Ngalogat

Terpukau Riwayat Sang Nabi

Jumat, 13 September 2024 | 08:00 WIB

Terpukau Riwayat Sang Nabi

Tabuhan Terbang Sejak di Cirangkong Tasikmalaya, mengiringi lantunan pupujian kepada Nabi Muhammad. (Foto: Iip Yahya)

Gusti urang sarerea
Kangjeng Nabi anu mulya
Muhammad jenenganana
Arab Kures nya bangsana
Ramana Gusti Abdullah
Ibuna Siti Aminah
Dibabarkeunna di Mekah
Wengi Senen taun gajah

Sebagai anak yang pernah belajar di tajug pada akhir 70-an, saya ikut menghafal syair Pupujian Nabi Urang Sarerea itu. Pepujian yang selalu kami lantunkan dengan riang gembira. Pada puncak perayaan Maulid Nabi, anak-anak yang terpilih akan tampil di panggung menyanyikannya. Tentu saja syair lengkapnya panjang sekali dan yang kami bacakan hanya bagian pembuka saja.

Setelah dikumpulkan oleh Yus Rusyana dalam Bagbagan Puisi Pupujian Sunda (1971), syair tersebut berjumlah 57 bait, mengisahkan kelahiran hingga wafatnya Nabi Muhammad.

Pujaan kita semua/Kangjeng Nabi yang mulia/Muhammad namanya/Arab Quraisylah bangsanya/Ayahnya Tuan Abdullah/Ibunya Siti Aminah/Dilahirkannya di Makkah/Malam Senin Tahun Gajah.

Selain pupujian yang anonim tapi sangat populer itu, banyak karya puisi dan prosa berbahasa Sunda yang berisi kisah Nabi Muhammad. Misalnya dalam Katalog Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga yang dihimpun oleh Edi Ekadjati dan Undang Darsa (1999), terdapat Hikayat Sayid Abdullah, Nurbuat, Babar Nabi (Kelahiran Nabi), Babad Mekah, Carita Kangjeng Nabi Nikah, Nabi Paras (Nabi Bercukur), dan Wawacan Kanjeng Nabi.

Bupati Bandung RAA Wiranata Koesoema V, pada 1941 menerbitkan Riwajat Kangjeng Nabi Moehammad SAW, sebagai adaptasi dari karya Dinet dan Sliman, The Life of Moehmmad The Prophet of Allah (1918). Karya ini menunjukkan bahwa penulisan riwayat Nabi Muhammad tidak hanya dilakukan oleh ulama pesantren tetapi juga intelektual di luarnya, seperti diperlihatkan oleh birokrat Bandung ini.
Secara umum, sampai hari ini, bacaan yang populer di Tatar Sunda tetaplah karya berbahasa Arab seperi Maulid al-Barzanji karya Ja’far Al-Barzanji dan Maulid al-Diba’i karya Abdurrahman Al-Diba’i. Di Pesantren Cikancung dan Cikalama di Bandung Timur umpamanya, masih terdapat tradisi ngabungbang, membacakan kedua kitab maulid ini semalam suntuk.

Syi’rul Hisan

Syi’rul Hisan fi Tafadhil Maulid Sayyidil Insi wal Jan (Syair Mulia, Menyambut Kelahiran Pemimpin Manusia dan Jin) adalah karya Muhammad Juwaini bin Abdurrahman dari Parakan Salak, Parungkuda, Cicurug, Sukabumi. Sementara hak penerbitannya dipegang oleh Sayyid Ali Al Idrus yang saat pertama kali terbit beralamat di Kramat 38, Batavia Centrum. Tidak disebutkan kapan kitab ini mulai dicetak. Hanya ada catatan bahwa kitab ini sudah mulai dicetak sebelum Juli 1937 (1356 H).

Saat menemani seorang antropolog untuk riset di Cirangkong, Cikeusal, Tanjungjaya, Tasikmalaya, kami bersua beberapa orang yang masih menerima panggilan untuk membacakan kitab tersebut. Biasanya untuk acara khitanan, pernikahan, dan syukuran rumah. Ada yang membacanya berdua, seperti yang dilakukan oleh Mang Naim dan Mang Asep, ada pula yang membacanya sendirian seperti Bi Omah. Kitab yang terdiri dari 20 jilid ini jika dibaca bersambung membutuhkan waktu dua malam atau 14 jam jika dibaca tanpa berhenti. Jika jilid pertama dimulai pada jam 14.00 siang maka jilid pamungkas akan selesai pada sekira jam 4 pagi keesokan harinya.

Kitab ini ditulis dalam huruf Arab pegon, bahasa Sunda. Awalnya terdiri dari 20 jilid secara terpisah, tetapi di toko kitab yang saat ini beredar hanya dijumpai kitab yang sudah disatukan dalam satu jilid sehingga agak lumayan sulit membacanya. Maklum, dalam tradisi pegon hampir tidak ada hak cipta. Kitab-kitab itu dikloning oleh banyak percetakan tanpa berganti master sehingga makin lama kualitas cetaknya kian memburuk.

Semua orang yang mengerti huruf pegon, memang bisa membaca kitab ini, tetapi untuk menyenandungkannya seperti Mang Naim atau Bi Omah, perlu keahlian khusus dan tentu saja jam terbang.

Apa yang berbeda?

Ya, isi kitab ini sama saja dengan catatan sejarah tentang Nabi Muhammad SAW. Bedanya, kitab ini ditulis dalam bentuk syair dalam Bahasa Sunda dan sangat komprehensif merangkum perjalanan sang Nabi, sejak penciptaan Nur Muhammad hingga wafatnya. Dirangkum dari berbagai kitab tarikh Nabi. Ada bagian-bagian yang selama ini jarang diketahui, misalnya konspirasi rencana pembunuhan terhadap Siti Aminah sebelum Nabi dilahirkan.

Kitab ini menjelaskan secara hidup bagaimana kehebohan masyarakat Makkah. Tertera dalam sub judul: Aya hiji kahinah wasta Nini Zarqo rek ngarah pati Siti Aminah (Ada seorang dukun bernama nenek Zarqo ingin membunuh Siti Aminah). Dibacakan oleh maestro sekelas Bi Omah, kisah konspiratif itu serasa hidup dan tergambar jelas. Serta merta tumbuh kebencian di antara pendengar pada keculasan dukun Zarqo ini. Saat dituturkan kisah yang menyenangkan, pendengar ikut bergembira. Saat kisah sedih dibacakan, pendengar pun meleleh, ikut merasakan kesedihannya. Perpaduan kitab yang ditulis apik dan narator yang berhasil menghidupkan kisahnya, membuat pendengar terpukau oleh kisah Sang Nabi.
Sedekah Mulud

Grebeg Mulud atau Sekaten, baik di Yogyakarta atau Cirebon, masih menjadi daya tarik pengunjung yang datang berduyun-duyun untuk ngalap berkah atau sekedar berwisata. Saya ingin berbagi tuturan kisah yang agak jauh dari lingkungan keraton. Tepatnya di Kampung Ciwedus, Timbang, Cigandamekar, Kuningan.

Ciwedus pada awal abad XX adalah pesantren dengan santri yang datang dari berbagai daerah di Jawa Barat. Kiai Sobari atau Mama Ciwedus yang wafat pada 1916 adalah guru yang melahirkan banyak ulama besar pada masanya, seperti Kiai Nahrowi Keresek Garut, Kiai Ilyas Banjar, Kiai Syuja’i Kudang Tasikmalaya, dan Kiai Abdul Halim Asromo Majalengka.

Salah satu tradisi yang diciptakan oleh santri Syaikhona Cholil Bangkalan ini adalah sedekah mulud. Yakni bersedekah setiap peringatan maulid Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awwal. Kegiatan pada acara ini lumrah saja, yaitu pembacaan kitab barzanji dan diba’. Pada setiap malam Jum’at pun sebenarnya ketiga rangkaian puja-puji atas Nabi itu selalu dibacakan. Dan setiap sampai pada kalimat mahallul qiyam, yaitu saat semua hadirin berdiri untuk membacakan kalimat shallallah ala Muhammad, shallallah alaihi wa sallam, mama Ciwedus pasti menangis tersedu. Di hadapannya, seolah-olah Nabi akhir zaman itu benar-benar hadir.

Setiap bulan Maulid, Mama Ciwedus selalu hajat besar. Ia punya kolam seluas 100 bata yang dikhususkan untuk peringatan hari mulia itu yang disebut balong pamuludan. Ikan dari kolam itu tak boleh ada yang mengambil hingga tiba hari sedekah mulud. Ia menjamu semua yang hadir dengan hasil keringatnya sendiri, bukan dari sumbangan pihak lain. Sebagaimana orang tua dan kakeknya, Kiai Sobari menekuni bidang pertanian. Ia menanam lima jenis mangga terbaik di kebunnya. Begitu juga jambu, pisang, dan buah-buahan lainnya. Sudah barang tentu padi dan kambing menjadi bagian dari penunjang ekonomi keluarga.

Ada tiga hal yang dicapai dari tradisi ini, sedekah, silaturahim, dan membahagiakan anak-anak. Bagi anak-anak, hari sedekah mulud adalah hari yang diidam-idamkan karena mereka akan ikut makan besar. Mereka menikmati nasi kuning berpincuk daun pisang dengan aneka lauk yang sehari-hari jarang ditemui. Maka mereka akan sangat kecewa kalau tradisi seperti ini dihilangkan. Kebahagiaan anak-anak itu sangat mahal harganya. Oleh karena itulah sampai saat ini, tradisi sedekah mulud masih dipertahankan di Ciwedus.

Semua terpukau oleh riwayat Sang Nabi dan mengabadikannya dalam tradisi maulidan atau muludan. Tradisi yang dirintis oleh Salahuddin Al-Ayyubi itu telah menemukan bentuk ekspresi lokal yang sangat kuat, seperti diperlihatkan oleh teks-teks berbahasa Sunda dan tradisi Sedekah Mulud di Ciwedus. Sebagaimana dituturkan dalam bait ke 55 dan 57 Pepujian Nabi Kita Semua berikut ini:

Hormat kita kepadanya/saat ia hidup/dan sesudah wafatnya/sungguh tak berbeda.
Kami umat akhir zaman/yang teramat penasaran/ingin bersua menghadapnya/hendak turut berserah badan.

Penulis: Iip Yahya
Artikel ini pernah dimuat di alif.id dengan judul Bagaimana Ekspresi Ulama SUnda Mencintasi Nabi?