Sebagai negara yang memiliki populasi Muslim terbesar nomor dua di dunia, Indonesia berpeluang besar menjadi pusat industri halal dunia. Hal itu ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo dan diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Atas dasar hal itu, segenap pelaku usaha terkhusus Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di seluruh Indonesia, diwajibkan memiliki sertifikat dan label halal. Selain untuk mencapai target menuju 10 juta produk bersertifikat halal di tahun 2024, sertifikat halal juga tentu sebagai upaya pemerintah untuk menjamin perlindungan bagi konsumen di wilayah kesehatan dan kehalalan produk, terutama bagi umat Muslim.
Namun dalam perjalanannya, proses sertifikasi halal produk bagi pelaku usaha baik regular maupun self-declare, tidak selalu berjalan mulus. Problematika selalu saja muncul dari berbagai faktor, mulai dari oknum pelaku usaha, oknum Pendamping Proses Produk Halal (PPH) atau penyelia halal, kendala akses dan kuota sertifikat halal, sampai dengan birokrasi dan sosialisasi sertifikat halal.
Pertama, oknum pelaku usaha. Sehebat apapun sistem yang dibangun oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) untuk sertifikasi halal, tidak akan berpengaruh jika integritas dan moralitas pelaku usaha nol besar. Hal itu dikarenakan, sertifikat halal hanyalah kertas, dan kehalalan produk adalah hal lain.
Baca Juga
Mendorong Optimalisasi Peran NU
Jika seorang pelaku usaha mendapatkan sertifikat halal, kemudian pelaku usaha itu tidak jujur dan tidak konsisten terhadap mekanisme produk yang dibuatnya. misalkan dengan mengubah atau menambah bahan lain yang terkontaminasi bahan atau indikasi haram. Baik secara syari’at atau urf, maka sertifikat halal tidak akan ada artinya. Kejujuran dan integritas pelaku usaha adalah salah satu kunci kehalalan produk.
Fakta menunjukkan bahwa seorang pelaku usaha yang pernah mendapatkan sertifikat halal berlabel “Nabidz” mencap produknya sebagai “wine halal”. Padahal, sertifikat yang diterbitkan oleh BPJPH adalah untuk produk jus buah anggur. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab penuh terhadap kehalalan produk, baik dari segi pembuatan bahkan penamaan produk yang tidak bertentangan dengan syara’.
Kedua, oknum Pendamping Proses Produk Halal (PPH). Sistem Informasi Halal (SI Halal) adalah sebuah sistem terintegrasi berbasis web yang disediakan oleh BPJPH untuk memudahkan sertifikasi halal produk. Di balik kemudahan yang ditawarkan oleh sistem SI Halal, terdapat dampak kurang baik yang dimanfaatkan oleh sejumlah oknum Pendamping PPH.
Sebelum adanya keputusan Kepala Badan BPJPH No. 8 Tahun 2024 tentang kewajiban melakukan verifikasi dan validasi sertifikasi halal di tempat produksi, banyak oknum Pendamping PPH yang melakukan pencatutan data palsu yang diambil dari internet. Sehingga sertifikat yang keluar untuk pelaku usaha, tidak benar-benar diberikan kepada pelaku usaha UMK, dikarenakan data hanya berupa foto produk yang diambil dari internet tanpa pelaku usaha yang benar-benar reel.
Baca Juga
Generasi Muda dan Memori Kolonialisme
Demikian halnya dengan kasus “wine halal” di atas, pendamping PPH tidak melakukan verifikasi dan validasi terhadap produk anggur yang sebenarnya melalui fermentasi. Oknum Pendamping PPH ini akan menyebabkan akibat yang fatal pada kehalalan produk yang sebenarnya haram.
Ketiga, kendala akses dan kuota sertifikat halal. karena pembuatan sertifikat halal cenderung mahal, berkisar antara 350.000-12.000.000 Juta. maka bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil yang pendapatannya cenderung minim, biaya sertifikat halal menimbulkan beban yang cukup berat. Sehingga pemerintah berinisiatif lewat Kementerian Agama (Kemenag) untuk meluncurkan Program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) bagi pelaku usaha UMK.
Yang jadi masalah adalah keterbatasan kuota sertifikat halal yang tidak tentu. Baik dalam segi jumlah ataupun waktu. Terkadang akses SI Halal yang menjadi tempat adanya kuota sertifikat halal, mengalami problem sistem akses seperti lemot, kode OTP yang tidak muncul, dan data pelaku usaha yang tidak terbaca. Hal itu disebabkan karena SI Halal digunakan bukan hanya oleh pelaku usaha, tetapi juga digunakan oleh Pendamping PPH, Lembaga Pemeriksa Halal, Halal Certifying Body (HCB), dan Fasilitator Halal.
Keempat, birokrasi dan sosialisasi sertifikat halal. hierarki pembagian tugas yang berkepanjangan dalam menangani sertifikasi halal, menyebabkan pembuatan sertifikat halal memakan waktu yang cukup lama. Hal itu tidaklah aneh karena proses sertifikasi halal tidak secepat membalikkan tangan.
Ada mekanisme yang harus dilalui, mulai dari pemeriksaan data pelaku usaha, pembuatan Nomor Induk Berusaha (NIB), bahan produksi, proses produksi, penentuan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), verifikasi dan validasi produk, sampai dengan keputusan komite fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Problematika lain di masyarakat adalah pelaku usaha UMK kurang tahu tentang edukasi Program Sertifikasi Halal Gratis yang dikeluarkan oleh pemerintah. Terkhusus di daerah pelosok-pelosok dengan literasi rendah. Meskipun ada sosialisasi oleh pihak kecamatan atau desa tentang sertifikat halal, tetapi hal itu tidak menyeluruh.
Hanya sebagian pelaku usaha terpilih yang bisa tahu tentang sertifikat halal. karena banyaknya pelaku usaha yang kurang melek terhadap teknologi, maka upaya sosialisasi sertifikat halal harus lebih digaungkan secara besar-besaran. Sehingga target pemerintah untuk menjadi pusat industri halal dunia akan semakin dekat.
Per 17 Oktober 2024 menjadi tahapan pertama kewajiban sertifikat halal. segala jenis problematika yang muncul, mudah-mudahan menjadi cermin perbaikan untuk penahapan-penahapan selanjutnya, hingga 17 Oktober 2034 nanti. Sehingga cita-cita menuju pusat industri halal dunia tidak hanya sebatas kehalalan formalitas di atas kertas yang mengawang-ngawang, tetapi juga benar-benar menimbulkan “Halalan Thayyiban” sesuai dengan syari’at islam.
Apalah arti sebuah sertifikat halal, jika kehalalan itu tidak berdasarkan kejujuran segenap pihak yang menjalankannya. Kita tidak mau menjadi pusat halal dunia sekadar kuantitas semata, tanpa dibarengi kualitas kehalalan yang benar. Sudah saatnya kita memperbaiki segenap aspek problematika yang muncul dan mulai memperbaikinya demi ketenangan lahir dan batin.
Redi Aryanto, Pendamping PPH Halal Centre, Mahasiswa Adab dan Humaniora, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. UIN Bandung.
Terpopuler
1
Kunjungi ITB, PWNU Jabar Bahas Penguatan Karakter dan Akses Pendidikan bagi Santri
2
Ansor Depok Dukung Camat Non-Muslim Pertama, Christine Desima: Simbol Toleransi Kota Depok
3
KH Amin Said Husni Ingatkan Pengurus NU Harus Betul-Betul Mengurus dan Bukan Sekadar Hadir di Rapat
4
Amalan 10 Hari Pertama dan 6 Hari Istimewa di Bulan Dzulhijjah
5
PCNU Cianjur Terima Kunjungan BRI: Bahas Penguatan Ekonomi dan Program Sosial
6
Kemenag Umumkan 1.223 Peserta Lolos Seleksi Nasional ke Universitas Al-Azhar 2025, Download di Sini
Terkini
Lihat Semua