• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Opini

Adzan Itu Panggilan Sholat, Bukan Seruan Jihad

Adzan Itu Panggilan Sholat, Bukan Seruan Jihad
NU Online Jabar/Ilustrasi gambar: NU Online
NU Online Jabar/Ilustrasi gambar: NU Online

Oleh: Imam Mudofar

Akhir-akhir ini tengah viral beberapa rekaman video di beberapa tempat tentang adzan yang lafal “Hayya ‘Alas Sholah” diganti dengan lafal “Hayya Alal Jihad.” Selain viral, video itu juga jadi bahasan yang menarik, terlebih kalimat adzan yang diganti itu seolah mengandung unsur ajakan untuk berjihad. Tanggapannya pun beragam. Bagi mereka yang menganggap situasi sudah genting, seruan itu seolah menjadi ajakan penting. Tapi bagi yang tidak, tentu ini menimbulkan kontroversi. Terlebih kita baru menemukan kejadian semacam itu ya akhir-akhir ini. 

Saya mencoba untuk mengecek beberapa catatan literatur. Barangkali dulu pernah terjadi juga hal yang serupa. Dan hasilnya, saya tidak menemukan catatan kejadian serupa di masa silam. Bisa jadi ini adalah fenomena baru yang mungkin baru terjadi saat ini di Indonesia. 

Sebelum membahas tentang kejadian adzan yang dijadikan sarana untuk menyerukan jihad, alangkah baiknya kita menengok masa lalu, pada masa awal ketika istilah adzan, baik yang berkaitan dengan sejarah munculnya adzan maupun definisi dari adzan itu sendiri. Ini menjadi penting agar kita tidak salah dalam memahami tentang makna dan fungsi adzan itu sendiri.
    
Saya menemukan catatan menarik dalam Sirah Nabawiyah yang dicatat oleh Ibnu Hisyam, seorang ulama besar sekaligus sejarawan pada abad ketiga hijriyah. Karyanya ini menjadi referensi lengkap tentang kehidupan baginda Nabi Muhammad SAW yang menjadi rujukan karena dianggap memiliki sumber yang valid dan terpercaya. Sirah Nabawiyah dengan detail menguraikan jejak perjalanan Rasulullah dari sebelum kelahiran, masa kecil, masa muda, pernikahan dan saat-saat masa kenabian. Termasuk menggambarkan sisi kehidupan Baginda Nabi dari berbagai aspek.
    
Catatan menariknya, pada Sirah Nabawiyah ini juga dipaparkan tentang sejarah munculnya adzan. Diceritakan oleh seorang sahabat bernama Abdullah bin Zaid, pada saat itu, Baginda Nabi Muhammad SAW tengah mencari cara untuk memberitahukan datangnya waktu sholat. Namun saat itu, Nabi belum menemukan caranya. Pada saat masa-masa awal di Madinah, orang-orang hanya berkumpul di masjid untuk menunggu datangnya waktu sholat. Namun saat waktu sholat tiba, tidak ada satu pun yang memberitahu. Langsung saja melaksanakan sholat. Penandanya hanya jika yang satu sholat, maka yang lainnya juga sholat.

Seiring berjalannya waktu, ada banyak sahabat yang rumahnya jauh dari masjid. Di sisi lain juga mereka disibukkan dengan aktifitasnya masing-masing. Kondisi ini membuat tidak semua sahabat bisa menunggu datangnya waktu sholat di masjid. Atas pertimbangan itu, lantas para sahabat usul kepada Baginda Nabi agar membuat penanda datangnya waktu sholat. Tujuannya agar para sahabat yang rumahnya jauh dan tengah sibuk dengan pekerjaannya bisa tetap datang ke masjid tepat waktu untuk melaksanakan sholat. 

Usulan itu lantas diterima oleh Baginda Nabi. Usul dari para sahabat ini juga beragam. Ada yang usul penanda waktu sholat dengan menggunakan terompet sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Ada juga yang usul ditandai dengan bunyi lonceng sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani. Bahkan ada juga yang usul menyalakan api di tempat yang tinggi agar para sahabat yang rumahnya jauh bisa melihat api diketinggian sebagai tanda datangnya waktu sholat.
    
Beragam usul yang disampaikan itu belum ada yang dirasa pas dan cocok untuk dijadikan penanda waktu sholat. Sampai akhirnya di tengah kebuntuan itu, seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Zaid datang menemui Baginda Nabi. Ia menceritakan bahwa dirinya baru saja bermimpi melihat seruan adzan pada malam sebelumnya. Dalam mimpi tersebut, Abdullah bin Zaid didatangi seorang berjubah hijau yang sedang membawa lonceng. Semula Abdullah bin Zaid berniat membeli lonceng yang dibawa orang berjubah hijau tersebut untuk memanggil orang-orang kepada shalat. Namun orang tersebut menyarankan kepada Abdullah bin Zaid untuk mengucapkan serangkaian kalimat, sebagai penanda waktu shalat telah datang. 

Serangkaian kalimat adzan yang dimaksud adalah,

Allahu Akbar Allahu Akbar
Asyhadu alla ilaha illallah, 
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
Hayya 'alash sholah hayya 'alash sholah
Hayya 'alal falah hayya 'alal falah
Allahu Akbar Allahu Akbar
La ilaha illallah. 

Nabi Muhammad kemudian meminta Abdullah untuk mengajari Bilal bin Rabbah bagaimana cara melafalkan kalimat-kalimat tersebut. Pada saat Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan, Umar bin Khattab yang tengah berada di rumahnya mendengar. Ia segera menghadap Nabi Muhammad dan menceritakan bahwa dirinya juga bermimpi tentang hal yang sama dengan Abdullah bin Zaid. Yakni adzan sebagai tanda masuknya waktu shalat. 

Dalam satu riwayat, Nabi Muhammad juga disebutkan telah mendapatkan wahyu tentang adzan. Oleh karena itu, beliau membenarkan apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Zaid tersebut. Sejak saat itu, adzan telah resmi sebagai penanda masuknya waktu shalat. Menurut pendapat yang lebih sahih, adzan pertama kali disyariatkan di Kota Madinah pada tahun pertama Hijriyah. Bilal bin Rabbah termasuk muadzin pertama dalam Islam. Setidaknya ada empat alasan mengapa Bilal dipilih Nabi menjadi muadzin, yaitu suaranya yang lantang dan merdu, menghayati kalimat-kalimat adzan, berdisiplin tinggi, dan berani. 

Secara bahasa, definisi Adzan berarti seruan atau pemberitahuan. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adzan berasal dari kata adzina yang berarti “mendengar, melihat dan menginformasikan tentang.” Adzan berarti panggilan atau pemberitahuan kepada banyak orang sebagai tanda masuknya waktu sholat fardu atau sholat wajib lima waktu. Subuh, Dzuhur, Ashar, Magrib dan Isya. 

Dari dua literatur di atas (sejarah dan bahasa), ke duanya menunjukkan bukti bahwa adzan itu kaitannya dengan penanda waktu sholat. Sebuah upaya historis peradaban yang disepakati sebagai tanda masuknya waktu sholat fardu yang lafal dan mekanismenya disepakati berdasarkan ijtihad para sahabat dan Baginda Nabi Muhammad SAW. Tidak ada satupun yang menyebutkan adzan sebagai penanda waktu jihad telah tiba. Bahkan kalimat “Hayya Alal Jihad” sebagai pengganti “Hayya Alas Sholah” sama sekali tidak ditemukan dalam ke dua literatur itu. 

Saya tidak akan membahas tentang bagaimana hukumnya mengganti kalimat adzan dengan seruan untuk berjihad? Karena saya tidak dalam kapasitas untuk menerangkan itu. Biarlah itu nanti menjadi bahasan sahabat-sahabat lainnya dalam forum bahsul masail. Namun yang pasti, fenomena itu baru terjadi di Indonesia hari ini. Jika itu masuk sebagai upaya provokasi untuk mengajak umat berjihad dalam arti berperang melawan pemerintahan yang sah, tentu Negara harus mengambil tindakan tegas. Dan satu hal lagi, mengganti kalimat adzan yang sakral baik secara makna maupun secara historis, bagi saya ini sebuah bentuk sikap yang mencerminkan cacatnya moral keilmuan seseorang. Sebab sejatinya jihad yang paling berat adalah jihad melawan hawa nafsu.

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Queen Al Falah Ploso Kediri Jawa Timur, Kasatkorcab BANSER Kabupaten Tasikmalaya
 


Editor:

Opini Terbaru