• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Ngalogat

Nostalgia di Pesantren (2)

Nostalgia di Pesantren (2)
Para santri sedang mengaji kitab kuning (NU Online).
Para santri sedang mengaji kitab kuning (NU Online).

KH Husein Muhammad

Kiriman uang terlambat

Aku masih sangat ingat suatu keadaan yang membuatku sangat gelisah. Pada suatu saat, kiriman dari orang tua yang biasa datang pada tanggal tertentu, terlambat datang. Pemberitahuan mengenai adanya wesel berisi kiriman uang di pesantrenku ditempelkan di box di depan kantor pesantren. Pada hari yang semestinya weselku datang, aku pergi ke kotak pengumuman itu untuk melihat dan mencari-cari namaku. Dan aku harus kecewa, namaku tidak ada di sana. 

Hari berikutnya dan berikutnya lagi kami bergiliran melihat box itu lagi dan tetap belum datang juga. Kami gelisah dan cemas. Sementara beras sudah habis. Dari pagi hingga siang hari itu kami tidak masak. Atas saran seorang kawan, aku mencari teman yang aku anggap paling dekat denganku, untuk meminjam uang, sesuatu yang tidak ingin aku lakukan. Tetapi sayang, teman dekat itu ternyata juga miskin. Dia tidak makan nasi bertahun-tahun, sejak kecil sampai hari itu, bukan karena tidak ingin nasi dan bukan juga karena “laku”, atau “tirakat”, tetapi lebih karena keadaan ekonominya. Aku tahu dia lebih miskin daripada aku.

Dia sangat baik, aku acap mampir ke kamarnya untuk ngobrol atau memintanya mengajarkan membaca kitab kuning atau mendengarkan hafalan “Alfiyah”, dan Nazham “Jauhar Maknun” atau lainnya. Maka kepadanyalah aku menyampaikan keadaan kami. Dia ikut merasakan keadaanku yang sedang dalam keadaan terpaksa, lalu serta-merta meminjami kami uang Rp. 25. (dua puluh lima rupiah). Dia masih ada uang. Lalu uang itu aku belikan ketela pohon goreng di warung pondok sambil sembunyi-sembunyi dari mata teman-teman. Sebagian disimpan untuk membeli makanan yang sama untuk malam harinya, seraya berdoa agar esok hari namaku tertulis di box.

Kiriman Wesel 1000 rupiah

Bola mata dua anakku kembali berkaca-kaca, mengembang embun, lalu memelukku, tanpa bisa berkata apa-apa. Aku membiarkannya saja. Bungsuku bertanya, berapa rupiahkah kiriman wesel untuk buya dari buyanya buya setiap bulannya? Aku mengatakan, Rp.1000,- (seribu rupiah). 

“Buya menerima saja pemberian kakekmu berapapun, dan tidak mengeluh apa-apa, apalagi marah-marah,” karena memaklumi keadaan.
Lalu aku beritahukan bahwa kakek mereka (ayahku) hanyalah seorang guru ngaji dan menjadi pegawai negeri dengan mengajar di madrasah tsanawiyah. Sebenarnya menjadi pegawai negeri bukanlah cita-citanya, dan tak diinginkannya. Pada masa itu dalam etika pesantren dan pandangan para kiyai, belajar diarahkan bukan untuk menjadi pegawai pemerintah, melainkan semata-mata untuk mencari ilmu dan menghilangkan kebodohan. Mereka, para ulama dulu itu, sangat berusaha menghindari menerima gaji dari Negara, karena konon “syubhat” (tak jelas), halal haramnya.

Mereka sangat menganjurkan agar mendapatkan uang dari kerja dan usaha yang betul-betul jelas halalnya. Ayahku juga sudah melaksankan anjuran itu, tetapi selalu gagal. Akhirnya terpaksa menerima menjadi pegawai negeri yang saat itu mudah dan tidak ada pungutan apapun. Tapi nanti kalau dapat bagian beras, hendaklah beras itu dijual, lalu uangnya dibelikan beras di pasar. Lucu juga ya?

Sementara nenek mereka (ibuku), hanya mengajar baca al-Qur’an pada santri putri dan di rumah saja. Kadang-kadang menjahit kalau ada pesanan tetangga, dan itu juga bila ada waktu luang.
Nah, kemudian dari jumlah seribu rupiah itu aku hanya menerima Rp. 800,- (delapan ratus rupiah), karena sudah dipotong untuk iuran pesantren dan madrasah. Uang 800 rupiah ini kemudian digunakan untuk membeli beras 12 kg, lauk-pauk sebulan dan minyak tanah. Jumlahnya Rp. 600,- (enam ratus rupiah). Sisanya, sebagian untuk membeli makanan kecil “sukro”, kacang tanah goreng dan air teh manis satu mug besar. Dengan makanan kecil ini, kami mengundang teman kamar sebelah. Ini tradisi para santri sebagai bentuk “tasyakkur”, rasa syukur, berterima kasih kepada Tuhan. Sisanya untuk membeli sabun dan pasta gigi. Maka sesudah itu kami tidak punya uang lagi, dan harus menunggu tiga puluh hari berikutnya.

Begitulah hari-hari kami selama tiga tahun di pesantren. Jika kami sedang malas masak air minum, kami menuju sumur, mengambil timba dan mengulurkannya ke dalam sumur lalu meminum airnya dari tempat itu. Ini telah menjadi umum dan biasa bagi para santri. Dan aku serta mereka sehat-sehat saja. Meski hari ini tak lagi.

Santri minum air mentah dari sumur pondok atau kamar mandi kiai juga terjadi di pesantren kakekku, Kiai Syatori, santri Hadratusyeikh Hasyim Asy'ari, kakek Gus Dur itu.

Banyak santri miskin jadi ulama besar

Sepanjang cerita, kedua anakku mendengarkan dengan tekun, diam dan mata yang berkaca-kaca. Kadang-kadang jari-jari tangannya yang lembut memegang kain bajunya lalu mengusap-usapkan pada matanya. Sesekali menggenggam tanganku erat-erat. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan. Akupun memeluk mereka satu persatu, menguatkan hati mereka. Aku mengatakan kepada mereka untuk mencapai sukses seseorang harus berjuang, dan berlelah- lelah. Kakek kalian Abuya Muhammad telah menulis syair :
 

Arep mangan kudu ngliwet
Aja namung kruwat kruwet.
Uga wong kang arep pinter
Kudu wani pegel banter

Mau makan harus masak
Janganlah hanya mengeluh
Juga orang ingin pintar
Harus brani lelah semangat

Orang-orang melayu membuat pantun :
Berakit-rakit dahulu
Berenang renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian

Lalu aku juga menyanyikan bait syair dari Imam Syafi' i:

ومن لم يذق مر التعلم ساعة,
تجرع ذل الجهل طول حياته

“Dan barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar,
maka ia kelak harus mampu menahan perihnya kebodohan”.

Para ulama besar, di manapun dan kapanpun banyak yang lahir dari keluarga miskin, tidak mampu secara ekonomi. Ayah Imam Ghazali itu miskin. Ia bekerja memintal benang untuk membiayai kedua anaknya. Imam Nawawi juga miskin. Setiap hari makannya roti kering dari madrasah. Mereka menempuh perjalanan mencari ilmu dengan jalan kaki dari propinsi ke propinsi. Istirahatnya di mushalla.

Mbah Yai Manaf, Mbah Yai Marzuki dan Mbah Yai Mahrus Ali , semua para pengasuh pesantren Lirboyo itu adalah santri- santri miskin, jauh lebih miskin dari buya. Beliau- beliau adalah ulama besar, guru para ulama/kiai. Kemiskinan itu acapkali memicu orang untuk semangat berjuang keras dan tekun belajar dan ibadah. Para santri sekarang pada umumnya lebih enak dan lebih makmur dari santri dulu.

Mendengar ceritaku ini, tampak bibir mereka mengembang sedikit ceria, seperti ingin tersenyum. Tangan mereka memeluk tubuhku kencang sekali.

Penulis adalah Pengasuh Pesantren Daruttauhid Arjiwinangun Cirebon


Editor:

Ngalogat Terbaru