Opini

Menyoal Karakteristik Masyarakat Islam Indonesia

Rabu, 2 April 2025 | 08:36 WIB

Menyoal Karakteristik Masyarakat Islam Indonesia

Menyoal Karakteristik Masyarakat Islam Indonesia. (Foto: NU Online Jabar).

Islam di Indonesia adalah agama non pribumi. Meskipun demikian, agama ini kini menjadi  sebuah identitas yang melekat bagi kebanyakan para penganutnya. Agama ini pun, paling tidak, menjadi agama yang misalnya dalam hal tolerasi keberagaman melebihi negara-negara Islam yang lain. 


Tidak hanya itu, masyarakat Islam di Indonesia juga terbilang sebagai masyarakat yang mempunyai karakter disiplin, mudah bersosialisasi, dan mudah diarahkan. Sikap umat Islam Indonesia saat musim haji, misalnya, menjadi realita yang tidak terbantahkan. Sikapnya yang teliti dalam beribadah, murah senyum, hingga banyak mengalah menjadi pemandangan yang kerap disematkan kepada umat Islam Indonesia. 


Lalu mengapa umat Islam di Indonesia mempunyai karakter yang demikian? Padahal Islam bukan agama asli pribumi. Datangnya pun belakangan. Dan Islam pun pada awal perkembangannya, tidak disebarkan dan diajarkan oleh orang pribumi, melainkan oleh orang luar pribumi. 


Selama penulis memahami, mencermati dari berbagai sumber yang ada hingga merasakannya sendiri karakteristik umat Islam yang demikian elok itu, paling tidak ada beberapa alasan yang kiranya dapat dikedepankan.


Pertama, masyarakat Indonesia jaman dulu ada dalam multi kerajaan. Setiap masyarakatnya berada di bawah kekuasan kerajaan yang berbeda-beda. Karena karakteristik kerajaan yang pemerintahannya up down, maka secara tidak langsung membentuk karakteristik masyarakat yang patuh dan disiplin. Komunikasi satu arah yang ditampilkan otoritas kerajaan tidak dapat memberi celah, ruang masyarakat untuk tidak patuh. Oleh karena kondisi demikianlah maka karakteristik masyarakatnya mudah patuh dan disiplin. 


Dua karakteristik yang demikian itu kemudian berhadapan dengan ajaran Islam yang disebarkan oleh para pendatang dari luar. Karena inti dari ajaran Islam itu adalah kepatuhan dan kedisplinan dalam mengamalkan perintah Tuhan, maka saat Islam dikenalkan kepada pribumi, maka masyarakat pun tidak begitu banyak mempersoalkannya, sehingga saat agama Islam dikenalkan secara masif, masayarakat pun dapat menerimanya dengan baik. 


Kedua, masyarakat Indonesia dulu menganut sistem strata sosial yang berkasta-kasta. Sistem masyarakat yang demikian tidak memungkinkan satu masyarakat mencapai tingkatan atau level masyarakat yang lain. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan kegamaan dalam sistem kasta tidak bisa dijamah atau dijangkau oleh kasta yang lain, misalnya oleh kasta Waisya (pedagang/petani), maupun Sudra (buruh), melainkan hanya dapat dijangkau oleh kasta Brahma (pandita). Begitu pun untuk kasta Ksatria (raja) tidak bisa dijangkau, kecuali oleh  Ksatria itu sendiri. 


Saat agama Islam datang, Islam mengajarkan ajaran non kasta (QS al-Hujurat: [49]: 13). Hal inilah kemudian memberikan celah, pada saat dulu Islam disebarkan, sehingga masyarakat Indonesia berbondong-bondong masuk Islam.  Dengan sistem non kasta, setiap individu masyarakat mempunyai hak yang sama dihadapan Tuhan maupun manusia. Setiap kasta yang ada dapat diperoleh oleh siapa pun, tergantung sejauh mana seseorang itu mampu menggapai apa yang menjadi ciri dari sebuah kasta tersebut.


Ketiga, faktor alam geografis Indonesia yang tropis. Alam Indonesia yang trofis memungkinkan menjadi lahan tanah yang subur sehingga mudah untuk ditanami berbagai macam tanaman dan tumbuhan. Selain itu, curah hujan di Indonesia pun tinggi sehingga berbagai jenis tumbuhan dapat tumbuh dengan baik. Belum lagi, karakteristik wilayahnya yang berbentuk pegunungan, bukit, danau, dan lautan menambah daya hasil alam yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu, konsekuensi alam yang demikian membentuk masyarakat Indonesia yang komunal (sering berkumpul) sehingga untuk mencari kehidupan ke luar daerah sangat kecil kemungkinan. Maka dengan sebab itulah (karakter masyarakatnya yang komunal) membentuk watak masyarakat yang mudah dimobilisasi dan diarahkan. 


Keempat, faktor rasa. Masyarakat primordial Indonesia hidup dikelilingi hutan belantara sehingga alam menjadi sesuatu yang sangat penting keberadaannya. Alam bagi masyarakat Indonesia adalah guru (alam takambang jadi guru). Hidup manusia tergantung pada kemurahan alam. Oleh sebab itu tak heran, dalam berbagai kegiatan ritual, masyarakat selalu melibatkan unsur (atau hasil) alam dalam pelaksanaannya. Hal inilah yang kemudian membentuk sikap masyarakat Indonesia sangat peka dan sensitif terhadap keberadaan alam sekitar. 


Alhasil, demikianlah kiranya faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik Islam di Indonesia. Masih ada dan banyak kiranya faktor yang belum diungkap. Untuk menambah validitas, tambahan atas kekurangan tulisan ini sangat saya harapkan sekali.


Wallahu'alam 


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut