• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 14 Mei 2024

Ngalogat

Pagebluk dan Bahaya Revolusi Mental

Pagebluk dan Bahaya Revolusi Mental
ilustrasi: NU Online
ilustrasi: NU Online

Oleh Riky Sonia

Jika diekspresikan, Ibu Pertiwi saat ini sedang bersedih melihat sang anak; Bumi Nusantara yang tampak menangis lantaran lelah bercampur frustrasi.

Lelah karena ruang gerak serba terbatas. Frustrasi karena banyak yang meninggalkan sang Bumi Nusantara selama-lamanya. Ini semua karena si jahanam yang bernama pagebluk.

Perlu diketahui, saat ini berdasarkan data, kita ranking satu dunia dengan angka kematian harian terbanyak karena pagebluk. Indonesia satu-satunya negara yang melaporkan kematian hingga lebih dari seribu dalam satu hari kemarin. Tercatat ada 1.007 orang meninggal setelah terinfeksi dalam 24 jam terakhir.

Angka kematian harian terbanyak kedua dilaporkan Rusia 749 jiwa. Lalu India 720 jiwa, Brasil 597, dan Kolombia 528 jiwa. Ranking satu loh, iya satu! (Suara.com, Senin, 12 Juli 2021)

Tapi nanti dulu, tahan dulu. Apakah ini yang membuat Ibu Pertiwi bersedih? Saya kira tidak. Bukan ini. Saya yakin sang ibu tidak begitu sedih, karena sesungguhnya kondisi ini pernah terjadi di masa lalu dan itu lebih mengerikan. So, tidak begitu kaget.

Saya yakin, kalian yang membaca post ini belum ada ketika Ibu Pertiwi sedang merintih kesakitan akibat ulah si "jahanam" pagebluk pada saat itu.

Pada tahun 1918-1920, dunia pernah dilanda pagebluk atau pandemi layaknya COVID-19. Yakni, saat flu Spanyol menjadi wabah global, yang juga berdampak di negara kita yang saat itu masih berada di bawah koloni Hindia Belanda. Ketidaksiapan penguasa membuat jatuhnya banyak korban dan masyarakat saat itu memilih mengonsumsi ramuan tradisional. (Antaranews.com, Sabtu, 1 Agustus 2020).

Mungkin kita sepakat. Terkait pagebluk yang kini membuat sang ibu menangis hingga tersayat-sayat hatinya adalah efek dominonya.

Sosial pasti. Ekonomi apalagi. Tapi hal itu sesuatu yang biasa. Pasti terjadi di kala sedang terjadi bencana.

Yang berbahaya dan ini sedang terjadi adalah "Mental Breakdown" (kondisi stres berat yang membuat seseorang kesulitan menjalankan aktivitas seperti biasa) akibat ketidakberdayaan menghadapi pagebluk.

Hal ini cenderung merubah mental seseorang atau "Revolusi Mental" ke arah negatif.

Iya. Hal inilah yang harus diwaspadai dan ini perlahan sedang terjadi. Saya mendengar sendiri, ketika ada yang meninggal terkonfirmasi positif akibat pagebluk, keluarga duka tampak kesulitan mencari orang penggali kubur.

Penggalih kubur di sini bukan status profesi. Sifatnya gotong royong. Iya, di sini tepatnya di kampung saya masih terjaga tradisi luhur seperti ini. Tapi ketika kondisi Pagebluk saat ini mulai terjadi pergeseran.

Masuk akal alasannya, karena takut tertular. Tapi, alasan itu akhirnya menjadi kadaluwarsa di akal saya, ketika keluarga duka mengiming-imingi sebuah upah dan akhirnya mereka (warga) mau untuk menggali kubur.

Ada lagi satu kasus, yakni jual beli darah plasma (donor darah dari penyintas yang diklaim menjadi solusi pengobatan Pagebluk saat ini selain vaksin).

Kasus ini diungkap para peneliti dari Australia, dimana penjahat siber menawarkan darah yang diduga milik pasien sembuh Covid-19 di dark web. Darah yang dimaksud adalah plasma darah milik penyintas Covid-19 dan dijual sebagai vaksin pasif.

Para peneliti dari Australian National University menemukan hal ini ketika mencari tahu bagaimana para penjahat siber memanfaatkan Covid-19. Laporan mengenai hal tersebut dipublikasikan oleh Australian Institute of Criminology. (Liputan6.com, Senin, 4 Mei 2020).

Meski ini terjadi di luar negeri, tidak menutup kemungkinan pada kondisi serba sulit seperti ini bisa juga mempengaruhi dan terjadi di Indonesia.

Sepintas tak ada yang salah, baik pada kasus pertama maupun yang kedua. Namun jika ini dibiarkan tanpa ada upaya pencegahan, akan menjadi ancaman nyata bagi Bumi Nusantara.

Kita ketahui bersama, bahwa bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang beradab. Yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti gotong royong. Bahu membahu. Meski berbeda-beda tetap satu dan itu diakui oleh dunia.

Berdasarkan buku laporan Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018, A Global View of Giving Trends, yang dipublikasikan pada Oktober 2018, skor Indonesia untuk membantu orang lain sebesar 46 persen, berdonasi materi 78 persen, dan melakukan kegiatan sukarelawan 53 persen.

Nilai tersebut menjadikan Indonesia untuk pertama kalinya memuncaki posisi pertama sebagai negara paling dermawan di dunia, setelah sebelumnya pada tahun 2017 berada diposisi kedua. (Liputan6.com, Rabu, 12 Juni 2019).

Jangan sampai selesai pagebluk mental kita berubah. Menjadi bangsa yang materialistis. Yang tak beradab dan tidak bersatu. Jika ini terjadi, kehancuran tinggal menghitung waktu. Panik nggak, panik nggak, panik lah masa nggak ‼️

Sudah selayaknya kita kembali ke dasar negara kita, yakni Pancasila. Di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dimana dalam proses perumusannya, melibatkan banyak orang mulia dengan pemikiran dan perjuangan yang berdarah-darah. 

Ingat, tugas kita hanya menjalankan, jangan sampai Ibu Pertiwi semakin sakit melihat tingkah kita yang hanya merusak. Cukupkan sampai di sini. Sudahi. Mari bangkit bersama demi Indonesia normal ‼️

Cirebon, Rabu 14 Juli 2021


Penulis adalah Pengurus Pengurus PC GP Ansor Kabupaten Cirebon
 


Ngalogat Terbaru