Raihlah Ilmu dan Seni Menata Niat: Pesan Syawal untuk Para Santri
Senin, 14 April 2025 | 13:19 WIB
Ahmad Royhan
Kolomnis
Oleh Ahmad Royhan
Bulan Syawal menjadi momentum yang istimewa bagi para santri. Sejak tanggal 13 hingga 20 Syawal , pesantren-pesantren di berbagai penjuru Nusantara kembali dipenuhi wajah-wajah penuh harap. Para santri, baik yang baru maupun yang lama, memulai babak baru dalam rihlah keilmuan mereka—sebuah perjalanan panjang yang tidak hanya menuntut fisik dan intelektual, tapi juga keteguhan hati dan kejernihan niat.
Dalam sebuah kesempatan, seorang kiai pengasuh pesantren di Cirebon pernah ditanya mengenai tujuan utama lembaga pendidikan yang diasuhnya. Tanpa banyak berpanjang kata, beliau menjawab lugas, “Agar para santri menjadi orang yang benar.” Jawaban ini tampak sederhana, namun sarat makna. Dunia kita telah menyaksikan banyak sosok berpendidikan tinggi—sarjana, doktor, bahkan profesor—yang terlibat dalam praktik korupsi dan kebohongan. Sebaliknya, tidak sedikit pula orang dengan latar belakang pendidikan rendah yang hidup dengan kejujuran dan menjauhi korupsi.
Bagi sang kiai, nilai sejati dari ilmu bukan terletak pada banyaknya informasi yang dikuasai, melainkan pada sejauh mana ilmu itu diamalkan. Sedikit ilmu yang dijalani dengan konsisten dan ketulusan jauh lebih bermakna daripada segudang pengetahuan yang tidak memberi pengaruh pada perilaku, atau bahkan dilanggar.
Pandangan ini mengingatkan pada makna mendalam dari kata fiqh, atau tafaqquh fi al-din, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ta‘lim al-Muta‘allim. Dalam kitab tersebut, fiqh didefinisikan sebagai:
Baca Juga
Mengintip Sejarah Kebangsaan
الْفِقْهُ مَعْرِفَةُ النَّفْسِ مَا لَهَا وَمَا عَلَيْهَا
“Fiqh adalah pengetahuan tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban jiwa.”
Dengan kata lain, fiqh adalah pemahaman yang mengarahkan seseorang untuk mengenali apa yang mendatangkan manfaat bagi jiwanya dan apa yang membahayakannya. Ia tidak hanya soal hukum atau aturan, tetapi sebuah upaya spiritual dan etis untuk mengetahui arah hidup yang baik, lurus, dan bernilai. Maka, pendidikan sejati adalah pendidikan yang membentuk manusia untuk sadar akan tanggung jawab dirinya—baik kepada Tuhan, sesama manusia, maupun terhadap dirinya sendiri.
Berbagai motivasi mendorong para penuntut ilmu ini untuk kembali ke pesantren. Ada yang ingin memperdalam agama demi bekal akhirat, ada pula yang menaruh harapan pada keberkahan ilmu untuk masa depan duniawi yang lebih baik. Tak jarang, niat yang dibawa di awal perjalanan masih campur aduk. Namun satu hal yang diyakini para ulama: seiring waktu, niat yang semula bercampur itu akan terkikis, dan lambat laun mengerucut menjadi niat yang lebih murni, selama seseorang terus menata dan memperbaikinya.
Sebagaimana disampaikan dalam Ta‘lîm al-Muta‘allim, niat dalam belajar harus diarahkan pada hal-hal yang mendasar dan mulia. Dalam nadzom yang populer, disebutkan:
نَوَيْتُ التَّعَلُّمَ لِنَيْلِ رِضَا اللهِ وَإِزَالَةِ الْجَهْلِ عَنْ نَفْسِهِ وَغَيْرِهِ
وَلِإِحْيَاءِ الدِّيْنِ وَلِشُكْرِ النِّعْمَةِ بِالنِّيَّةِ الصَّادِقَةِ مَعَ التَّوَكُّلِ
Aku berniat belajar demi meraih ridha Allah, menghilangkan kebodohan dari diriku dan orang lain, menghidupkan agama, serta mensyukuri nikmat ilmu dengan niat yang tulus dan bertawakal kepada-Nya.
Namun niat tidak cukup hanya diucap. Ia harus terus dibersihkan, dan ditata ulang. Sebab keikhlasan itu sendiri bukan perkara yang selesai dalam satu waktu. Bahkan Syaikh Abu Ya’qub al-Susi—sebagaimana dikutip dalam Syarah al-Muhadzdzab—pernah berkata:
“متى شهدوا في إخلاصهم الإخلاص، احتاج إخلاصهم إلى إخلاص”
“Ketika seseorang menyaksikan keikhlasan dalam keikhlasannya, maka keikhlasannya masih membutuhkan keikhlasan yang lain.”
Ungkapan ini mengajarkan kepada kita, ikhlas adalah proses yang tidak pernah benar-benar usai. Ia harus terus dirawat, disempurnakan, dan diperjuangkan dalam setiap langkah.
KH. M. Anwar Mansur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, tidak lupa dalam menyampaikan nasehatnya kepada para santri -khususnya santri yang datang berkerumunan mencari keberkahan dalam kediamannya- akan keberhasilan perjalanan keilmuan tidak dapat dilepaskan dari kesungguhan (mempeng, dalam istilah khas pesantren) tiga unsur penting: murid, guru, dan orang tua. Ketiganya harus berjalan serempak. Jika satu saja goyah, maka pendidikan akan kehilangan keseimbangannya.
Bagi santri, mempeng berarti bersungguh-sungguh dalam belajar, mengesampingkan hal-hal yang bisa mengalihkan fokus dari ilmu. Bagi sesosok guru, mempeng diwujudkan dalam keseriusan mengajar. Persiapan materi, metode penyampaian, dan strategi pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan santri menjadi kunci keberhasilan transfer ilmu.
Bahkan pelajaran yang berat pun bisa terasa ringan jika disampaikan dengan penuh kesiapan yang mapan. Sedangkan orang tua, meski tak hadir langsung di ruang kelas, memiliki peran sentral. Mereka menanggung kebutuhan lahiriah anaknya—mulai dari zad (bekal) hingga perlengkapan harian—seraya tak putus mendoakan. Sebab doa orang tua adalah pintu langit yang seringkali menjadi sebab turunnya keberkahan ilmu.
Menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen, kesungguhan, dan kemurnian hati. Niat yang benar adalah kunci pembuka, sedangkan kesungguhan adalah bahan bakarnya. Jika keduanya bersatu, maka rihlah ilmu akan menjadi jalan cahaya yang tak hanya menerangi diri sendiri, tetapi juga membawa manfaat bagi orang lain dan menjadi jalan keselamatan di dunia dan akhirat.
Penulis adalah mahasantri Mahad Aly Lirboyo Prodi Fiqh wa Ushuluhu
Terpopuler
1
Tragedi Kebakaran di Pesantren Darul Qur’an Cimalaka: Kiai Cecep Ceritakan Detik-Detik Kejadian
2
Rais Syuriyah MWCNU Indihiang Ajak Tebar Salam dan Perkuat Ukhuwah
3
Jangan Takut Ombak Besar, Jika Kita Bisa Menjadi Karang
4
Innalillahi, Kebakaran Guncang Pesantren Darul Qur'an Cimalaka Sumedang
5
Pasca Konfercab, Ketua PCNU Kabupaten Bogor Terpilih Sambangi KH M Zein Zarnuji di Pesantren Raudhatul Hikam
6
RMINU Kota Bekasi Resmi Dilantik, Pesantren Didorong Jadi Basis Peradaban Nusantara
Terkini
Lihat Semua