• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Ngalogat

Mengapa Gus Dur Lebih Senang Dipanggil Gus daripada Kiai?

Mengapa Gus Dur Lebih Senang Dipanggil Gus daripada Kiai?
Gus Dur di sebuah toko kaset di Jakarta (foto: Maman Samanhudi)
Gus Dur di sebuah toko kaset di Jakarta (foto: Maman Samanhudi)

Oleh KH Yahya Cholil Staquf
Siapakah “kiai”? Apa yang kau ketahui tentang “kiai”?
Hari Minggu, 25 Agustus 2013, Gus Mus melalui akun @gusmusgusmu menyiarkan serangkaian twit yang menarik –dalam khazanah twitter lazim disebut TL, yang mana saya sendiri tidak tahu itu singkatan apa.

“Sering kita TIDAK (bisa) MEMBEDAKAN sesuatu yg BERBEDA dan tidak jarang kita MEMBEDAKAN sesuatu yang (sebenarnya) SAMA”, demikian Gus Mus membuka TL-nya. Kemudian beliau memberikan contoh-contoh, “USTADZ dan DA’I tidak sama. Malah USTADZ dengan GURU itu semakna… USTADZ dan KIAI itu berbeda sebagaimana KIAI dan ULAMA itu tidak sama…”, dan seterusnya… –silahkan telusuri sendiri akun twitter beliau.

Dalam berbagai kesempatan, Gus Mus juga kerap membeberkan hasil penelitian beliau menyangkut kategorisasi kiai, “Ada kiai rekomendasi masyarakat, seperti Kiai Mimoen Zubair; ada kiai rekomendasi Pemerintah, yakni MUI”, beliau merinci, “ada kiai rekomendasi media massa, contohnya saya sendiri; ada kiai dukungan dunia maya; ada kiai artis”

Jadi, siapakah kiai? Di kalangan masyarakat pesantren, gelar “kiai” pada mulanya disematkan kepada sesiapa yang diakui keunggulan ilmunya dan diyakini kematangan ruhaninya serta mengasuh pondok pesantren. Sedemikian krusialnya gelar itu sampai-sampai pada sekitar tahun 1930-an pernah diadakan bahtsul masail di antara para ulama Indonesia yang bermukim di Makkah pada waktu itu, dengan pokok bahasan: “Bolehkah memanggil atau memberi gelar ‘kiai’ kepada orang tidak berhak?” Jawaban hasil pembahasannya: “Tidak boleh!”

Tapi penetapan hasil bahtsul masail di Makkah itu tidak lama pengaruhnya. Makin lama, kriteria ke-kiai-an cenderung makin longgar. Di kampung-kampung, orang yang dituakan asalkan sudah bisa memimpin tahlil, dipanggillah ia kiai. Semua muballigh dipanggil kiai, tak perduli kalaupun profesi utamanya yang asli adalah penyanyi atau pelawak. Bahkan ada yang dipanggil kiai hanya karena “kepaten bapak” (ditinggal mati bapaknya). Contohnya saya sendiri. Begitu ayah saya meninggal, sekelompok orang langsung memanggil saya “kiai”, tanpa “fit and proper test” sama sekali!

Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sendiri, orang yang walaupun bukan ahli agama tapi bisa menjabat Ketua Tanfidziyah dalam waktu cukup lama, bisa lantas dipanggil kiai. Maka dewasa ini tak sedikit kita jumpai mantan Ketua Tanfidziyah di berbagai tingkatan yang sesudah habis masa baktinya kemudian masuk jajaran syuriyah, bahkan menjadi Rais!

Yah … disebut dengan panggilan “kiai” memang menyenangkan, walaupun kau sendiri menyadari belum maqam-mu. Apalagi kalau kemudian orang-orang berebut menciumi tanganmu bolik-balik. Hanya yang sungguh-sungguh orang baik saja yang merasa jengah karenanya.

Barangkali hanya ada satu orang di dunia fana ini yang walaupun sudah menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU sekaligus pengurus MUI pusat tapi justru sakit hati kalau dipanggil dengan embel-embel kiai. Yaitu: Pak Slamet (Drs. H. Slamet Efendi Yusuf). Adapun yang sekadar enggan saja tapi tidak sampai sakit hati juga ada. Yakni: Gus Dur. Menurut Gus Mus, sebutan “gus” itu aslinya diperuntukkan bagi putera kiai yang belum pantas disebut kiai. Tapi Gus Dur yang sudah jauh melebihi batas kepantasan pun tetap saja dipanggil dengan “Gus”.

Akino Wewe meriwayatkan, suatu kali salah seorang pengasuh Ponsok Pesantren Lirboyo, Kediri, menanyakan langsung kepada Gus Dur tentang hal itu. Apa jawaban Gus Dur?

“Saya sih lebih senang dipanggil ‘Gus’! Sebutan ‘kiai’ terlalu berat buat saya. Kiai itu kan harus kuat tirakat: makan sedikit, tidur sedikit, ngomongnya juga sedikit. Nggak kuat saya. Enakan jadi gus saja: dikit-dikit makan, dikit-dikit tidur, dikit-dikit ngomong.”

Penulis adalah Katib Aam PBNU


Ngalogat Terbaru