Mat Subversif Mahbub Djunaidi
Oleh Abdullah Alawi
Mahbub Djunaidi, kolumnis terkemuka berjuluk Pendekar Pena, pernah menulis esai berkepala Mat Subversif. Dalam esai tersebut, Mat Subversif adalah nama yang ditahbiskan kepada seorang anak sebuah keluarga Betawi.
Di Betawi, tempat lahirnya mantan ketua umum pertama PMII ini, memang lumrah nama seseorang diawali Mat, misalnya Mat Item, Mat Solar, atau Mat Peci.
Tapi dalam esai yang terkumpul dalam buku Kolom Demi Kolom tersebut, ada Subversif di belakang Mat. Nama tak lazim, aneh, dan pada titik tertentu, terlarang dan haram.
Subversif dalam arti sebenarnya, sangat ditakuti pemerintah Orde Baru saat Mahbub menulis esai itu. Subversif adalah menggerogoti kewibawaan pemerintah. Salurannya bisa demonstrasi; tulisan di buku, koran, atau majalah. Karena “makhluk” ini membahayakan, tak sedikit buku dinyatakan terlarang, surat kabar dibreidel dan pelakunya dipenjara. Mahbub sendiri pernah mengecapnya ketika menerjemahkan (perlu dicek lagi).
Untuk menyiasati pemerintahan demikian, Mahbub mengemas tulisannya dengan humor. Walhasil, tulisannya bebas melenggang tanpa kehilangan kritisnya –yang pada dasarnya subversif . Di sisi lain, pihak yang disubversif, pada posisi gamang. Membekuk salah, karena hampir tak ada bukti. Dibiarkan, berbahaya.
Pada titik ini, betul apa yang dikatakan Gus Dur dalam bukunya Melawan dengan Lelucon, humor merupakan jalan pintas melawan pemerintahan tiran.
Dalam serial Wiro Sableng, hal ini nyaris seperti sarung tangan “penyedot tenaga dalam” milik Datuk Lembah Akhirat. Siapa pun yang melawan, akan tersedot kekuatannya. Dewa Tuak, tokoh silat golongan putih, salah seorang korbannya.
Penulis adalah penikmat kolom-kolom Mahbub Djunaidi