• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 5 Mei 2024

Opini

Filsuf Islam Modern, Muhammad Arkoun

Filsuf Islam Modern, Muhammad Arkoun
KH. Imam Jazuli (tengah berkopiah) bersama rombongan saat berpose di depan Bab el-Bahr, Kasbah (benteng) Tanger, Maroko
KH. Imam Jazuli (tengah berkopiah) bersama rombongan saat berpose di depan Bab el-Bahr, Kasbah (benteng) Tanger, Maroko

Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA.

Di bawah langit yang cerah, perjalanan kami dari Rabat ke Tanger, Maroko, terasa singkat. Bukan karena kecepatan kendaraan kami, tetapi karena sepanjang waktu bagaikan seminar.

Mobil serasa ruang ilmiah. Tidak saja membicarakan ilmuan muslim Muhammad Abid al-Jabiri, tapi juga membicarakan Mohammad Arkoun. Perjalanan Penulis dengan Ketua PPI Maroko, Hibban Ahmad, dan Mahasiswa Ibn Tofel University, Iman Mursalin dan Gus Simo sangat seru, sambil berwisata plus diskusi ilmiah.

Muhammad Arkoun memang bukan ilmuan dari Maroko. Ia lahir di Desa Berber, Aljazair, pada 1 Februari 1928. Kemudian Pada 14 September 2010 meninggal dunia dan dikuburkan di Maroko. Keluarga Muhammad Arkoun adalah keluarga miskin. Kehidupan keluarga Muhammad Arkoun selalu berpindah-pindah.

Keluarga Muhammad Arkoun pada gilirannya memilih pindah ke Ain El Arba'a, untuk melanjutkan pendidikan Ibtida’iah dan Tsanawiyahnya. Ain El Arba’a adalah suatu kota yang lebih makrmur, dan penduduknya mayoritas kaum kolonial Perancis.

Setelah lulus, Muhammad Arkoun melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Aljazair (Université d'Alger). Berkat bimbingan dari orientalis Perancis, Louis Massignon, Mohammad Arkoun melanjutkan pendidikannya di Universitas Sorbonne, Paris. Di Sorbonne, Muhammad  Arkoun menekuni filsafat Ibnu Miskawaih.

Muhammad Arkoun yang hidup sezaman dengan Samuel Huntington (1927-2008) memiliki pemikiran yang luar biasa. Jika Samuel Huntington menulis bukunya yang berjudul “Clash of Civilizations” (Benturan Peradaban), maka Muhammad Arkoun berpandangan sebaliknya.

Bagi Muhammad Arkoun, Peradaban Timur dan Peradaban Barat tidak bisa dibenturkan, dan tidak bisa saling memonopoli satu sama lain. Sebaliknya, setiap peradaban dapat memandang peradaban lain untuk tujuan saling memahami. Dari sini, Muhammad Arkoun mengkritik proyek Orientalisme, yang ingin membaca dan menyudutkan peradaban timur. 

Pemikiran Mohammad Arkoun tidak saja bertolak belakang dengan paradigma orientalisme, tetapi juga berseberangan dengan pemikir muslim Maroko, seperti Abid al-Jabiri. Kita tahu Abid al-Jabiri menulis buku yang berjudul ‘Naqd Aql Arabi’, yang ingin mengajak bangsa Arab memiliki pemikiran rasional seperti Barat.

Abid al-Jabiri memandang akal Arab maupun Akal Islam harus dikritik dengan tajam, dan memperkenalkan rasionalisme yang tidak populer di dunia Islam dan Arab. Sementara Mohammad Arkoun menulis buku berjudul ‘Naqd Aql Islamiy,’ yang memiliki semangat berbeda dari Abid al-Jabiri.

Bagi Muhammad Arkoun, akal Islam bukan sebuah mazhab yang bertentangan dengan mazhab-mazhab lain di luar Islam; juga bukan teologi yang berlawanan dengan toelogi-teologi lain di luar Islam. Sebaliknya, akal Islam adalah persoalan historis-antropologis yang bisa terus berbeda dari setiap zaman.

Dalam membaca narasi sejarah, Muhammad Arkoun menolak menerimanya mentah-mentah. Ia menganjurkan pembacaan historis yang komprehensif, seperti memahami konsep dasar agama, masyarakat, negara, halal dan haram, sakral, nalar, nurani, imajisnasi, mitos, irasionalitas, serta sejarah pengetahuan dan filsafat.

Kemudian Muhammad Arkoun mengajukan pertanyaan, bagaimana kita bisa memahami agama hari ini? Dalam bukunya yang berjudul 'Qadhaya fi Naqd al-'Aql al-Diniy,' Arkoun mengajak para pembaca muslim mendekonstruksi wacana tradisional Islam, dan menggunakan pendekatan orientalis klasik seperti sejarawan Perancis, Claude Cahen (1909-1991).

Claude Cahen sendiri adalah seorang orientalis dan sejarawan Marxis Perancis abad 20. Ia mengkhususkan studinya tentang Studi Islam Abad Pertengahan. Ia banyak menulis tentang Perang Salib dan sejarah sosial umat muslim abad pertengahan.

Dalam buku 'Qadhaya fi Naqd al-'Aql al-Diniy,' Muhammad Arkoun banyak membahas fundamentalisme agama, konflik dunia Islam dengan dunia Barat, globalisasi, dan bagaimana umat bisa mengevaluasi warisan tradisional mereka, agar bisa menjemput masa depan yang lebih damai.

Mengapa Mohammad Arkoun menyasar warisan tradisional umat muslim, dan mengajak mereka untuk menafsirkannya kembali? Muhammad Arkoun terpengaruh oleh pemikiran seorang filsuf Perancis Gaston Bachelard (1884-1962). Bagi Bachelard, pengetahuan yang benar tidak bisa eksis secara paralel dengan pengetahuan yang salah.

Jika umat muslim terus-menerus mempertahankan fundamentalisme Islam, menolak globalisasi, dan terus berkonflik dengan Barat. Hal itu tidak akan membawa umat muslim melangkah lebih jauh. Inilah landasan dasar pemikiran Mohammad Arkoun secara keseluruhan.

Kritisisme Arkoun untuk mengkritik turots klasik umat muslim mengingatkan penulis pada karyanya lainnya, yang berjudul ‘Al-Fikr al-Ushuliy wa Istihalah al-Ta'shil Nahwa Tarikh Akhar li al-Fikr al-slamiy’. Arkoun mengkritik umat muslim yang menelan mentah-mentah fatwa para mujtahid klasik tanpa mau menganalisanya secara kritis.

Bagi Muhammad Arkoun, banyak pemikiran mujtahid awal Islam tidak lagi cocok dengan konteks zaman hari ini yang terus berkembang secara dinamis. Muhammad Arkoun mencontohkan gerakan kaum fundamentalis Islam. Baginya, mereka adalah gerakan yang hanya berpuas diri dengan perjuangan politik semata.

 

 Gerakan kaum fundamentalis tidak memiliki pertimbangan ulang yang mendalam dan interpretasi kritis terhadap turats klasik. Mereka pun tidak menawarkan pembaharuan pemikiran tertentu, yang bisa mereka tawarkan kepada publik hari ini. Cara berpikir kaum fundamentalis ini tidak cocok dengan zaman yang terus berubah.

Setelah lamah jatuh sakit, Mohammad Arkoun wafat pada 14 September 2010, di usianya yang ke-82 tahun. Ia meninggal di Paris, tetapi dikebumikan di Maroko. Dari sinilah, pemikiran Mohammad Arkoun (kelahiran Aljazir, meninggal di Paris, dan dikebumikan di Maroko) banyak menginspirasi para ilmuan Maroko.

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
 


Opini Terbaru