• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Ngalogat

Membaca Makam, Mendengar Sesepuh NU Bertutur

Membaca Makam, Mendengar Sesepuh NU Bertutur
Membaca Makam, Mendengar Sesepuh NU Bertutur. (Foto: NU Online Jabar)
Membaca Makam, Mendengar Sesepuh NU Bertutur. (Foto: NU Online Jabar)

Oleh Abdullah Alawi

Seminggu lalu saya berjalan-jalan di kota Sumedang dalam rangka mendalami tentang sepak terjang tokoh NU, KHR. Mohammad Syatibi, seorang keturunan menak yang juga berperan sebagai penghulu besar dan sekaligus imam besar Masjid Agung Sumedang. 

Sebagai Nahdliyin saya mulai dengan ziarah kepada leluhur tokoh tersebut, yaitu ke Pangeran Santri dan istrinya di kompleks Pasaran Gede. Kemudian berziarah ke kompleks raja-raja di Gunung Puyuh. Khususnya ke Cut Nyak Dien. 

Saat ziarah saya ditemani Cucu Samsu. Dia adalah salah seorang aktivis NU Sumedang yang menikahi cicit KHR. Mohammad Syatibi, juga kepala sekolah SDIT As-Samadani, sekolah yang dikelola tokoh-tokoh NU. 

Setiap ke kompleks makam, Cucu Samsu selalu ngobrol dengan juru kunci, dan menanyakan tentang kabar seseorang. Bahkan di kompleks Gunung Puyuh, ketika pintu depan terkunci, karena waktu sudah sore dan hujan, ia bisa lewat jalan belakang. Lagi-lagi dia mengenal juru kunci itu. Ngobrol ini itu dengan akrab sampai pada pembicaraan perhatian pemerintah kepada kebersihan makam.

Dari situ saya ambil kesimpulan, Cucu Samsu ini orang yang tepat saya ajak sowan kepada leluhur Sumedang, mengantar saya meminta semacam surat izin menulis salah seorang keturunannya. Kesimpulan selanjutnya, Cucu Samsu bisa saya andalkan karena pasti sering berkomunikasi dengan kuburan alias ziarah. Tak ragu lagi saya memintanya untuk memimpin saya berdoa di kuburan. 

Keesokan harinya dan beberapa hari berikutnya, saya meminta Cucu Samsu mengantar tokoh-tokoh sepuh NU Sumedang. Mereka rata-rata berusia di atas 70 tahun. 

Lagi-lagi saya mendapati Cucu Samsu yang akrab dengan mereka sehingga maksud dan tujuan saya tidak terkendala. 

Saya kembali mengambil kesimpulan Cucu Samsu adalah orang yang tepat untuk saya ajak ketemu dengan tokoh-tokoh sepuh. Ini pertanda, selain rajin sowan kepada yang sudah meninggal, ia rajin bersilaturahim dengan orang yang masih hidup. 

Dua komunikasi kepada dua kalangan itulah sejatinya harus terus dilakukan oleh generasi muda NU saat ini di daerah-daerah. 

Tentang manfaat ziarah ke kuburan, jika orang luar NU tidak percaya doa sampai kepada ahli kubur, setidaknya saya bisa menemukan silsilah kerajaan Sumedang yang terdapat di kompleks makam. Memang hal ini bisa dicari di luar pemakaman, setidaknya saya bisa melihat tutunggul atau nisan. Bukankah nisan bisa menceritakan sesuatu dari masa tertentu. Soal ini lebih detailnya bisa tanya kepada arkeolog. 

Tentang manfaat datang kepada tokoh sepuh, saya bisa menemukan cerita-cerita tentang pergerakan NU di masa lalu, tentang pesantren, dan ajengan-ajengan yang selama ini terbenam. 

Kadang saya merasa tak cukup waktu untuk menggali kisah-kisah dari para sesepuh karena begitu semangat mengungkapnya. 

Dari sini, saya mengambil kesimpulan yang mungkin juga bukan kesimpulan bahwa sesepuh NU itu rindu bercerita banyak tentang banyak hal. Tapi selama ini tak ada media untuk mendengarkan. 

Jangan salahkan jika cerita dan sebagian sejarah NU yang tercecer dibawanya ke kuburan karena ulah generasi muda NU yang menganggapnya sebagai nisan sebelum pada waktunya.

Penulis adalah Nahdliyin, wartawan NU Online Jabar


Ngalogat Terbaru