• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Ngalogat

Nostalgia di Pesantren

Nostalgia di Pesantren
Pengalaman di pesantren akan jadi nostalgia abadi yang layak diceritakan kembali. (Foto: NU Online)
Pengalaman di pesantren akan jadi nostalgia abadi yang layak diceritakan kembali. (Foto: NU Online)

Oleh KH Husein Muhammad

​​​Bila aku pulang ke rumah dari luar kota untuk waktu 3 sampai 7 hari, aku sering meminta anak-anakku, N (10 th) dan F (8 th), untuk tidur bersamaku. Kepada mereka aku sering mendongeng kisah Nabi-Nabi yang 25. Pada saat lain, aku mendongeng kisah kelahiran Nabi Muhammad, Hijrah, Isra-Mi’raj, sahabat Bilal, Amar bin Yasir, dan tak ketinggalan Abu Nawas.

Nah, pada suatu malam, mereka meminta aku mendongeng bagaimana aku dulu mesantren di Jawa Timur.

Aku pun bercerita. Aku masih ingat dengan jelas, tahun 1970, setelah tamat sekolah SMP, ayah-ibuku menganjurkan aku berangkat ke Pesantren, menyusul kakak dan pamanku yang tiga tahun lebih dulu mesantren di Jawa Timur. Begitu juga pada umumnya keluarga pondok di semua pesantren di Indonesia. Mereka memandang pesantren sebagai lembaga pendidikan yang terbaik untuk menghasilkan para mu'allim agama, juru dakwah (da'i) dan ulama. Dan pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang paling awal di nusantara.

Berangkat ke Pesantren

Pada hari yang ditentukan aku berangkat. Ayah-ibu, adik-adik, paman, bibi, dan para tetangga, mengantarku menuju Stasiun Kereta Api di Cirebon. Aku naik kereta api “langsam”, begitu kami menyebutnya. Aku tak tahu nama itu dari bahasa apa. Ia adalah kereta api kelas ekonomi, kelas rakyat dengan ekonomi pas-pasan. Ia berjalan lambat dan berhenti di setiap stasiun. Ia sering padat, bersesak-sesak, panas, pengap, dengan lalu-lalang pedagang yang tak pernah berhenti menjajakan minuman dan makanan kecil. Ketika itu aku tak menganggap ada masalah. Aku menikmati saja apa adanya. Dari balik jendela, aku melihat ayah-ibu dan para pengantar melambai-lambaikan tangan, begitu kereta bergerak sambil membunyikan nada, “Nguuuuk, nguuuk” atau “Tuuut, Tuuut”. Tentu saja aku merasa pilu, meninggalkan orang-orang yang aku cintai untuk waktu yang akan lama.

Perjalanan dari Cirebon ke pesantren di Jawa Timur itu biasanya ditempuh dalam waktu 14 jam, tetapi sering lebih dari itu, 16 atau bahkan kadang bisa sampai lebih dari itu. Maklum. Kereta kelas ekonomi ini harus berhenti mengalah jika akan lewat kereta kelas di atasnya, bisnis maupun eksekutif.

Aku masuk ke dalam kereta sambil berebut kursi. Nah aku melihat kursi kereta ini terbuat dari kayu dengan ayam rotan sebagai tempat duduk. Apa boleh buat. Untuk kereta kelas ekonomi memang begitulah keadaannya dan harus nenerima keadaan itu. Orang-orang miskin harus rela dan menerima keadaan dirinya dengan kesabaran yang penuh sambil terus tersenyum.

Duduk di kursi seperti dalam waktu yang lama, membuat tubuh bagian bawah, pantat, (bokong) seperti hilang, rata. Apalagi bagi orang bertubuh kurus seperti aku. Di kereta ini tak ada pelayanan untuk sewa bantal. Kalau sudah begitu, aku, begitu juga yang lain, menggelar tikar atau kertas koran, di atas lantai atau di bawah kolong kursi. Lalu merebahkan tubuh dan tidur dengan tangan menjadi bantalnya, tanpa peduli para pedagang berkali-kali melangkahi tubuh dan wajahku. Begitulah keadaan Kereta api masa lalu. Sebagian kami ada yang "melekan", tidak tidur, dan asyik "ngobrol ngalor ngidul". Di tempat lain ada penumpang yang main gaple biar tak jenuh menunggu waktu. Tetapi sebagian besar bisa tidur nyenyak, bahkan banyak yang mendengkur, ngorok.

Bila subuh tiba, kereta berhenti, di stasiun tujuan. Kertosono. Aku pun turun meski mata masih mengantuk. Barang-barang aku bawa sendiri. Saat itu koper yang ada bukan koper yang ada rodanya. Tasnya juga bukan tas rangsel ala backpaker itu. Jadi ya lumayan berat. 

Aku segera menuju mushalla untuk shalat subuh. Tempatnya ada di luar stasiun. Sesudah istirahat sejenak untuk sarapan, kami meneruskan perjalanan dengan naik kendaraan yang disebut "oplet" menuju pesantren yang sudah direncanakan.

Bekal Pas-pasan

Anak-anakku mendengarkan dongengku dengan tekun. Bola mata mereka yang indah itu terus memusat ke bibirku. Aku meneruskan.

Untuk perjalanan yang panjang dan melelahkan itu, aku tidak dibekali uang yang cukup untuk bisa membeli minuman dan makanan di atas kereta api. Orang tua hanya membekali nasi timbel dengan lauk tempe, tahu, sambal goreng, ikan asin, telor asin serta air di botol. Untuk keperluan makan selama sebulan di pesantren aku dan para santri pada umumnya, membawa beras sekitar 12 kg untuk makan satu bulan.
Keadaan itu sangat berbeda dengan para santri hari ini, termasuk ketika tiga anak-anaku mesantren. Mereka enggan, tak mau repot-repot membawa beras satu "kandek", waring, meski hanya 12-15 kg. 

“Tidak praktis, repot, berat”, kata mereka. “Toh beras dapat dibeli di tempat di mana kami tinggal atau di mana saja di seluruh pelosok negeri ini,” lanjut mereka. 

Mereka minta uangnya saja. Aku menyimpan gumam membenarkan mereka. Zaman memang terus berubah dan berkembang. Ini adalah keniscayaan alam semesta. Yang tetap hanyalah Tuhan. Kita tak bisa memaksakan tradisi kita kepada anak-anak kita, karena mereka tidak dilahirkan di zaman kita dengan seluruh kondisi dan situasinya. Mereka dilahirkan pada zamannya sendiri, juga berikut kondisi dan situasinya.

Konon kata Socrates atau Platon, sebagaimana dikutip oleh Al-Syihristani dan Ibnu Qayyim 
"Jangan kau paksa anak-anakmu mengikuti jejak tradisimu, karena mereka diciptakan untuk suatu zaman, bukan pada zamanmu".

Kehidupan sehari- hari di Pesantren

Untuk keperluan hidup bulan-bulan berikutnya, para santri akan dikirimi uang oleh orang tuanya melalui pos wesel yang biasanya akan sampai dan diterima mereka dalam waktu tiga sampai seminggu di perjalanan. Komunikasi antar orang tua/keluarga dan anak-anaknya hanya bisa dilakukan dengan surat melalui kantor pos, tak ada telpon apalagi HP. Dalam keadaan darurat bisa dilakukan melalui telegrap. Praktis, seperti para santri lain, akupun tidak pernah berkomunikasi dengan ayah dan ibu atau keluarga lain di kampung. Betapa jauhnya kemarin dulu dan hari ini.

Aku bersama saudara dan teman sekampung tinggal di kamar yang amat sederhana. Ukuran 2x3 m. Kami masak bergantian. Tiap orang setor beras satu gelas. Lalu dimasak di atas kompor. Bila air nasi sudah surut, kangkung yang sudah dipotong-potong diletakkan di atas nasi setengah masak itu. Dan di atas tumpuksn kangkung itu diletakkan bumbu : parutan kelapa dicampur "gerusan", tumbukan atau ulekan cabe, bawang merah dan garam secukupnya. Sambil menunggu masak kami menghafal pelajaran, seperti bait-bait Alfiyah Ibnu Malik (1000 bait tentang gramatika bahasa Arab) atau Jauhar Maknun (syair-syair tentang ilmu sastra Arab) atau Sulam Munawraq, (ilmu Mantiq/ logika Aristotelian), atau Nazham al- Faraid al Bahiyyah (tentang kaedah- kaedah Fiqih) atau membaca kitab kuning, dan lain- lain.

Itulah lauk nasi ku sehari-hari selama tiga tahun. Tak berubah dan berganti. Tak juga makan di warung pondok, karena tak punya uang lebih. Kadang-kadang ada kiriman dari rumah, gorengan ikan asin atau ayam. Tapi ini sangat jarang.

Penulis adalah Pengasuh Pesantren Daruttauhid Arjawinangun Cirebon


Editor:

Ngalogat Terbaru