• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Opini

Tantangan Diversifikasi Produk Ekonomi Pada Masyarakat Desa

Tantangan Diversifikasi Produk Ekonomi Pada Masyarakat Desa
Pasar tradisional. (Foto/freepik)
Pasar tradisional. (Foto/freepik)

Oleh Herdi As’ari

Masyarakat desa merupakan suatu komunitas masyarakat yang memiliki pola hidup sederhana. Bermatapencaharian pada umumnya sebagai peladang dan petani. Dalam hal ini, alam dan segenap potensinya menjadi “super-market” yang menjanjikan, bukan hanya untuk memenuhi hajat sehari-hari, melainkan juga sebagai rangkaian kebahagiaan yang di dalamnya terakumulasi banyak harapan. Ada juga yang berniaga atau menjadi pegawai negeri, namun jumlahnya terbilang sedikit. 

 

Dalam relasi sosialnya, masyarakat desa cenderung dibentuk oleh kesamaan demografis, geografis, dan historis yang tumbuh berdasarkan norma agama dan adat budaya leluhur secara turun-temurun, meminjam istilah Durkheim–sebagai masyarakat mekanis. Nilai norma dan adat itu terwujud ke dalam perilaku keseharian yang ramah-tamah, suka bergotong-royong, menjaga hak lingkungan, menghormati leluhur, dan toleran.

 

Kenyataan lain berbicara saat kebudayaan manusia kian berubah secara cepat dan tak terduga. Sebelum akhir dekade 90-an, suara telapak kaki kerbau dan bunyi lonceng penanda (baca: kolotok) yang menggantung di lehernya saling bersahut sejak dini hari akrab di telinga kita. Membelah gulita, menyusuri sejuknya jalan desa. Kaum lelaki sibuk menyiapkan segala hal untuk membajak sawah di pagi harinya, sementara itu kaum perempuan berjibaku di dapur guna menyiapkan logistik yang dibutuhkan. Suatu aktivitas rutinan tatkala musim penghujan tiba, yang saat ini mungkin hanya ada dalam ingatan kita.

 

Keragaman produk

 

Pertambahan jumlah penduduk dan dinamisasi kebudayaan serta-merta merbuah pola struktur masyarakat yang tadinya sederhana menjadi kompleks. Isolasi, keseimbangan, dan ketenangan sebetulnya telah diterobos oleh pengaruh-pengaruh dari luar desa, seperti sistem ekonomi, politik, birokratisasi, pendidikan, dan budaya secara umum. Tak terkecuali kebutuhan masyarakat yang paling menyehari. Bukan saja bunyi kolotok kerbau yang telah berganti menjadi suara mesin, kebutuhan dasar rumah tangga seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal pun –tak hanya berubah– tetapi juga kian bertambah.

 

Sebut saja hal ihwal pangan. Sebelumnya bisa jadi masyarakat di desa tak pernah membayangkan bahwa untuk minum saja sekarang ‘perlu’ membeli (misalnya, air isi ulang), sementara potensi air masih tersedia dimana-mana. Kebutuhan lauk-pauk pun sama. Telah tersedia banyak pilihan di pasar atau warung-warung tetangga, dari makanan olahan hingga yang cepat saji. Sebelum era ini, kakek-nenek kita cukup mendapatkannya di ladang, kebun, atau bahkan di sungai yang sudah barang tentu tak sepraktis dan tak sevariatif seperti halnya di pasar.

 

Begitu juga alat memasak. Jika dulu masyarakat hanya membutuhkan kayu-kayuan kering sebagai bahan bakar dan peralatan seadanya, kini ‘dituntut’ menggunakan perangkat praktis seperti kompor minyak, gas, bahkan energi listrik. Sebut saja alat penanak nasi yang serbaguna itu. Tempat penyimpanan/pengawetan makanan kini lebih modern dengan adanya lemari pendingin dan open (sebuah alat pemanas automatis), yang sebelumnya bisa ditaruh di atas tungku. Di masyarakat Sunda sering disebut paragan hawu atau para seuneu.

 

Kebutuhan pupuk tanaman juga sama. Bergeser ke penggunaan pupuk buatan, ketimbang pemanfaatan bio-pupuk kandang. Proses reproduksi hewan ternak, kini dapat ‘dikondisikan’ dengan rekayasa genetika dengan menggandeng tenaga kesehatan terkait. Jika sebelumnya dapat dilakukan secara alamiah, misalnya dengan saling meminjamkan pejantan oleh sesama peternak.

 

Kebutuhan akan pakaian, moda transportasi, dan alat komunikasi apa lagi. Alih-alih sebagai sarana bersosial –sebut saja misalnya handphone– telah menjadi perangkat wajib nomor wahid masyarakat sekarang. Tak terkecuali bagi masyarakat desa. Tentu saja ke-tiga item tersebut memuat derivasi-derivasi (turunan) lainnya yang lebih beragam lagi, seperti merek, model, warna, pulsa, dan seterusnya.

 

Distorsi

 

Dari perspektif ekonomi kita sepakat bahwa fenomena demikian itu merupakan bagian dari inovasi produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang kian kompleks tadi. Terlebih lagi dengan dibukannya kran pasar bebas serta fasilitasi platform digital menjadikan arus ini kian tak terbendug. Hal yang pasti dari arus ini adalah pertambahan nilai ekonomi. Akan menjadi masalah ketika pertambahan nilai ekonomi ini tidak diimbangi oleh daya perekonomian masyarakat itu 

 

Sistem dan struktur ekonomi modern yang masuk ke desa membentuk dua tipologi masyarakat. Harsojo menyebutnya sebagai masyarakat lapisan atas dan masyarakat lapisan bawah. Masyarakat lapisan atas ialah mereka (dalam jumlah populasi sedikit) yang memiliki kecakapan berkonomi berdasarkan prinsip mencari untung serta berorientasi ke luar. Lapisan ini mempunyai hubungan ke berbagai entitas ekonomi, seperti perbankan, birokrasi, media informasi, konsultan keuangan, tengkulak, dan biro bantuan hukum sampai ke kota-kota besar. Dapat dikatakan bahwa pada lapisan atas inilah terpusat segala kekuasaan ekonomi desa.

 

Sementara itu, masyarakat lapisan bawah adalah kaum petani yang dalam jumlah besar dengan tingkat pendidikan rendah serta pola hidupnya masih menggunakan cara-cara tradisional. Pada umumnya relasi antara kedua lapisan ini berbentuk kontrak kerja atau hutang-piutang yang sebetulnya tidak menguntungkan lapisan bawah yang lemah ekonominya.

 

Dua hal di atas merupakan potret keadaan sebagian kalau bukan seluruhnya masyarakat desa hari ini. Jarak yang terbentang antara ragam kebutuhan hidup dengan kemampuan ekonomi warga, ditambah struktur dan sistem ekonomi yang tak berkeadilan menyulitkan masyarakat untuk maju. Kesulitan itu akan bertambah ketika masyarakat menginginkan akses pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka, layanan kesehatan yang terjangkau, dan kebutuhan akan makanan-minuman bergizi.

 

Ada menjadi tiada

 

Kalau kita mau menapaki jejak sejarah, masyarakat desa itu tak pernah kekurangan pangan atau harta. Deposito mereka terkumpul berupa hasil bumi dan modal sosial yang solid. Pada masyarakat Sunda misalnya, terdapat lapisan tempat penyimpanan beras dari lumbung, goah, hingga padaringan, yang menandakan bahwa sistem pangan masyarakat sangat kuat. Lebih dari separuh warga memiliki hewan ternak: Kerbau, sapi, kambing, ikan, dan unggas. Tanah hak milik maupun tanah komunal (sewaan, tegalan, atau tanah pangangonan) produktif ditanami aneka palawija. Kayu-kayuan ditanam sebagai investasi jangka panjang. Menurut logika, mustahil ada warga yang terlantar dan kelaparan.

 

Namun seiring berjalannya waktu, deposito-deposito tersebut pada akhirnya harus dikonversi menjadi nilai mata uang guna mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pendek kata dijual untuk kebutuhan konsumsi. Sementara kecakapan dan kapasitas perekonomian warga masih “sama”. Kita tahu juga bahwa sebagian besar masyarakat desa tak memiliki kepastian penghasilan atas pekerjaan yang dilakukannya.

 

Selain daripada itu, para ‘penguasa ekonomi’ desa tak pernah membaca atau bahkan menutup mata kondisi real apa yang dialami masyarakat desa. Mereka hanya berfokus pada profit oriented, sementara abai terhadap social justice untuk maju bersama dan membantu sesama. Tak ayal dalam hal ini, masyarakat desa (lapisan bawah) menjadi ‘korban’ eksploitasi ekonomi di tanahnya sendiri.

 

Tentu saja di sini tidak bermaksud untuk menggeneralisir keadaan atau membenarkan sepenuhnya tipologi kelas ekonomi oleh karena tiap daerah (desa) mempunyai masalahnya sendiri-sendiri. Akan tetapi, celah kesenjangan itu siapa yang bisa menyangkalnya?.

 

Penulis adalah pemerhati budaya asal Tasikmalaya


Opini Terbaru