• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Ngalogat

Mengenang 7 Hari KH Mahmud Mudrikah Hanafi, Jenazah yang "Jalan Sendiri"

Mengenang 7 Hari KH Mahmud Mudrikah Hanafi, Jenazah yang "Jalan Sendiri"
Jenazah yang “Jalan Sendiri” KH Mahmud Mudrikah Hanafi, Mengenang 7 Hari Wafatnya. (Foto NU Online Jabar)
Jenazah yang “Jalan Sendiri” KH Mahmud Mudrikah Hanafi, Mengenang 7 Hari Wafatnya. (Foto NU Online Jabar)

Orang suci memiliki caranya sendiri untuk berpamitan. Termasuk dalam menjumpai kematian. Dalam kondisi ini, seseorang seolah berhadapan pada dua persimpangan. Antara bergembira atau harus bersedih. 


Begitu malaikat izrail mengetuk ”pintu”, agaknya tiap orang menghadapi situasi yang serba tak menentu. Bergembira karena inilah waktunya pulang menghadap Allah, Tuhan semesta alam. Tapi di sisi lain, tersimpan kesedihan karena mesti meninggalkan orang-orang terkasih, seperti anak, istri, keluarga ataupun para santri. 


Namun bagi manusia, kematian bukanlah sebuah akhir, melainkan babak baru memasuki dunia yang lain, yang tak pernah bisa disangkal. 


Jum’at, 7 April 2023, bertepatan pada bulan Ramadan 1444 hijriah, persis di hari Jumat, malam Nuzulul Qur’an, ulama itu menghembuskan nafas terakhir. Ialah KH. Mahmud Mudrikah Hanafi yang kita cintai. 


Kiai Mudrikah yang biasa disapa Ama Siqoy, kala itu bersikap lain dari biasanya. Ia sepertinya sudah menyadari bahwa waktunya tak lama lagi. Ia seakan hendak melewati Nuzulul Qur’an dengan kesendirian. ”Ama bade shalat tarawihna di kamar,” (ama mau shalat tawarihnya di kamar), begitu katanya kepada anak istrinya ketika diajak shalat berjama’ah di masjid pesantren Siqoyaturrahmah.


Persis pukul 20.30 WIB, pasca tarawih, KH Ade Abdul Muiz Sibli Hanafi, anak Ama Siqoy semula ingin menemui ayahnya di kamar. Tak menyaut setelah beberapa kali panggilan dan ketukan pintu, Kiai Ade terpaksa menerobos kamar. Namun, ternyata Ama Siqoy telah tiada. 


Di hadapan Ama Siqoy masih terbuka Qur’an yang sedang dibacanya, dan tasbih menempel erat di tangannya. Di sinilah perbedaan orang suci dan orang biasa. Orang suci barangkali selalu merasa bahwa amal ibadahnya belumlah cukup sebagai bekalnya nanti. Sehingga selalu mengira waktu yang dimilikinya masih kurang untuk selalu bertaqwa kepada Allah. 


Diketahui juga, sehari sebelum sepeninggalan Ama Siqoy, ia sempat menamatkan Qur’an dan ”pasaran” atau yang dikenal dengan pengajian rutin ramadan untuk santri yang mengkaji beberapa kitab khusus, seperti kitab Ihya Ulumuddin juz 1-2, kitab Tanwirul Qulub, Jami’us Shogir, Sara’ Alfiah, Ukudul Juman dan Tafsir Nawawi. 


Bagi Ama Siqoy, mengurung diri di kamar mungkin cara untuk mencegah kesedihan orang yang mencintainya. Tapi tidak demikian bagi orang yang terdidik di pesantren. Sebagaimana kata Imam Al-Ghazali di kitab ”Bidayah Al-Hidayah” yang dinukil dari kitab ”Maroqil-’Ubudiyah” (مراقي العبودية) karangan Imam Nawawi Al-Jawi dari Tanara, Banten. 


Di situ disebutkan bahwa:

مَنْ لَمْ يَحزَنْ بِمَوتِ الْعاَلِمِ فَهُوَالْمُناَفِقُ

(man lam yahdzan bimawtil ‘aalimi fahuwal munaafiqu),


Artinya ”siapa yang tidak bersedih dengan kematian seorang ulama, maka ia termasuk kaum munafik.” Maka setegar apapun keluarga ataupun para santri mustahil tidak merasa kehilangan dan bersedih. 


Selain itu, sesungguhnya umat memang harus bersedih ketika seorang ulama berpulang karena kematiannya adalah petanda Allah mengangkat ilmunya dari bumi. Karena dalam masa bertahun-tahun, bahkan berabad-abad belum tentu kita menemukan ulama sejenis yang bisa membimbing umat. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut: 


اِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا


(Inna Allaha laa yaqbidhul “ilman tidzz’an yantadzi’uhu minal ‘ibaadi wa lakin yaqbidhul ‘ulamaai hatta idzaa lam yubqi ‘aaliman ittakhadzan naasu ru_uusaan juhhaalan fasuiluu faaftaw bi ghoiri ‘ilmi fadholluu wa adholluu)


Artinya: "Allah tidak mengambil ilmu dengan menariknya dari bumi, tetapi Allah mengambil ilmu-Nya dengan mewafatkan para ulamanya. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan orang-orang ‘alim di situ, para manusia menjadikan orang-orang bodoh (bukan ahli ilmu) sebagai tempat bertanya, maka ia berfatwa tanpa ilmu lalu sesatlah dan menyesatkan." (HR Al-Bukhari)


Itulah alasan kenapa kita semua harus bersedih terhadap kepulangan Kiai Mudrikal. Bagi para santri, ketiadaan Ama Siqoy sama seperti hilangnya ilmu bagi umat. 


Ulama yang dicintai umat

Kabar wafatnya Ama Siqoy tak butuh waktu lama sampai ke telinga banyak orang di berbagai wilayah dan perkampungan. Ratusan ribu orang, mulai dari masyarakat biasa, para santri, sahabat ulama lainnya berbondong-bondong untuk ta’dziah. 


Begitu juga dengan para alumni dari pondok pesantren Sirojul Athfal pun segera bergegas berdatangan dari banyak kota, termasuk para pimpinan dan santri dari pondok pesantren baik dari Sukabumi maupun Cianjur dan Bogor serta juga para pengurus Fosil Al-Kautsar (Forum Silaturahmi Alumni dan Keluarga Sirojul Athfal) sebagaimana keterangan dari Ustadz Isman Indosopa dan Gus Faiq Kholilullah


Orang-orang dari berbagai penjuru daerah membludak tak terhitung jumlahnya. Bahkan jenazah Ama Siqoy berulang kali dishalatkan. Mayitnya pun bisa dikatakan ”jalan sendiri” dibopong dari tangan ke tangan hingga sampai dimakamkan karena tiap orang yang hadir ta’dziah ingin menyentuh jenazahnya dan juga karena banyaknya orang bak lautan manusia.


Peristiwa tersebut sama seperti prosesi pemakaman sahabat karibnya Ama Siqoy, yaitu Buya KH.Dadun Sanusi, pimpinan Pondok Pesantren Cikaroya pada tahun 2004 atau sekitar 20 tahun yang lalu. Bahkan saat itu Ama Siqoy yang membacakan ”Talqin” dan turun ke Liang lahat Buya. Sekarang dua sahabat karib tersebut sudah saling bertemu di ”raudha min riyadhil jinaan” (taman dari sebagian taman surga).


Lagi-lagi, ada kecenderungan bahwa orang alim akan melakukan hal yang tidak biasa saat menjelang wafatnya. Tiba-tiba, ia memberikan uang kepada anak-anak dan istrinya minta dibelikan sarung untuk dibagikan kepada masyarakat. Dalam bahasa sunda, Ama Siqoy mengatakan: ”ama sudah tamat mengaji pasaran, sekarang hanya ingin membagikan sarung kepada masyarakat,”. 


Tapi memang, ada kebiasaan Kiai Mudrika yang tak pernah dilewatkan semasa hidupnya di bulan Rajab. Ia pasti melakukan mutolaah (mengkaji) kitab Jam’u; Jawami, dan juga berziarah ke makam para leluhurnya Dalem Cikundul, Cianjur setiap malam selasa. 


Diketahui, kakek dari garis ayah bernama KH Ahmad Soleh adalah keturunan Dalam Cikundul generasi kesepuluh dari Raden Aria Wiratanudatar. Kiai Soleh ini semasa hidupnya dikenal menjalankan tirakat puasa sunah dalam 30 tahun lamanya. 


Kiai Mudrikah dikebumikan di kobong (kamar) santri di lingkungan pondok pesantrennya, yakni Siqoyaturrahman Salabintana sebagaimana wasiatnya. Ponpes ini terletak di Jalan Salabintana, Km 5 Selajambu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. 


Ia meninggalkan istri bernama Hj. E.Kuraesin dan empat orang anaknya, yaitu KH. Soleh Fahrurazi (menantu Mama Sempur Syeh Tubagus Ahmad Bakri, Ponpes As-Salafiyah Plered Purwakarta), KH. Ade Abdul Muiz Sibli Hanafi, KH. Aceng, Ustadz Pipik K. Hanafi, dan Ustadzah Hj. Diba Masrofah (istri Aang Deden Hikam dari Ponpes Darul Cibeureum, Sukabumi). 


Singkat cerita, Sabtu, 14 April 2023 ini tepat tujuh hari wafatnya Kiai Mudrikah, guru yang kami cintai. InsyaAllah segenap masyarakat luas, dan para alim ulama dari berbagai penjuru daerah akan hadir pada peringatan wafatnya guru kami. Mohon doanya, semoga beliau berada di tempat terbaik di sisi Allah.


Agung Munajat, pemerhati pondok pesantren dan peminat kajian keislaman


Ngalogat Terbaru