• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Opini

Gus Dubes Tunisia Zuhairi Misrawi dan Negeri Lumbung Peradaban Islam

Gus Dubes Tunisia Zuhairi Misrawi dan Negeri Lumbung Peradaban Islam
KH Imam Jazuli bersama bersama Dubes RI untuk Tunisia, Zuhairi Misrawi, di Tunisia
KH Imam Jazuli bersama bersama Dubes RI untuk Tunisia, Zuhairi Misrawi, di Tunisia

Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli. Lc., MA.

 

Pada awalnya ada yang sangsi apa sudah tepat seorang intelektual yang kritis seperti Gus Zuhairi Misrawi, Lc., M.A. (Gus Dubes) menjabat sebagai Duta Besar Tunisia?

 

Sudah 5 hari ini saya berjumpa dan berinteraksi secara Intens dengan Gus Dubes. Bertukar pikiran, Mendiskusikan banyak hal, termasuk khazanah pemikiran islam kontemporer dan ilmu pengetahuan secara umum.

 

Tak ketinggalan, selain melepas kangen, disertai canda-tawa yang renyah, kami juga sesekali sempat singgung diskursus terkait islam dan peradaban.

 

Diantara satu penyebabnya, karena organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU, dimana penulis dan Gus Dubes menjadi jamaahnya, kini sedang "demam" dengan wacana yang berbau unsur "peradaban" dan "kebangsaan."

 

Seperti kini sedang viral dimana-mana Halaqoh Fiqih Peradaban, Fiqih Kebangsaan, Fiqih Lingkungan, dan penulis kira menjadikan Tunisia sebagai komparasi studi sangat tepat, karena statusnya sebagai bangsa yang kaya akan sejarah.

 

Dua milenium sebelum Masehi, Tunisia dikenal sebagai bangsa pelaut. Mereka membangun kota-kota besar, seperti Kartago. Baru pada tahun 146 SM, Tunisia jatuh ke tangan Kekaisaran Rum. Bangsa Tunis terus berada di bawah kekaisaran Rum hingga masuknya Islam pada tahun 647.

 

Jadi, Tunisia pada dasarnya adalah negeri maritim. Sama halnya dengan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Eropa, juga negeri maritim.

 

Pada tahun 697, Tunisia sepenuhnya memeluk agama Islam. Sampai tahun 1881, Tunisia masih dikuasai Turki Usmani. Baru pada 25 Juli 1957, Tunisia meraih kemerdekaannya di bawah seorang pimpinan besar bernama Habib Bourguiba.

Siapa Habib Bourguiba?

 

Dia adalah teman dekat Presiden RI pertama, Ir. Soekarno. Habib Bourgaiba pernah berkunjung ke Indonesia pada tahun 1951. Atau, 6 tahun sebelum Tunisia meraih kemerdekaannya.

 

Kedatangan tokoh Tunisia ini atas undangan Soekarno. Saat itu, Presiden RI ini ingin membincang perihal gerakan kemerdekaan Tunisia. Dari sinilah, jasa besar Soekarno atas kemerdekaan Tunisia sangat besar.

 

Ia menegaskan, saat Soekarno datang pertama kali tiba, warga Tunisia berjejer-jejer di pinggir jalan. Mereka bersuka-cita melihat senyum merekah bapak Proklamator Indonesia.

 

Merekapun mengelu-elukan Bung Karno dengan identitas peci hitamnya.

 

Lantas, apa lagi yang menghubungkan Indonesia dan Tunisia?

 

Gus Dubes menambahkan ceritanya, bahwa perkembangan moderasi Islam di Tunisia sangat kaya. Bahkan, Tunisia kini juga dikenal sebagai Bumi Maqashid Syariah.

 

Maksudnya, perkembangan Islam Moderat dan Maqashid Syariah tidak bisa dipisahkan.

 

Keduanya berkembang pesat di Tunisia, yang melahirkan para intelektual muslim besar. Salah satunya adalah Muhammad Thahir bin 'Asyur (1879-1973), seorang ahli fikih.

 

Siapa yang tidak kenal Ibnu ‘Asyur? Karya-karya Ibnu ‘Asyur banyak diajarkan di pondok-pondok pesantren se-Indonesia. Antara lain kitabnya yang berjudul: Maqashid al-Syari'ah al-Islamiah, Ushul al-Nizham al-Ijtima'i fi al-Islam, Qishshah al-Mawlid, dan lainnya.

 

Dari sekian yang menarik dari pandangan Ibnu Asyur adalah tentang asas masyarakat Islam, yang diatulis dalam kitabnya berjudul Ushul al-Nizham al-ijtima’I fi al-Islam.

 

Menurut Ibnu Asyur, fitrah adalah sifat paling utama yang harus dijadikan dasar pijakan universal bagi semua hal yang berkaitan dengan Islam (Ibnu 'Asyur, Ushul al-Nizham al-Ijtima'i fi al-Islam, Tunis: Syirkat al-Tunisiah, Muassasah Wathaniah li al-Kitab, 1985, 21).

 

Jika fitrah ini dijadikan dasar segala-galanya, menurut Ibnu Asyur, tidak perlu lagi pada kaidah-kaidah khusus, yang sudah dibangun oleh para ulama terdahulu. Semua kaidah terdahulu hanya perlu dipakai sebagai teori pembantu.

 

Sedangkan kaidah-kaidah pentingnya harus terus dikembangkan oleh para alim ulama kontemporer. Jadi, peran pemikir Islam akan terus dinamis seiring perkembangan zaman (Ibnu ‘Asyur, Ushulal-Nizham, 1985: 72-73).

 

Bagaimana prinsip dasar sosial Islam dari Ibnu ‘Asyur ini berguna untuk konteks masyarakat Indonesia?

 

Jawabannya tentu terkait dengan konteks muslim Indonesia yang plural.

 

Gagasan yang mengedepankan substansi sangat dibutuhkan. Gagasan Ibnu Asyur tentang masyarakat Islam sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia yang majemuk.

 

Bagaimana pun, umat muslim Indonesia berhadapan dengan kekayaan tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang berlimpah. Untuk itulah, dalam rangka menggali nilai-nilai dasar Islam, sebagai sesuatu yang fitrah, diperlukan gagasan pemikiran seperti Ibnu Asyur.

 

Sehingga Islam tidak lantas dipertentangkan dengan kekayaan lokalitas. Dan umat muslim tidak perlu mengurusi hal-hal “formalistik” selagi “substansinya” sudah Islami.

 

Kita sebagai umat muslim Indonesia sering kali dihantui oleh wacana tidak bertanggung jawab seperti: NKRI Bersyariah, Pancasila Thaghut, Kafir-Bid’ah, dan lainnya. Padahal, mereka tidak sadar bahwa Pancasila mengizinkan perbedaan, termasuk kebebasan berpendapat yang mereka nikmati sekarang.

 

Inilah pentingnya gagasan Maqashid Syariah Ibnu Asyur, seorang intelektual muslim dari Tunisia. Tidak heran bila moderasi Islam tumbuh subur di Tunisia, dan Maqashid Syariah menjadi wacana harian umat muslim.

 

Karena fakta sosial itulah, Gus Dubes menyebut praktik moderasi Islam di Tunisia sangat kaya, sehingga penting menjadi teladan bagi umat muslim Indonesia.

 

Tunisia juga lumbung peradaban Islam, sehingga belajar pada Tunisia tentang moderasi dan Peradaban Islam sangatlah menguntungkan.

 

Di sini, peran mahasiswa Indonesia di Tunisia sangat besar. Apa yang dipesankan Gus Dubes bagi pelajar Indonesia di Tunisia?

 

Gus Dubes berharap, "para mahasiswa bisa belajar sungguh-sungguh di Tunisia, karena negara ini dikenal sebagai lumbung peradaban Islam." Mutiara Tunisia hanya bisa digali oleh para pelajar, dan kemajuan peradaban Indonesia juga tergantung pada keseriusan belajar mereka. Para pelajar ini menjadi tumpuan harapan bangsa dan negara di masa depan.

 

Nah dari cerita yang singkat ini bukankah bisa diambil kesimpulan betapa tepatnya Presiden kita menempatkan Gus Dubes menjadi wakilnya di Tunisia?

 

Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon Jawa Barat
 


Opini Terbaru