Pesantren Panyawungan: Sejarah, Peran dan Kekuatan Tradisional menjelang Milad Ke-111 Tahun
Sabtu, 21 Desember 2024 | 10:00 WIB
Pada 26 Desember 2024 yang akan datang, Pesantren Panyawungan menginjak usia yang ke-111 tahun, bersamaan dengan Milad Pesantren diadakan pula Haul Pendiri Pesantren yaitu Kiai Kholil atau dikenal Mama Sepuh. Rangkaian acara dimulai satu Minggu sebelumnya dengan mengadakan Ziarah Akbar ke Makam para Sesepuh Pesantren dan Tokoh Panyawungan.
Dalam penelusuran jejak sejarah Pesantren-pesantren di Cileunyi (Napak Tilas) bersama Ansor Cileunyi, saya mencatat beberapa Pesantren tua di antaranya: Pesantren Pengkolan (Nailul Kirom) berdiri perkiraan awal 1900an, Pesantren Sindangsari (Al-Jawami) berdiri 1931 dan Pesantren Panyawungan yang dirintis dari tahun 1914 dan mulai berdiri 1916.
Pesantren Panyawungan (Nahdjussalam) bercorak Pesantren Tradisonal (salafy), dengan mempertahankan pembelajaran Kitab Kuning dengan pola sorogan dan bandongan, Pesantren Panyawungan didirikan oleh Kiai Kholil bin Kiai Husein Nahrowi di Kampung Panyawungan Desa Cileunyi Wetan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung.
Menurut penuturan salah seorang keturunan Kiai Kholil yaitu Riza M. Rojab menyampaikan pada saya, bahwa Kiai Husein bin Eyang Ganda berasal dari daerah Ciawi Tasikmalaya. Kiai Husein mempunyai putra bernama Kiai Kholil, Kiai Kholil inilah yang mendirikan Pesantren Panyawungan atau sekarang disebut Pesantren Nahdjussalam.
Tempat tinggal awal Kiai Husein adalah di Kampung Bojong Malati sebelah selatan Kampung Panyawungan. Kiai Kholil adalah anak pertama KH. Husein dan Hj. Siti Maemunah, perjalanan intelektual Kiai Kholil diawali dengan belajar pada ayahnya KH. Husein, kemudian meneruskan ke Pesantren Sukamiskin, Cibunar Garut, Cibeunteur Banjar dan sempat belajar di Mekkah ke KH. Mahfudz Termas.
Dalam sambutan acara Ziarah Akbar menjelang Milad dan Haol Mama Sepuh, KH. Tb Bibin Sarbini menjelaskan, asal mula Kampung Panyawungan, disebut Panyabungan, dimana di kampung itu terdapat tempat penyabungan ayam. Beliau meneruskan, bahwa KH. Husein adalah santri kelana yang mengaji ke beberapa Pesantren dan terakhir beliau mengaji kepada Kiai Pengkolan Kiai Sulaeman Naqsyabandi (Nailul Kirom). Setelah selesai mengaji di Pengkolan KH. Husein disarankan menikah dan membuka pengajian oleh Kiai Sulaeman Naqsyabandi Pengkolan.
Berdirinya Pesantren Berawal dari keprihatinan beberapa tokoh Kampung Panyawungan atas prilaku masyarakat yang jauh dari Agama, alasan lain dibuatnya Pesantren, dibutuhkannya sebuah lembaga Pendidikan Agama untuk warga wilayah sekitar, diantara Tokoh penggagas itu, diantaranya : H. Afandi, H. Syarif dan H. Hambali.
inisiatIf ini didukung pula oleh Atmadja Dikarta yang menjabat Kepala Desa Cileunyi dan dilanjutkan oleh H. Abdul Hamid, setelah dilakukan pertemuan para Tokoh Panyawungan, maka diputuskan bahwa Kiai Kholil diminta untuk mendirikan Pesantren dan mengajar warga di sekitar Kampung Panyawungan.
Pesantren ini dirintis dari tahun 1914-1916, diawali dengan 15 orang santri, di tahun 1917 Pesantren sudah memiliki bangunan Mesjid, Pondok dan Madrasah. Pola pengajaran Pesantren Panyawungan tidak jauh berbeda dengan Pesantren Tradisonal umumnya saat itu, dari mulai belajar Al-qur'an, Fikih, Tauhid, Nahwu, Sharaf dan lainnya.
Dalam perkembangannya Pesantren Panyawungan sangat inklusif atau terbuka dengan masyarakat sekitar. Selain ada Kiai Sepuh yang di Tokohkan, dari pihak Pesantren ada Kiai khusus yang diutus untuk membina masyarakat dengan mengadakan pengajian di langgar-langgar sekitar Pesantren. Pada tahun 1947 KH. Kholil wafat, Peran Kiai sepuh kemudian dilanjutkan oleh menantu beliau yaitu KH. Tb Ahmad Djazuli suami dari Nyimas Hj. Banasiah putra pertama KH. Kholil.
KH. Tb Ahmad Djazuli berasal dari keluarga Pesantren Sukamiskin (1881) yang didirikan KH. Muhammad bin Alqo. Seperti telah kita ketahui diantara pola gerakan Pesantren untuk melebarkan penguatan syiar agama, diantaranya dengan membangun jejaring kekeluargaan/pernikahan dengan keluarga Pesantren yang lain seperti halnya yang dilakukan Pesantren Panyawungan dan Sukamiskin.
Pesantren Panyawungan semakin kokoh di jaman KH. Tb Ahmad Djazuli, diantara rentang tahun 1947-1977, Peran Pesantren semakin terasa untuk masyarakat, selain dari Kiai yang ditugaskan ke langgar-langgar di perkampungan, Pihak Pesantren menginisiasi juga silaturahmi masyarakat sekitar dengan Keluarga Pesantren dan Santri dengan diadakannya acara Shalawat Keliling untuk memeriahkan perayaan Rajaban dan Muludan. Selain dari warga Kampung Panyawungan dilibatkan pula warga Kampung Bojong Malati, Kara dan Kampung Galumpit.
Setelah KH. Tb Ahmad Djazuli wafat, Kepemimpinan Pesantren diteruskan oleh KH. Ahmad Syambas putra ke-7 Mama Sepuh, dibantu adik beliau yaitu KH. Athoillah. KH. Syambas melanjutkan jejak Kiai sebelumnya dalam mengurus Pesantren, KH. Syambas selain dikenal sebagai Kiai Pondok beliau terkenal pula sebagai seorang Mubaligh yang sering mengisi acara-acara pengajian di luar Pesantren, termasuk di berbagai wilayah Jawa Barat.
Kepemimpinan KH. Syambas tidak berlangsung lama dikarenakan tahun 1980 beliau wafat, beliau tercatat hanya tiga tahun memimpin Pesantren antara tahun 1977-1980. Keberlangsungan Pimpinan Pesantren dilanjutkan oleh KH. Athoillah putra ke-8 Mama Sepuh, KH. Athoillah mengasuh Pesantren dari tahun 1980-2010. Kiai Athoillah adalah Kiai kharismatik yang sangat dihormati masyarakat dengan pola dakwah yang lembut dan penuh kasih sayang. Setelah KH. Athoillah Wafat, Pengasuh Pesantren dilanjutkan oleh KH. Tb Bibin Sarbini dan KH. Bagja Al Mubarok dan dibantu oleh pihak Keluarga besar Seuweu Putu Panyawungan sampai sekarang.
Peran Pesantren, menurut Ahmad Mutaqin di NU Online dengan judul Pesantren Sebagai Subkultur Pendidikan, Pesantren sejak awal kelahirannya telah menjadikan pendidikan sebagai sumber kehidupan. Pembentukan kepribadian yang berkarakter muslim yang dilakukan oleh pesantren justru hampir seluruhnya terjadi di luar ruang belajar. Pesantren sebagai pendidikan berkarakter sudah ada sejak didirikannya, karakter pendidikan akhlak, kebersamaan, dan saling menghargai perbedaan dengan adanya diskusi-diskusi bahtsul masail, musyawarah dan halaqoh.
Sebagai bagian dari masyarakat global, pesantren dewasa ini tengah berada dalam pergumulan yang sangat ketat dengan kebudayaan modern dan kompleksitas kehidupan. Modernisasi telah merubah kemapanan-kemapanan tradisional hampir dalam seluruh dimensinya. Perubahan tersebut tidak saja menyangkut praktik-praktik pragmatis kehidupan melainkan juga menyentuh dimensi yang lebih dalam dan luas, yaitu sistem nilai, visi dan pandangan atas kehidupan itu sendiri. Keadaan ini, tak pelak, menyebabkan pesantren tengah berada dalam dua kutub yang berdegup. https://www.nu.or.id/amp/opini/pesantren-sebagai-subkultur-pendidikan-WZnrc
Pesantren Panyawungan telah melahirkan ribuan alumni Pesantren yang diantaranya banyak yang mendirikan Pondok Pesantren baru, baik di wilayah Cileunyi, Bandung dan Jawa Barat umumnya. Diantara Tokoh yang pernah mondok di Pesantren Panyawungan : Kiai Sudjai Pendiri Ponpes Al-Jawami, Kiai Abdul Qodir Ponpes Almardiyyah, Kiai Yazid Bustanul Wildan dan Kiai Abdurrahman Al-Mubarak.
Pesantren Panyawungan selain dari membangun jaringan dengan masyarakat secara inklusif, dibangun juga jejaring geneologi atau kekerabatan antar Pesantren dengan pola Pernikahan. Diantara Tokoh yang menikah dengan keluarga Panyawungan : Kiai Ahmad Falah, Kiai Falah adalah menantu KH. Kholil, beliau menikah dengan Hj. Siti Fathimah putra Ke-6 KH. Kholil, Kiai Falah adalah salahsatu tokoh NU Sumedang sekaligus Pendiri Ponpes Al-Falaahiyyah Cikoneng Sumedang.
Kemudian KH. Kholil Afandi Pesantren Nurul Islam Cianjur menikah dengan Hj. Siti Solihah, KH. Muhyidin Pesantren Nurul Huda Leuwi Nyiru Benteng Ciamis menikah dengan Hj. Siti Hafshoh, KH. Muhammad Musa Pesantren Cibeunteur Banjar menikah dengan Hj. Siti Maemunah dan KH. Qomaruddin Pesantren Darul Mukminin Cibatu Garut menikah dengan Hj. Siti I.Masruroh.
Pesantren Panyawungan dari mulai dirintis sampai sekarang mampu menjawab tantangan perubahan jaman dengan segala dinamikanya. Lingkungan yang terus berubah dari mulai daerah persawahan sampai menjadi wilayah pemukiman dan industri mampu diseimbangkan dengan pola tradisional Pesantren.
Seperti yang diulas KH.Tb Bibin Sarbini, kunci keberlangsungan Pesantren Panyawungan hingga saat ini adalah dengan di topang 4 Pilar, yaitu : Peran Ulama dengan ilmunya, Aghnia dengan dukungan hartanya, Umaro dengan kebijakan yang mendukung keagamaan dan terakhir peran serta Masyarakat.
Maka dengan bersatunya 4 Pilar itulah akan tercipta "Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur." Wallohu A'lam
Nasihin, Peminat sejarah pesantren dan NU, tinggal di cileunyi
Terpopuler
1
Gus Yahya Respons Wacana Pendanaan MBG Melalui Zakat: Perlu Kajian Lebih Lanjut Karena Kategori Penerima Zakat Sudah Ditentukan
2
Profil Alex Pastoor dan Dany Landzaat, Dua Asisten Pelatih yang Dampingi Kluivert di Timnas Indonesia
3
Khutbah Jumat Terbaru: Bulan Rajab, Momentum untuk Tingkatkan Kualitas Spiritual Diri
4
Refleksi Harlah ke-102 NU: Membangun Sinergitas Harokah dalam Ber-NU
5
Pentingnya Menggerakkan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama di Kota Bogor Menjelang Harlah ke-102
6
MoU Haji 2025 Ditandatangani, Indonesia Akan Berangkatkan 221 Ribu Jamaah
Terkini
Lihat Semua