• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Mengapa di Sunda Jarang Ditemukan Candi?

Mengapa di Sunda Jarang Ditemukan Candi?
Ilustrasi: NUJO.
Ilustrasi: NUJO.

Bagi sebagian orang dari masyarakat Sunda, mungkin akan bertanya-tanya. Mengapa di Sunda jarang sekali ditemukan rumah ibadah (bangunan suci) berbentuk candi seperti halnya di Jawa yang dapat terlihat jelas dari keberadaan candi-candi bercorak Hindhu-Budha? Padahal di Sunda sendiri, dalam sejarahnya pernah berdiri sebuah kerajaan besar bercorak Hindu-Budha yaitu Galuh Pakuan-Pakuan Pajajaran yang berkembang sekitar abad ke 8 M hingga ke 16 M. Namun pada kenyataannya, sedikit sekali ditemukan bangunan peribadatan berupa candi. 


Adapun Candi Cangkuang di Leles (Garut) merupakan candi hasil dari rekonstruksi para ahli arkeologi, bukan bangunan candi yang sebenarnya. Pada mulanya, candi tersebut hanya berupa sebuah patung Shiwa yang kemudian dibentuk seolah-olah menyerupai bangunan candi.


Sementara Candi Ronggeng dan Candi Rajegwesi di Ciamis, merupakan sebuah temuan berupa lempengan-lempengan batu Lingga Yoni yang hingga sekarang masih dalam proses rekonstruksi para ahli arkeologi dan sejarawan. Begitupun dengan candi Bojongmenje di Rancaekek (Bandung) merupakan sebuah temuan berupa lempengan batu-batu yang menurut arkeolog disinyalir sebagai bagian dari struktur candi, bukan bangunan candi seutuhnya.


Lantas apa sebab di Sunda tak banyak ditemukan candi-candi seperti halnya di Jawa? Agus Aris Munandar, dkk (2011), dalam penelitiannya mengutarakan dua hal alasan mengapa masyarakat Sunda kuno tidak mengenal bangunan candi sebagai tempat peribadatan meskipun masyarakat Sunda selama delapan abad berada dalam kekuasaan kerajaan bercorak Hindu-Budha. 


Alasan pertama yaitu faktor sosial-ekonomi masyarakat Sunda sebagai peladang (huma). Karakteristik masyarakat peladang yang sering berpindah-pindah tempat menjadikan masyarakat Sunda kala itu tidak sempat untuk membangun, memelihara, dan melakukan kegiatan keagamaan seperti halnya di candi-candi. Kalau pun mereka dapat membangun dan membuat candi sebagai tempat untuk ibadah, tentunya candi-candi tersebut akan terlantar dan tidak terurus karena harus berpindah lokasi demi membuka hunian dan lahan baru untuk berhuma.


Alasan kedua yang menyebabkan masyarakat Sunda kuno tidak mengenal bangunan candi sebagai tempat peribadatan yaitu karena faktor keagamaan. Masyarakat Sunda kuno tidak mengenal agama Hindu-Budha secara menyeluruh. Mereka hanya mengenal hakikat (konsep) tertinggi keagamaan berupa satu dzat yang tak terindra yang biasa disebut Sang Hyang Jatiniskala atau Jatiraga atau Jatinistemen yang disebut Sang Hyang Tunggal. Adapun dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu-Budha hanya dianggap sebagai Hyang yang kedudukannya berada di bawah hakikat tertinggi yang tak terindera tersebut.


Sementara menurut Jakob Sumardjo (2019), alasan orang Sunda masa lampau tidak mengenal candi-candi sebagai tempat peribadatan disebabkan karena kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Pasundan tidak terpusat dalam satu kekuasaan dinasti seperti halnya kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Kekuasaan kerajaan di Sunda terpusat pada perkampungan-perkampungan adat yang ada di wilayah Pasundan. 


Dalam masyarakat Sunda lama, dikenal kesatuan dari tiga kampung. Kampung buhun (adat), kampung nagara (kerajaan), dan kampung terluar (masyarakat umum). Kampung adat merupakan kampung tertua yang dihuni oleh orang-orang yang pertama kali membuat dan membuka perkampungan. Setelah penduduk kampung adat banyak, maka dibuka lagi kampung nagara sebagai penghubung antara masyarakat dengan tokoh kampung adat yang disegani dan dihormati. Dan setelahnya, dibuat kembali kampung ketiga, yaitu kampung terluar sebagai penjaga keamanan untuk kedua kampung terdahulunya.


Keberadaan tiga kampung dalam faham masyarakat Sunda lama menurut Jakob Sumardjo (2015) merupakan faham kekuasaan trias politika Sunda. Kekuasaan dalam kepemimpinan Sunda membagi kepemimpinan menjadi tiga kekuasaan, yaitu pemilik kekuasaan, pelaksana kekuasaan, dan penjaga kekuasaan. Pemilik kekuasaan adalah kampung adat. Pelaksana kekuasaan adalah kampung nagara. Dan penjaga kekuasaan adalah kampung terluar. 
Pada masa kerajaan Sunda, pemilik kekuasaan adalah raja Sunda sendiri. Sedangkan pelaksana kekuasaan ada di tangan putera-putera atau keluarga raja yang memerintah di wilayah-wilayah kekuasaan raja. Sementara kekuasaan untuk memelihara kekuasaan raja ada ditangan masyarakat penjaga wilayah kerajaan. Biasanya, wilayah penjaga kekuasaan adalah wilayah pesisir atau wilayah perbukitan (masyarakat peladang).


Dalam perkembangan selanjutnya, putera-putera raja tidak berhenti dalam satu wilayah kekuasaan. Keturunan para putera raja mengambil peran  seperti halnya para raja untuk wilayah-wilayah yang lainnya. Jika demikian, berarti para putera raja dalam satu kondisi menjadi pelaksana kekuasaan, dan pada kondisi yang lain menjadi pemilik kekuasaan (menjadi raja) karena perannya dilanjutkan oleh penerusnya yang tentunya mempunyai wilayah-wilayah kekuasaan baru yang perannya dipegang oleh masyarakat baru pula sebagai penjaga kekuasaan. Proses semacam ini terus berkembang sesuai dengan keberadaan wilayah-wilayah yang ada di Pasundan sehingga hak kekuasaannya dimiliki oleh masing-masing wilayah. Baik itu sebagai pemilik, pelaksana, atau penjaga kekuasaan.


Atas dasar itulah, Jakob Sumardjo (2019) menegaskan bahwa karena kekuasaan di Sunda baik pada masa sebelum dan sesudah kerajaan tidak mengenal satu pusat kekuasaan yang berpengaruh pada pembuatan tempat-tempat suci bagi peribadatan orang Sunda lampau.
Namun yang menarik adalah sebelum di Pasundan terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha (Galuh-Pakuan-Pajajaran), orang Sunda telah memiliki bangunan-bangunan suci tersendiri yang disebut dengan Kabuyutan. Kabuyutan adalah satu tempat khusus yang tak dapat dikunjungi oleh sembarang orang karena tempat itu keramat dan terisolir dari hunian manusia. Dalam masa sekarang, Kabuyutan itu adalah tempat penziarahan yang di dalamnya terdapat juri kunci (kuncen) sebagai pemegang kekuasaan wilayah tersebut. Dalam Kabuyutan itu terdapat makam pembuat kampung atau pada setelah zaman Islam adalah seorang tokoh penyebar agama Islam.


Referensi: Agus Aris Munandar, dkk. (2002) “Bangunan Suci Sunda Kuna”: Wedatama Widya Sastra, Jakob Sumardjo (2019) “Struktur Filosofis Artefak Sunda”: Kelir, & Jakob Sumardjo (2015) “Sunda Pola Rasionalitas Budaya”: Kelir.


Rudi Sirojudin Abas, Penulis adalah seorang peneliti kelahiran Garut.


Opini Terbaru