• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Ngalogat

Kisah Abu Nawas dan Hukum Berdasarkan Prasangka

Kisah Abu Nawas dan Hukum Berdasarkan Prasangka
(Foto Ilustrasi: NU Online)
(Foto Ilustrasi: NU Online)

Oleh: Ade Opa Mustofa

Suatu hari Abu Nawas lewat salah satu Pesantren. Di sekitar pesantren tersebut sedang ada anak santri yang sedang mengaji dengan gurunya. Pada saat lewat, Abu Nawas berteriak dengan nyaringnya:

ألا فاسقني خمرا وقل لي هي الخمر # ولا تسقني  سرا إذا أمكن الجهر

"Wahai kalian berilah aku (minumkanlah) Arak dan katakan kepadaku bahwa itu adalah arak. Jangan kau beri dengan diam2 tapi berilah aku dengan terang-terangan,".

Pada saat mendengar ungkapan Abu Nawas ini, lalu si santri bertanya kepada gurunya. "Apa maksud Abu Nawas dengan syairnya itu wahai guru?,".

Lalu guru nya menjawab "Tidak tahu".

Setelah itu, santri tersebut mencoba menjelaskan, mungkin yang dimaksud Abu Nawas adalah kita ini harus mempergunakan pancaindra ini dengan sempurna. Karena khamr itu ketika diminum maka efeknya akan terasa pada Indra penglihatan, peraba, pencium dan perasa (pengecap), makna itu diambil dari ungkapannya:  ألا فاسقني خمرا dan  وقل لي هي الخمر itu bermakna harus memfungsikan indra pendengaran. Maka sempurnalah Indra yang lima.

Mendengar penjelasan si Santri, maka Abu Nawas tercengang, "kamu memahami syair ku padahal aku sendiri tidak memahaminya dan tidak bermaksud begitu,"

Cerita di atas sampailah ke telingan Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan kemudian Harun Ar-Rasyid memerintahkan polisi untuk menangkap dan menghakiminya.Di meja persidangan Abu Nawas di tuntut dengan tuduhan meminum Khamr. Pada saat itu Abi Nawas melakukan eksepsi (pembelaan/merasa keberatan) atas tuntutan itu. Maka Abu Nawas berkata:

"Wahai Amirul Mu'minin, kau akan menghukumku karena semata-mata syahwatmu atau memang ada kesalahan pada ku? Sedangkan Allah saja pertama menghisab kemudian memaafkan kemudian baru menyiksa,".

Amirul Mukminin menjawab 
"Karena kata-kata mu yang itu,

ألا فاسقني خمرا وقل لي هي الخمر # ولا تسقني  سرا إذا أمكن الجهر

Lalu Abu Nawas bertanya lagi "Apakah kau benar-benar mengetahui bahwa aku meminumnya?"

"Aku berprasangka begitu" Ujar Amirul Mukminin.

Lalu kata Abu Nawas : "Jawab, apakah boleh menjatuhkan hukuman dengan dasar prasangka?,".

Amirul Mu’minin membebaskannya. Kemudian Abu Nuwas dituduh dengan tuduhan yang lain. Yakni
tuduhan atas syair:

مَا اَحَدٌ اَخْبَرَنَا اَنَّهُ  # فِيْ جَنَّةٍ مُذْمَاتَ اَوْنَارٍ

"Tidak ada seorang pun yang memberi kabar bahwa semenjak mati dirinya di surga atau di neraka."

Harun Ar-Rasyid memahami syair ini bahwa tidak ada hadits atau keterangan yang meriwayatkan bahwa seseorang yang telah mati pasti masuk surga atau neraka. Sehingga dengan pernyataan ini Abu Nuwas dituduh ta’thil (melampaui batas) dengan tidak mengakui adanya surga dan neraka.

Padahal yang dimaksud Abu Nuwas adalah: "Tidak ada seorang pun yang sudah mati, terus hidup lagi dan member tahu bahwa dirinya sedang berada di surga atau di neraka,".

Maka Abu Nuwas bertanya kepada Harun Ar-Rasyid:

"Apakah sudah ada yang memberi kabar kepada mu wahai Amirul Mu’minin?," Khalifah tidak menjawab.

Dalam kisah yang lain, suatu hari Abu Nuwas sengaja datang kepada seorang lelaki yang membawa botol minuman keras (khamr), lalu Khalifah memerintahkannya untuk menghukum (had) lelaki tersebut dengan hukuman minum khamr. Lalu Lelaki itu bertanya:

"Apa kesalahan ku sehingga kau ingin menghukumnya wahai Amirul Mu’minin?,"

 Amirul Mu’minin menjawab: "Itu alat buktinya kau membawa botol itu sebagai alat untuk meminum khomr,".

Kemudian si lelaki itu menjawab: Kalau begitu hukumlah aku dengan hukuman zina,".

"Mengapa?" Kata Khalifah.

"Karena aku juga punya alat untuk zina (sambil memegang kemaluannya),".  Akhirnya Amirul Mu’minin tertawa dan akhirnya membebaskan si lelaki itu.

Jika kita pelajari kisah di atas, ini merupakan kritik tajam Abu Nuwas terhadap kecendengan penguasa yang terlalu formalistik dalam memahami sebuah ungkapan, serta kebijakan yang diambil tidak atas dasar klarifikasi (tabayun) terlebih dahulu.

Penulis merupakan salah seorang Kiai Muda Asal Jampang Sukabumi


Ngalogat Terbaru