• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Opini

Masihkah Pesantren Sebagai Subkultur?

Masihkah Pesantren Sebagai Subkultur?
Santri perempuan sedang mengaji kitab kuning (Foto: dok. Pesantren Assalafie, Babakan Ciwaringin Cirebon).
Santri perempuan sedang mengaji kitab kuning (Foto: dok. Pesantren Assalafie, Babakan Ciwaringin Cirebon).

Oleh Amin Mudzakkir
Salah satu tulisan Gus Dur yang sangat populer adalah "Pesantren sebagai Subkultur". Tulisan ini dikutip berulang-ulang dalam beragam kesempatan. Namun, yang mengherankan, tidak ada yang mempertanyakan lebih jauh, pesantren sebagai subkultur dari apa yang dimaksud oleh Gus Dur tersebut? Apakah sekarang hal itu masih relevan?

Tulisan "Pesantren sebagai Subkultur" berasal dari tahun 1970-an. Ketika Gus Dur menulisnya, pesantren memang masih pinggiran. Jadi, kemungkinan yang dimaksud oleh Gus Dur tersebut adalah pesantren sebagai subkultur "tradisional" dari kultur "modern" yang lebih dominan. 

Saat itu kultur modern dan teori modernisasi yang menopangnya secara epistemologis memang dominan. Di luar itu adalah subkultur yang merawat tradisi yang gagal atau enggan dimodernisasikan. Namun, alih-alih merendahkan, Gus Dur mengangkat fenomena itu ke ranah yang sejajar bahkan lebih tinggi. Pesantren digambarkan mempunyai keutamaan, sesuatu yang mulia, yang sulit dan bahkan tidak ditemukan lagi dalam kehidupan masyarakat modern. 

Akan tetapi, tidak lama setelah Gus Dur menulis "Pesantren sebagai Subkultur", dunia berubah cepat. Setelah komunisme runtuh dan, itu artinya, Perang Dingin usai, teori modernisasi pada dasanya kehilang pijakan pembenarannya. Sejak itu, suatu arus balik terjadi di mana-mana. Ekspresi agama muncul secara ektensif, terkadang eksplosif, di ruang publik. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai kultur modern ternyata tidak sedominan yang dibayangkan. 

Oleh karena itu, sejak akhir 1980-an, pendapat bahwa pesantren adalah subkultur sebagaimana dikatakan oleh Gus Dur secara perlahan sesungguhnya kurang relevan. Tidak hanya pesantren, sejak itu narasi-narasi kultural lainnya yang sebelumnya terpinggirkan mulai bergerak ke tengah. Mereka bersama-sama memperlihatkan bahwa modernisasi--jika istilah ini ingin tetap dipakai--tidak pernah mewajahkan dirinya secara tunggal. 

Meski demikian, masalahnya bukan sekadar kultural. Sejak akhir 1980-an pula kita menyaksikan pergeseran modus ekonomi politik dari kapitalisme-yang-dikelola-negara ke kapitalisme neoliberal. Dampaknya bagi pesantren--yang ini belum pernah dikaji--sangat luar biasa. Kapitalisme neoliberal tidak lagi menempatkan subkultur, termasuk pesantren, di pinggiran, tetapi menariknya ke tengah gelanggang. 

Karena di tengah gelanggang, maka pesanten yang telah "dibentuk ulang" oleh kapitalisme neoliberal pada dasarnya kehilangan daya subkulturnya. Saya sebut daya karena sejatinya subkultur mempunyai kuasa untuk menolak narasi yang berlaku di kultur dominan. Namun, setelah di tengah gelanggang, terlihat pesantren kehilangan daya tersebut. 

Saya ambil contoh narasi mengenai "perang melawan teror". Sejak tahun 2000-an, pesantren seolah berkewajiban memberi penjelasan kepada dunia (Barat, sekuler) bahwa terorisme dan radikalisme adalah bukan-Islam. Narasi ini digaungkan di mana-mana seiring dengan reproduksi konsep "moderat" yang dilawankan secara kontras dengan "radikal". Pesantren dimasukan ke dalam dikotomi ini, diminta bersuara, seakan-akan masalahnya hanya ada dalam pemahaman agama--yang memang merupakan kepedulian terbesarnya. 

Setelah di tengah gelanggang, pesantren juga sulit mengelak dari tuntutan pasar. Oleh karena itu, pesantren tidak berdaya ketika negara menawarkan standardisasi model pendidikan. Ini sesuatu yang dilematis. Meski tetap ingin mempertahankan kekhasan dan terutama independensinya, pesantren juga memikirkan cara agar lulusannya nanti bisa hidup layak--ini artinya mereka mesti mempunyai sertifikat yang diakui oleh negara. 

Kembali ke Gus Dur, kiranya pendapat beliau mengenai pesantren sebagai subkultur perlu dipertimbangkan ulang. Kenyataannya, di tengah gelanggang neoliberal, pesantren telah menjadi bagian dari kultur yang dominan. Akan tetapi, masih menjadi pertanyaan apakah di tengah gelanggang itu pesantren adalah pemain inti atau cadangan? 

Selamat hari santri 2021.

Penulis adalah peneliti BRIN


Editor:

Opini Terbaru