• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 24 Juni 2024

Opini

Guru Mendidik Lahir Batin

Guru Mendidik Lahir Batin
Ilustrasi. (Foto: NU Online/freepik)
Ilustrasi. (Foto: NU Online/freepik)

Perjuangan guru dalam perspektif semua elemen bangsa sudah tidak diragukan lagi. Guru berperan lintas generasi, menjadi nakhoda bagi anak-anak bangsa yang ingin berbakti untuk agama, bangsa dan negara.


Seorang guru memiliki tanggungjawab dan tugas yang berat, yaitu memainkan peran sosial ganda sekaligus yaitu memberi keteladanan dalam keluarga sekaligus di sekolah atau madrasah. Guru bisa menjadi orang tua bagi segenap peserta didiknya, namun juga bisa menjadi penyejuk di keluarganya sendiri.


Dengan demikian, peran keteladanan tidak terbatas pada jam formal sekolah/madrasah, tetapi diwajibkan melakoni peran serupa di luar sekolah/madrasah. Dalam hal intelektualitas dan moralitas juga terpancar dari diri seorang guru. Hal demikian itulah yang menjadi kelebihan guru dibanding profesi lainnya.


Dengan pengertian seperti itu, inti pendidikan tak lain adalah pendidikan budi pekerti.  ”Budi” mengandung arti ”pikiran, perasaan, dan kemauan” (aspek batin); pekerti artinya ”tenaga” atau ”daya” (aspek lahir). 


Pendidikan budi pekerti adalah pendidikan berkebudayaan yang mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar, dan indah.


Pendidikan berkebudayaan diaktualisasikan melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga, yang secara sinergis dan simultan melahirkan profil pelajar Pancasila, dengan lima poros kepribadian mulia: berketuhanan dengan semangat akhlak mulia; cinta Tanah Air dengan semangat persaudaraan semesta; mandiri dengan semangat gotong royong; bernalar kritis-kreatif dengan semangat hikmat permusyawaratan; berkompeten dengan semangat pelayanan dan keadilan. Itulah hakikat pendidikan pemanusiaan.


Penuh Pengorbanan

Namun, masyarakat juga harus mengetahui bahwa profesi guru kini semakin berat dan penuh pengorbanan. Kompetensi seorang guru tidak cukup hanya dengan menguasai materi pembelajaran ataupun kemampuan merancang dan menerapkan metode pembelajaran yang interaktif di dalam kelas. Selain itu, seorang guru selalu dituntut memiliki kecerdasan emosional karena beratnya tantangan yang dihadapi dalam melakukan kegiatannya.  


Belum lagi tantangan yang bersifat psikis yang tercermin pada pergeseran budaya. Jika dulunya guru diposisikan sebagai pusat segala bentuk pembelajaran, saat ini posisinya mulai tergantikan oleh sarana internet dan ini berarti kehadiran guru sudah tidak dirasakan lagi oleh anak didik, meski guru hadir di sekolah/madrasah tapi sejatinya guru tidak hadir.  


Terbukanya ruang kemandirian yang diberikan kepada peserta didik dalam mencari informasi di dunia maya, seperti melalui internet bernilai konstruktif bagi proses pembelajaran di kelas.


Namun, ternyata situasi demikian secara tidak langsung berpotensi mempengaruhi kapasitas edukatif seorang guru yang berujung penurunya perannya terhadap peserta didik. Akhirnya, peserta didik acapkali melupakan peran guru karena mereka bertumpu pada ruang kemandirian belajar tersebut.


Bahkan yang paling banyak dirasakan guru dewasa ini adalah bentuk ‘peremehan’ terhadap peran dan kompetensinya, sehingga kepercayaan peserta didik pun menurun. Akibatnya, kedekatan personal seorang guru dengan peserta didik hanya terjalin dalam ranah transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tidak menyentuh pada ranah penanaman nilai (transfer of value). Padahal seharusnya tidak demikian.


Keteladanan Moral  

Profesi guru selalu berada dalam ruang dan dimensi mengajar dan belajar yang tiada henti disertai keteladanan moral. Di sinilah letak keluhuran dan keauntetikan profesi guru karena mampu mengisi, membentuk, sekaligus memperindah karakter peserta didiknya.


Jika ini dilakukan secara masif secara optimal dalam keseharian setiap guru, maka kontribusinya terhadap pendidikan dan perbaikan generasi bangsa akan nampak baik dan tepat untuk kemajuan bangsa dan negara.  


Semua umat manusia pasti memiliki rasa ingin tahu tentang segala sesuatu. Begitu juga yang dirasakan leluhur kita, Nabi Adam as, yang juga banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ada di Surga. Sehingga Malaikat mengajarinya nama-nama setiap yang dijumpainya.  Rasa keingintahuan tersebut diwariskan turun temurun kepada keturunannya, salah satunya Nabi Ibrahim as.


Dalam Al-Qur'an direkam tentang perjalanan intelektual Nabi Ibrahim yang mempertanyakan siapa itu Tuhan, siapa pencipta alam semesta. Dari keraguannya terhadap matahari dan bulan yang semua dianggap Tuhan, hingga menemukan Tuhan yang sejati. 


Dari rasa ragu, berdialektika dengan dirinya sendiri lewat alam, hingga Nabi Ibrahim menemukan data ilmiah jawaban tentang apa dan siapa yang ia cari. Selain Nabi Ibrahim, kita juga mengenal para filsuf yang mempertanyakan alam semesta. Terbuat dari apa alam semesta itu? Hingga Thales, seorang Filsuf Yunani kuno berpendapat bahwa alam semesta tercipta dari air.


Dari Thales kemudian melahirkan generasi filsuf-filsuf dan ilmuan yang terkemuka, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. “Educating the mind without educating the heart is no education at all!” Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali!


Pendidikan tidak hanya terbatas pada seperangkat silabus atau pengetahuan di bidang tertentu atau memiliki gelar dan diploma. Seseorang bisa saja sangat ahli dalam berbagai bidang, namun masih kurang memiliki integritas dan karakter. Orang yang benar-benar terpelajar adalah orang yang memahami tujuan penciptaan.


Dia bekerja dengan kecerdasan untuk kepentingan semua orang. Mendidik hati berarti menanamkan nilai-nilai moral yang menghasilkan integritas, kebajikan, dan budi pekerti. Hal ini membuat seseorang mampu mengambil keputusan selaras dengan nilai-nilai, budaya, moral, kasih sayang, etika, dan kebutuhan masyarakat.


Pendidikan sejati, yang disertai dengan hati yang terpelajar dan pikiran yang terpelajar, membantu kita membuang prasangka, takhayul, dll, dan menjadi manusia yang rasional. Ini tidak hanya memungkinkan kita menerima informasi tetapi juga membantu memahami manfaatnya. Menjadi terpelajar berarti memaparkan diri pada beberapa aspek kehidupan.


Terakhir, dalam Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Islam mendorong umatnya untuk belajar dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Dengan belajar dan mengajarkan ilmu, seseorang telah melakukan amalan yang mulia dan mendapatkan pahala yang besar dari Allah .


Sebagaimana disabdakan Rasulullah berikut;


 أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَنْ يَتَعَلَّمَ الْمُسْلِمُ عِلْمًا، ثُمَّ يُعَلِّمَهُ أَخَاهُ الْمُسْلِمُ 


Artinya; "Sebaik-baik sedekah adalah seseorang muslim belajar ilmu, kemudian mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim." Dengan demikian, guru memiliki peran yang sangat penting dalam membangun generasi bangsa. Pun dalam Islam, guru adalah profesi yang sangat mulia, dan mendapatkan tempat istimewa di hadapan Rasulullah saw.


Bagi manusia, tak cukup makan sendiri dan mendominasi yang lain. Kebahagiaan paripurna terengkuh tatkala bisa berbagi makanan dan melayani kepentingan banyak orang. Dengan kata lain, kebahagiaan tertinggi manusia terletak pada kemampuannya untuk bisa lebih besar dari dirinya sendiri dengan mengejar makna hidup yang luhur.


Nyanyang D Rahmat, Guru PAI SMPN 2 Kadungora-Garut


Opini Terbaru