakup berbagai aspek kelembagaan, ekonomi, politik, dan budaya.


Pertama, membangun kepemimpinan lingkungan yang terlembagakan unuk mengatasi resistensi birokrasi dan kendala institusional. Ini dapat dilakukan oleh KDM melalui pembentukan satuan tugas lingkungan khusus, mendorong peraturan daerah tentang perlindungan lingkungan, memberikan pelatihan bagi pegawai negeri dalam tata kelola lingkungan, dan menerapkan sistem pelaporan publik untuk memantau pelaksanaan kebijakan.


Kedua, mempromosikan ekonomi hijau (green economy) sebagai sistem ekonomi baru untuk menghadapi konflik antara keberlanjutan lingkungan dan kepentingan ekonomi. KDM dapat memberikan insentif bagi bisnis ramah lingkungan, mengembangkan pariwisata berkelanjutan, menjalin kemitraan dengan sektor swasta untuk menciptakan ekonomi sirkular, dan mengatur praktik industri dan pertanian agar lebih berkelanjutan.


Ketiga, menetapkan target lingkungan jangka pendek yang terukur untuk mengelola ekspektasi publik dan menunjukkan hasil nyata dari kebijakannya. Misalnya, ia mengurangi polusi plastik di sungai dalam satu tahun atau merehabilitasi ribuan hektar hutan dalam dua tahun. Selain itu, transparansi data lingkungan melalui platform daring, keterlibatan masyarakat dalam program restorasi lingkungan, dan kampanye media yang menampilkan keberhasilan dapat meningkatkan kepercayaan publik.


Keempat, untuk memastikan keberlanjutan kebijakan di luar masa jabatannya, KDM  mengintegrasikan kebijakan lingkungan ke dalam strategi kebijakan provinsi Jawa Barat,m bahkan nasional. Ini dapat dilakukan oleh KDM dengan cara mendapatkan komitmen dari berbagai pemangku kepentingan, melatih pemimpin lokal untuk melanjutkan inisiatifnya, dan mendukung gerakan lingkungan berbasis komunitas yang dapat berjalan independen dari kepemimpinan politik.


Terakhir,  menggabungkan kearifan lokal Sunda dengan pendekatan ilmiah. KDM dapat mengembangkan kurikulum pendidikan lingkungan yang memadukan tradisi Sunda dengan ilmu konservasi modern, bekerja sama dengan universitas untuk merancang kebijakan berbasis riset, dan menggunakan narasi budaya dalam kampanye lingkungan agar lebih resonan secara emosional bagi masyarakat.


Kesimpulan


Dengan “environmental leadership” yang tengah dijalankannya, Gubernur Dedi Mulyadi dapat menghadapi tantangan birokrasi, tekanan ekonomi, dan keberlanjutan kebijakannya.  Keberhasilannya akan bergantung pada kemampuannya untuk melembagakan kebijakan lingkungannya, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan memastikan kemajuan lingkungan tetap berjalan di luar masa jabatannya.


Jika berhasil, KDM dapat menjadikan Jawa Barat sebagai model pemerintahan berkelanjutan dan memperkuat posisinya sebagai pemimpin lingkungan nasional dan global. Namun, jika upayanya tidak terlembagakan dengan baik, dampaknya mungkin hanya bersifat jangka pendek tanpa perubahan kebijakan yang berkelanjutan. Kepemimpinannya akan dinilai berdasarkan kemampuannya dalam menyeimbangkan tindakan cepat dengan reformasi struktural jangka panjang.


Asep Muhamad Iqbal, Dosen FISIP UIN Bandung; Director, Centre for Asian Social Science Research (CASSR)