• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 28 Maret 2024

Opini

Covid-19 dan Keteladanan Pesantren

Covid-19 dan Keteladanan Pesantren
"Lock Down" lokal di Pesantren Mathla'ul Khaer Cintapada Tasikmalaya, sebagai upaya mencegah penyebaran virus. (Foto: dok. Pesantren Mathla'ul Khaer Cintapada)
"Lock Down" lokal di Pesantren Mathla'ul Khaer Cintapada Tasikmalaya, sebagai upaya mencegah penyebaran virus. (Foto: dok. Pesantren Mathla'ul Khaer Cintapada)

Oleh Muh Fajar Siddiq
Hampir satu tahun sudah pandemik virus corona/Covid-19 menghantui masyarakat dunia. Sejak merebak di Wuhan, Tiongkok pada akhir 2019 kita tidak pernah menyangka virus jenis baru ini memukul secara telak keadaan sosial, ekonomi, kesehatan. Di sejumlah negara bahkan menimbulkan krisis politik. Di Indonesia sendiri sejak diumunkannya kasus pertama pada Maret 2020, pemerintah merespon dengan kebijakan untuk menghentikan kegiatan masyarakat yang bersifat kerumunan sebagai upaya mengendalikan penyebaran virus agar tidak cepat luas menyebar.

Bidang pendidikan baik formal, informal, maupun non-formal, tak luput terkena imbas pandemik ini. Semuanya harus mengikuti kebijakan pemerintah untuk melakukan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan media daring sebagai solusi sementara. Tempat-tempat kegiatan pendidikan juga bersifat kerumunan yang harus dihindari. Kampus, sekolah, tempat les, dan lainya harus legowo untuk “dikosongkan”.

Bagaimana dengan pesantren? Semenjak awal merebaknya kasus COVID-19 di Indonesia, lembaga pendidikan yang ‘khas’ dengan kerumunan santrinya ini di beberapa daerah harus memulangkan santrinya sementara secara bertahap, demi menghindari percepatan penyebaran virus. Dilema tentu menyertai bagi keberlangsungan kegiatan belajar-mengajar santri, karena bila dilakukan secara daring, menjadi tidak populer. Di lingkungan pesantren umumnya menerapkan pembelajaran dengan interaksi langsung dan intensitas tinggi, yang agak sulit bila tiba-tiba berganti dengan sistem online.

Meski memprihantinkan, fenomena pemulangan santri dari pesantren patut diapresiasi walaupun proses pembelajaran menjadi terganggu. Namun upaya pencegahan dari penyakit harus diutamakan, mengikuti prinsip yang dianjurkan dalam kaidah fiqih: “Dar-ul Mafasid Muqqodamun ‘Ala Jalbil Mashalih”. Menjauhi keburukan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.

Di tengah ikhtiar nasional mencegah dan mengurangi penyebaran COVID-19 dengan diterapkannya ‘Social & Physical Distancing’ sejak Maret 2020, pada  Juni 2020 pemerintah menawarkan konsep ‘new normal’ agar masyarakat bisa sedikit menggeliat dari keterpurukan akibat Covid-19, dengan prinsip penerapan protokol kesehatan. Pandemi ini diprediksi belum akan cepat berakhir. Pesantren di berbagai daerah merespon ‘new normal’  dengan memanggil kembali para santrinya secara bertahap, meski beberpa pihak menilai belum tepat waktunya. Perspektif pesantren dapat kita pahami karena sejatinya santri harus belajar di pesantren, bukan di rumah dan bukan juga secara ‘daring’. Meski para santri harus berikhtiar mencegah, dengan senantiasa mengikuti protokol kesehatan di lingkungan pesantren.

Keteladanan Pesantren
Kekhawatiran munculnya kasus penyebaran Covid-19 di lingkungan pesantren pada masa ‘new normal’ terang saja terjadi. Beberapa pesantren melaporkan adanya paparan setelah para santrinya melakukan pemeriksaan rapid test ataupun swab. Sebagian di antaranya dinyatakan positif terpapar dengan jumlah yang tak sedikit, dari puluhan hingga ratusan termasuk di dalamya para pengajar/asatidz.

Di Jawa Barat sendiri, menurut laporan detiknews.com (6/11) hingga 6 November 2020 sebanyak 1.196 orang di lingkungan pesantren terkonfirmasi COVID-19. Ribuan yang terpapar tersebut berasal dari delapan kabupaten/kota. Dengan Rincian 470 orang di Kabupaten Kuningan, 340 orang di Kabupaten Tasikmalaya, 57 orang di Kabupaten Sukabumi, 44 orang di Kabupaten Cianjur, 59 orang di Kota Tasikmalaya, 114 orang di Kabupaten Garut, 26 orang di Karawang, dan 86 orang di Kabupaten Bogor.

Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya adalah salah satu dari sekian banyak pesantren di Jawa Barat yang terdampak penyebaran virus corona. Sejak dilaporkan adanya 86 orang positif Covid-19 pada akhir September, pengurus pesantren merepson dengan langsung membangun Relawan Covid Cipasung. Karantina lokal dan tes swab secara masif kepada santri, pengajar, termasuk keluarga besar pun diberlakukan demi mengendalikan penyebaran agar jumlah yang terpapar tidak bertambah dan merambah ke pemukiman lainnya di sekitaran pesantren Cipasung.

Walaupun pekan-pekan berikutnya jumlah kasus positif bertambah signifikan hingga ratusan orang, upaya pengendalian terus dilakukan dengan pengetatan karantina lokal dan tes masif yang berkelanjutan. Meski ratusan orang harus menjalani isolasi, tren penurunan kasus juga turut mengiringi. Menurut laporan pikiran-rakyat.com (19/10) 130 santri telah dinyatakan sembuh setelah menjalani karantina dan isolasi mandiri.

Pemberlakuan karantina lokal diiringi tes masif berkelanjutan, serta konsistensi penerapan protokol kesehatan di pesantren, terbukti efektif dalam mengendalikan penyebaran virus korona. Hal ini sudah sepatutnya menjadi contoh yang harus ditiru dan diterapkan. Keberhasilan ini menjadi catatan penting bagi kita bahwasannya keteladanan pesantren tidak hanya pada pencapaian kualitas pendidikan saja, namun mampu bergulat, mengendalikan, serta perlahan keluar dalam situasi krisis kesehatan saat ini.

Penulis adalah alumni Jurusan Sejarah UNPAD


Editor:

Opini Terbaru