• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Opini

Habib Burguibah dan Sekularisasi Tunisia

Habib Burguibah dan Sekularisasi Tunisia
KH. Imam Jazuli, bersama Dubes RI untuk Tunisia, Zuhairi Misrawi, saat berkunjung ke Burguibah Avenue, Tunisia
KH. Imam Jazuli, bersama Dubes RI untuk Tunisia, Zuhairi Misrawi, saat berkunjung ke Burguibah Avenue, Tunisia

Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA

 

Hari itu begitu cerah. Saya dan Gus Dubes Tunisia, Zuhairi Misrawi, dalam perjalanan menuju Horloge De L'avenue Habib Bourguiba. Berlokasi di Jalan Avenue Habib Bourguiba, Tunis, Tunisia.

 

Sepanjang perjalanan kami bercerita tentang sosok legendaris ini. Ia betul-betul menjadi penanda zaman. Tunisia bisa merdeka dari protektorat Perancis, sekaligus mengalami modernisasi, berkat kontribusi besar Habib Burguibah.

 

Burguibah lahir di Monastir, Tunisia, pada 3 Agustus 1903. Keluarga Burguibah berasal dari kelas menengah ke bawah. Namun, ia berhasil menempuh pendidikan di Universitas Paris dan Paris Institute of Political Studies pada 1927.

 

Keberhasilan dalam belajar di Perancis mengantarkan Burguibah kembali ke tanah airnya. Di Tunisia, Burguibah mulai terjun ke dunia politik pada tahun 1930-an. Ia bergabung dengan gerakan Anti-Kolonial maupun gerakan politik nasional Tunisia.

 

Di sini penulis mulai teringat pada pemikiran George Jerry Sefa Dei (2006), yang menulis buku "Anti-colonialism and Educatin: the Politics of Resistance." Jika seseorang betul-betul berhasil dalam belajar dan menuntut ilmu. Ia akan tahu cara memberi yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. Ia akan bertahan dan melawan demi negaranya.

 

Ini memang kenyataan. Setelah pulang dari Perancis, Burguibah menjadi co-founder Partai Neo Destour pada 2 Maret 1934. Dari sini, kita bisa mengambil banyak pelajaran penting dari sosok Habib Burguibah ini.

 

Pertama sekali, Burguibah memantapkan perjuangannya membela bangsa dan negara. Itu semakin tampak sejak Bourguiba terpilih sebagai Perdana Menteri (PM) Kerajaan Tunisia pada 15 April 1956.

 

Sebagai PM, program pertama Burguibah adalah mengupayakan kemerdekaan Tunisia dari Perancis. Penjajahan Perancis di Tunisia sejak terbentuknya protektorat pada tahun 1881.

 

Perancis bisa tumbang ketika Burguibah memimpin serangkaian perlawanan militer. Akhirnya, Perdana Menteri Perancis terbang ke Tunisia pada 31 Juli tahun 1956. Pemerintah Perancis mengakui otonomi internal Tunisia.

 

Selepas mendapat pengakuan Perancis, Burguibah segera membentuk Tentara Militer Tunisia pada 30 Juni 1956. Ia juga berhasil melobi pemerintah Perancis untuk menarik seluruh tentaranya dari Tunisia.

 

Kedua, reformasi yang dilakukan Burguibah mencakup banyak dimensi. Salah satunya adalah revolusi mental masyarakat Tunisia. Misalnya, sejak 23 Maret 1956, Burguibah menghapus segala hak istimewa para Bey. Kesetaraan sosial dikembangkan. Elite kerajaan (Bey) dianggap setara dengan rakyat biasa. Para Bey ini sudah eksis sejak Dinasti Husaini, 1705.

 

Ketiga, Burguibah juga melakukan perombakan besar-besaran di bidang pendidikan. Ia mengubah sistem pendidikan ala Masjid Az-Zaitunah menjadi sistem pendidikan ala universitas.

 

Di universitas Az-Zautiunah ini, pendidikan ilmu pengetahuan Islam digalakkan di bawah supervisi Kementerian Pendidikan. Penguasa berhak menentukan arah kurikulum, termasuk mengalokasikan dana pendidikan.

 

Burguibah juga mampu menempatkan sekolah-sekolah al-Qur'an di bawah pengawasan pemerintah. Pada saat yang sama, Burguibah mengkampanyekan pendidikan gratis. Para guru diberi pelatihan dan bimbingan untuk meningkatkan kapasitas.

 

Keempat, Burguibah mengkampanyekan kesetaraan gender. Kaum perempuan boleh mengenyam pendidikan yang setara dengan laki-laki. Kaum perempuan dibebaskan memilih, mengenakan atau melepaskan cadar dan Hijab. Perempuan bebas menentukan siapa calon suaminya, tanpa perlu tunduk pada keinginan orangtua.

 

Tidak saja itu, masalah perceraian akan diurusi oleh pengadilan negara. Sementara praktik poligami mulai dilarang keras. Seorang ayah, ibu, dan anak memiliki posisi yang sama di mata hukum.

 

Kelima, Burguibah menganggap masalah pendidikan dan kesehatan publik sangat dibutuhkan oleh negara. Pendidikan dan kesehatan dapat memperkuat ketentaraan dan pertahanan negara. Sejak itu, sekolah menjadi milik publik yang menyelenggarakan pendidikan secara gratis.

 

Burguibah mendirikan sistem pendidikan modern. Ia mengangkat seorang penulis terkenal, Mahmud Messadi, sebagai menteri pendidikannya. Dalam sistem pendidikan modern ini, pendidikan al-Quran dihapuskan. Kurikulum pendidikan ala Barat ditingkatkan dua kali lipat.

 

Keenam, kepentingan negara jauh lebih penting dari kepentingan agama. Pada bulan Februari 1961, saat itu bulan Ramadan, Burguibah tampil di acara televisi. Dia minum segelas jus secara terbuka di bawah sorotan kamera.

 

Setelah adegan itu, Burguibah memberi penjelasan atas tindakannya. Menurutnya, semua umat muslim Tunisia perlu berhenti berpuasa di bulan Ramadan. Mereka harus bekerja keras meningkatkan pembangunan negara. Sebab, Tunisia masih underdevelopment.

 

Tunisia masih jauh tertinggal dibanding negara lain. Bagi Burguibah, bekerja keras untuk membangun negara jauh lebih penting dibanding puasa.

 

Sikap yang dianggap kurang menghormati bulan puasa ini mendapat kecaman keras dari dunia muslim. Pada tahun 1974, Abdul Aziz bin Baz mengeluarkan fatwa bahwa Burguibah telah murtad (Pierre Rossi, Burguiba's Tunisia, 1967: 32).

 

Setelah fatwa murtad itu muncul, banyak aksi pembunuhan menargetkan Burguibah. Namun, dalangnya segera ditemukan. Yaitu, masyarakat yang pro terhadap Ben Youssef, lawan politik Burguibah. Pembunuhan ini pun gagal total.

 

Burguibah ini mendirikan mazhab pemikirannya sendiri. Ia menyebut itu sebagai “Burguibaisme.” Mazhab ini mengembangkan filsafat pragmatisme di bidang ekonomi dan politik.

 

Prinsip mazhab Burguisme ini adalah “tidak ada satupun dimensi kehidupan manusia yang terlepas dari kekuatan rasional manusia,” (Pierre Rossi, Burguiba's Tunisia, 1967: 98). Seperti Mu’tazilah, Burguisme mengutamakan kekuatan rasional.

 

Sepanjang perjalanan ke Avenue Habib Burguibah, penulis sadar bahwa mazhab Burguisme mendarah daging dalam perilaku masyarakat Tunisia. Penulis bisa menyaksikannya dengan mata kepala sendiri bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat. 

 

Saat itu, penulis mulai memahami mengapa banyak mahasiswi kampus Universitas Zaitunah tidak memakai jilbab. Kampus yang didirikan oleh Burguibah ini memperbolehkan para mahasiswi tidak berhijab.

 

Bahkan untuk pelajar setingkat SMP dan SMA seolah dilarang berhijab. Hal itu itu penulis saksikan sendiri, ketika melihat anak-anak setingkat SMP dan SMA di Tunisia keluar sekolah tidak ditemukan yang berhijab. Sepertinya kebebasan berhijab dimulai ketika memasuki pendidikan perguruan tinggi.

 

Sekularisme Burguibah (w. 2000) pada abad 20 masih terasa hingga paruh kedua abad 21 ini. Penulis berterima kasih pada Gus Dubes Zuhairi Misrawi, yang telah menjadi partner diskusi tentang sejarah, tokoh, dan situasi sosial-religius selama di Tunisia. Sekularisme Habib Burguibah memang pantas disejajarkan dengan Kemal Ataturk di Turki.

 

Sayangnya, modernisme dan sekularisme ala Habib Burguibah di Tunisia kurang dipublikasi dan dikaji oleh para pemikir muslim di Indonesia, sehingga studi kritis atas pemikiranya kurang terdengar, beda halnya dengan Kemal Ataturk Turki, Berbagai kajian kritis akan pemikirannya banyak di jumpai, mungkin karena saat itu Kemal sebagai kekuasaan Tunggal Khilafah Islam Turki Otsmani, sedangkan Burguibah yang baru muncul 30 tahun kemudian hanya dianggap sebagai pengikut pemikiran Kemal Ataturk.

 

Tentu saja reformasi dan moderenisasi yang dilakukan Burguibah banyak sisi positifnya karena sebagai respon sosial, politik dan ekonomi Tunisia pada saat itu, namun demikian, sekularisme yang dilakukan Burguibah terkesan kebablasan dan melanggar nilai-nilai keberagamaan khususnya agama Islam.

 

Kita beruntung hidup di Indonesia, sebuah negara yang berlandaskan "pancasila" yang
tentunya tidak menghendaki sekularisme, tapi menghendaki bernegara berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga nilai-nilai keberagamaan begitu membumi di Indonesia, tidak berlebihan jika penulis mengatakan "baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur" itulah Indonesia hari ini. 

 

Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia,Cirebon, Jawa Barat.


Opini Terbaru