• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Ngalogat

Persinggungan Gus Dur dengan Filsafat 

Persinggungan Gus Dur dengan Filsafat 
KH Abdurrahman Wahid/Gus Dur (Foto: Twitter / Setkabgoid)
KH Abdurrahman Wahid/Gus Dur (Foto: Twitter / Setkabgoid)

KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh Nahdlatul Ulama yang sangat mencintai pengetahuan, khususnya di bidang filsafat. Kebiasaanya semenjak kecil yang gemar membaca buku menjadikannya dikenal sebagai kutu buku dan pribadi yang cerdas. 

 

Gus Dur kecil dikenal sebagai pecandu buku bacaan. Bahkan ibunya, Nyai Sholichah kerap kali memarahi Gus Dur karena kegemarannya dalam membaca. 

 

"Jangan terlalu banyak membaca, nanti matamu rusak," kata Nyai Sholichah. 

 

Semenjak kecil, ia memanfaatkan perpustakaan ayahnya (KH. Wahid Hasyim). Pada masa itu ia sering berkunjung ke perpustakaan ketika keluarganya menetap di Jakarta pada tahun 1949. Pada saat itulah ia akrab dengan buku-buku filsafat. 

 

Pada masa ia sekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), ia telah menguasai bahasa Inggris. Oleh karena itu  Gus Dur sudah membaca beberapa buku berbahasa Inggris, di antaranya Das Kapital karya Karl Marx, buku filsafat Plato, Thalles, dan novel karya William Bochner. 

 

Ketika Pak Sumatri, seorang guru SMEP mengetahui kepandaian Gus Dur dalam bahasa Inggris, ia memberikan buku What is To Be Done, karya Vladmir Lenin. Seorang revolusioner komunis, teoretikus politik berkebangsaan Rusia. 

 

Kebiasaan ini adalah salah satu hal yang membentuk pribadi Gus Dur. Maka hal ini tidak bisa dilepaskan dengan kecenderungan pribadi Gus Dur di masa dewasa. Bahkan, persinggungan Gus Dur dengan filsafat masih terasa ketika beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. 

 

Diceritakan bahwa pada tahun 1979 saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI dirinya berkunjung ke Maroko. Di salah satu masjid negara ini, ia mendapati salah satu kitab terjemahan bahasa Arab yaitu Etika Nikomakeia karya Aristoteles. 

 

Menyaksikan kitab langka itu, Gus Dur menangisinya. Melihat Gus Dur menangis terharu, imam masjid setempat bertanya: 

 

"Kenapa anda menangis,” tanya sang imam masjid. 

 

"Kalau bukan karena kitab ini, saya tidak akan jadi Muslim," jawab Gus Dur. 

 

Dari rentetan sejarah Gus Dur yang semasa kecilnya bergelut dengan buku dan kepiawaiannya dalam bahasa Inggris serta aksesnya terhadap buku-buku filsafat hingga usia dewasa maka bisa dikatakan bahwa dalam perjalanan hidupnya selalu bersinggungan dengan dunia filsafat. 

 

Akan tetapi, yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana ketertarikan Gus Dur dalam filsafat itu bukan terletak pada sesuatu yang abstrak. Ia lebih tertarik dengan bagaimana caranya agar mempunyai sifat manusiawi. Ketika masa itu hingga dewasa, ia sangat memahami kepelikan sifat manusia. 

 

Referensi: 

Greg Barton. 2002. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS.
Anom Whani Wicaksana. 2018. Gus Dur: Jejak Bijak Sang Guru Bangsa. Yogyakarta: C-Klik Media.
M. Haromain. 2016. Ketika Gus Dur Menangis Lihat Kitab Etika Aristoteles. https://www.nu.or.id/amp/fragmen/ketika-gus-dur-menangis-lihat-kitab-etika-aristoteles-FcwdL
(diakses 7 Juni 2022)


Ngalogat Terbaru