• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Ngalogat

Asal-usul Godin atawa Kenakalan Puasa Orang Sunda

Asal-usul Godin atawa Kenakalan Puasa Orang Sunda
Ilustrasi (NU Online)
Ilustrasi (NU Online)

Oleh Abdullah Alawi  

Bahasa Sunda menyumbangkan satu kata untuk umat Islam yang berkaitan dengan puasa di bulan Ramadhan, yaitu ngabuburit. Memang kata ini tak berkaitan dengan syariat, tapi selalu mengiringi, dan yang penting, ini benar-benar dari Sunda. Jika Anda mencarinya ke Arab Saudi, baik di kota maupun di kampung-kampungnya, pasti tak akan mendengar kata itu.

Ngabuburit, levelnya sudah tingkat nasional, digunakan di acara televisi dan radio, diungkapkan di media sosial oleh beragam etnis, latar belakangan jabatan, jenis kelamin, profesi, dan pilihan politik.

Karena kata itu sudah pada tahu artinya, percumalah saya membahasnya.  

Sebetulnya, ada satu kata lagi yang populer di kalangan urang Sunda, khususnya anak-anak mudanya, yaitu godin. 

Apakah artinya godin? Bagaimana asal-usulnya? 

Untuk mencari jawabannya, saya lari ke kamus bahasa Sunda yang disusun R. A. Danadibrata. Kamus tersebut bukan main-main karena menurut Ajip Rosidi memiliki entri yang cukup banyak, sekitar 40-50 ribu kata. Kamus tersebut tidak sembarangan karena disusun dalam waktu yang lama. Sang penyusun datang ke berbagai tempat penutur bahasa Sunda untuk mengumpulkan kata-kata di kamusnya. 

Namun, godin tidak termasuk. Tidak ada. 

Mungkin godin dianggap istilah yang muncul belakangan sehingga penyusunnya tidak mengenal kata itu. 

Padahal sedari saya kecil, akhir tahun 80-an, kata itu sudah populer di Sukabumi. Belakangan, ternyata digunakan pula di Bogor, Bandung, Cianjur, dan mungkin di kota-kota lain. 

Kemana lagi saya mencari arti godin? Kemudian saya lari ke Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi yang disusun Ajip Rosidi. Lagi-lagi saya tidak menemukannya. Godin absen di situ. 

Ada dua kemungkinan penyebabnya godin tak ada pada dua pegangan para cendekia Sunda itu. Pertama, karena tim penulis tidak menemukan istilah itu. Kedua, karena memang tidak layak masuk sebagai entri. 

Jika jawaban yang terakhir yang betul, asal tahu saja, tanpa masuk kamus dan ensiklopedia pun godin tetap saja ada, hidup, dan selalu ada peminatnya, makin populer karena jumlahnya dari waktu waktu semakin banyak. Tapi saya belum menemukan angka yang jelas berdasarkan lembaga survei yang dipuji-puji legitimasinya di televisi. 

Setelah gagal mencari makna godin pada kamus dan ensiklopedia, mau tak mau, saya menggunakan penjelasan manasuka yang semi-semi kirata begitu.  

Saya mengira, godin tersebut berasal dari bahasa Arab yang diambil dari jalinan lafal niat puasa. Seingat saya, niat puasa yang diajarkan guru ngaji dan orang tua adalah “Nawaitu shauma ghadin an adai fardhi syahri ramadhana hadzihis sanati fardhal lillahi ta’ala….”  

Pada kalimat tersebut, ada kata ghadin, bukan? Tapi di situ artinya esok hari. Kenapa ada esok hari? Pasalnya niat puasa dibacakan selepas Shalat Tarawih malam harinya. 

Persoalannya kemudian, makna ghadin dalam jalinan kalimat niat puasa itu “diselewengkan” secara semena-mena. Di Sunda, godin, artinya menjadi berbuka puasa. Penyelewengan itu menjadi berlapis karena berbuka puasanya pun dilakukan sebelum waktu maghrib. Ini artinya buka puasa ilegal. Jadi, godin, adalah penyelewengan makna kata yang berlapis-lapis.  

Siapa pelaku yang menggunakan kata dari bahasa asing dengan cara sembarangan ini? Tentu saja saya tidak tahu, wong kamus dan ensiklopedia saja tidak memuatnya. 

Tapi baiklah, saya menggunakan dugaan-dugaan dengan teknik kemungkinan manasuka lagi. 

Mungkin kata godin itu pada mulanya untuk mendeskripsikan anak kecil yang berbuka puasa sebelum maghrib atau puasa setengah hari. Godin digunakan karena di dalam bahasa Sunda tak punya istilah berbuka puasa ilegal. Mungkin awalnya tak sengaja, tapi kemudian jadi kebiasaan dan akhirnya kesepakatan. 

Yang menjadi masalah kemudian, istilah itu dimanfaatkan orang-orang dewasa. Jadi masalah lagi dilakukan secara terang-terangan. Semakin bermasalah lagi, dilakukan secara berjamaah.   

Dulu, ketika saya kecil, orang dewasa yang melakukan godin dinilai sebagai aib. Mereka akan menjadi perbincangan tetangga dan disindir ajengan. Karena itulah, biasanya godin dilakukan secara gerilya, di hutan, di tepi sungai yang sunyi, di dangau sawah yang terpencil, atau di dalam goa yang gelap. Kalau bisa, pokoknya di tempat tanpa malaikat pencatat. 

Penulis adalah asli pituin Sunda, kelahiran Sukabumi


Ngalogat Terbaru