• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 4 Mei 2024

Ngalogat

Mahbub Djunaidi dan Puasa Tingkat Kanak-kanak

Mahbub Djunaidi dan Puasa Tingkat Kanak-kanak
Ilustrasi: NU Online
Ilustrasi: NU Online

Oleh Abdullah Alawi 

Mahbub Djunaidi, penulis kawakan yang berjuluk pendekar pena, pada satu artikelnya pernah menulis tentang puasa anak-anak kecil di zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Ia menulis seperti berikut ini:   

“Beresoknya, beduk puasa berdentam-dentam. Lepas sahur, anak-anak senewen itu masuk keluar kampung menabuh kaleng rombeng, kemudian duduk berjuntai di batang belimbing hingga lohor, sesudah itu tidur telungkup menekan perut keras-keras ke ubin langgar hingga hampir maghrib. Jika saat berbuka puasa tiba, mereka nyaris menelan seluruh isi bumi. Tapi ini tidak berlangsung lama, sembahyang tarawih, yang mereka lakukan sambil sekali dua menyikut rusuk temannya,” tulisnya pada Bulan Puasa Anak-Anak Sekolah. 

Pada zaman Jepang, juga ada kebijakan serupa pada bulan puasa. Dan gaya puasa anak-anak tidak berubah. Mahbub Djunaidi menulis demikian: 

"Sesudah menyanyikan lagu kebangsaan Kimigayo dan Seikerei itu, mereka berhamburan keluar kelas bagai kelereng tumpah dari dosnya. Seperti biasa, esok hari beduk puasa berdentam-dentam, dan seperti biasa mereka bergolek-golek di lantai langgar. Satu dua juga yang diam-diam menggigit mangga muda di belakang kakus." 

Poin dari esai Mahbub itu sebetulnya membandingkan anak-anak zaman penjajahan dan zaman kemerdekaan. Jika zaman penjajahan anak-anak tumbuh kurus dan pendek, zaman kemerdekaan lebih gemuk dan jangkung. Zaman penjajahan sedikit yang sekolah, sementara zaman kemerdekaan lebih banyak murid dari bangkunya. Pada zaman kemerdekaan pula anak-anak punya kesempatan untuk melakukan berbagai hal. Dan kesempatan itu jangan disia-siakan, harus belajar keras, meskipun di bulan puasa. 

”Anak-anak, sesuai panggilan zaman, kamu dipersiapkan untuk berjalan-jalan dari planet ke planet, atau menyuruk jauh ke dalam perut bumi. Karena itu, kamu musti belajar keras, tak terkecuali di bulan puasa. Satu hari terlewat berarti rugi dua puluh lima tahun.” 

Puasa Kelas Kanak-kanak 
Di artikel itu, Mahbub Djunaidi menggambarkan bagaimana anak-anak berpuasa. Namun, menurut saya, anak-anak ini di sini bisa diartikan sebagai anak pada sisi usia dan watak. Artinya, orang tua juga bisa seperti kanak-kanak. 

Untuk itu, mari kita telisik dari ungkapan-ungkapan pada artikelnya itu. Pertama, “Jika saat berbuka puasa tiba, mereka nyaris menelan seluruh isi bumi.”  

Sebagaimana di tulisan-tulisannya yang lain, Mahbub Djunaidi selalu mampu membuahkan metafora yang khas. Dan itu memang kelihaiannya. Jika tidak begitu, bukan Mahbub namanya.  

Lebih dari itu, menurut hemat saya, Mahbub ingin mengatakan bahwa puasa sebetulnya bukan memindahkan jadwal atau menunda makan sehingga ketika bertemu maghrib seperti balas dendam.  

Ungkapan “mereka nyaris menelan seluruh isi bumi” adalah puasa jenis balas dendam sehingga tingkatannya pun adalah puasa tingkat kanak-kanak. 

Kedua, tentang puasa dan keisengan anak-anak. Mahbub Djunaidi mengungkapkan, yaitu: “satu dua juga yang diam-diam menggigit mangga muda di belakang kakus.” 

Dengan ungkapan tersebut Mahbub Djunaidi menyampaikan sifat kanak-kanak yang tidak memahami arti puasa yang sesungguhnya atau paham tapi tidak melaksanakan secara utuh seluruh petunjuk pelaksanaannya. 

Bagi anak-anak, diam-diam makan mangga yang tidak diketahui siapa pun, masih disebut puasa. Ia masih bisa mengaku puasa kepada teman-teman dan orang tuanya. Namun, trik puasa seperti itu tak hanya dilakukan anak-anak, tapi juga orang dewasa. Padahal ia sadar, perilakunya dicatat Yang Maha Melihat.   

Penulis adalah Nahdliyin, tinggal di Bandung


 


Ngalogat Terbaru