• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Ngalogat

Kabuyutan Sebagai Konsep Berpikir Masyarakat Sunda

Kabuyutan Sebagai Konsep Berpikir Masyarakat Sunda
Kabuyutan Ciburuy, Bukti Adanya Peradaban Sunda. (Foto: sindonews.com)
Kabuyutan Ciburuy, Bukti Adanya Peradaban Sunda. (Foto: sindonews.com)

Oleh Rudi Sirojudin Abas
Menarik mencermati tulisan Imam Mudofar yang berjudul “Mengenal Istilah Kabuyutan” di situs www.jabar.nu.or.id edisi 25 Mei 2021 pada rubrik Ngalogat. Pada tulisan tersebut, Imam Mudofar menyebutkan bahwa istilah Kabuyutan yang telah ada sejak abad ke-11 M bersumber dari prasasti Sanghyang Tapak merupakan suatu tempat sakral bagi masyarakat Sunda.

Kabuyutan menjadi cikal bakal tempat lahirnya suatu peradaban masyarakat Sunda. Di dalam Kabuyutan, masyarakat Sunda mengekspresikan dirinya melalui laku hidup beragama sesuai dengan norma dan etika kehidupan sehari-harinya.

Sebagai orang Sunda, penulis berkewajiban untuk menjelaskan lebih dalam perihal tentang Kabuyutan. Kabuyutan tidak hanya sebagai jejak peradaban masyarakat Sunda. Namun dari pada itu, Kabuyutan menjadi peletak dasar konsep berpikir masyarakat Sunda, baik yang berkaitan dengan diri pribadinya (mikrokosmos), dengan alam sekitarnya (makrokosmos), maupun dengan penciptanya (Tuhan).

Seperti yang diungkapkan Imam Mudofar, bahwa istilah Kabuyutan merujuk pada arti tabu, cadu, pantangan, pamali, sebagai tempat suci dan sakral. Namun tidak cukup begitu, maka harus ditemukan syarat-syarat agar setiap tempat dapat dikategorikan sebagai sebuah Kabuyutan. Sebagai tempat suci dan sakral, tentunya Kabuyutan harus terbentuk dari beberapa komponen sebagaimana halnya sebuah bangunan.

Penulis mencatat setidaknya ada tiga syarat suatu tempat dikatakan sebagai Kabuyutan merujuk pada pendapat Jakob Sumardjo dalam buku “Struktur Filosofis Artefak Sunda” (Kelir, 2019: 115-121). 

Pertama, hadirnya simbol Sanghyang Hurip (Tuhan). Sebagai tempat sakral dan suci (baca: keramat), Kabuyutan harus terbentuk dari tiga sipat Sanghyang Hurip yaitu Nu Ngersakeun (Tekad, Kehendak); Nu Kawasa (Lampah); dan Nu Ngabuktikeun (Ucap, Pikiran). Kesatuan sipat Tuhan, Tekad-Ucap-Lampah harus dibaca dari kehendak-Nya dan dari tindakan-Nya melalui simbol alam semesta.

Alam semesta ini terdiri dari langit, bumi, serta manusia dan makhluk lainnya. Maka hubungannya dapat dibaca langit sebagai Tekad, bumi sebagai Lampah, dan manusia yang ada di antara bumi dan langit sebagai Ucap. Langit sebagai Dunia Atas, Manusia sebagai Dunia Tengah, sedangkan Bumi sebagai Dunia Bawah.

Agar Sanghyang Hurip hadir di suatu tempat Kabuyutan, maka harus dicari tempat yang memiliki simbol Ucap-Tekad-Lampah (Atas-Tengah-Bawah/Langit-Manusia-Bumi). Tempat itu biasanya berupa tempat yang ada mata air, sungai, dermaga, atau yang sejenisnya sebagai simbol Langit-Atas. Juga harus ada hutan atau pohon-pohon besar yang merupakan simbol Bumi-Bawah (menumbuhkan segala tanaman), dan harus ada susunan batu-batu besar (megalitikum) sebagai simbol Manusia-Tengah.

Kedua, wilayah kekuasaan (politik) yang dikenal dengan istilah Resi-Ratu-Rama. Dalam Carita Parahyangan dijumpai kalimat yang merujuk pada “bangunan suci” atau tempat keramat (Kabuyutan). “… Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahyangan…” (Atja, 1968: 30) (… yang membuat kabuyutan-kabuyutan dari sang Rama, dari sang Resi, dari sang Disri, dari sang Tarahan bagi Parahyangan). Bahkan beredar pula ungkapan bahwa di Kabuyutan “resi ngagurat cai”, “ratu ngagurat batu”, “rama ngagurat taneuh”. Maka simbolnya Resi sebagai Tekad, Ratu sebagai Ucap, dan Rama sebagai Lampah.

Resi perannya lebih kepada pembuat regulasi hukum, ideologi, norma serta etika sebagai pijakan masyarakat. Ratu perannya sebagai pemangku kebijakan untuk merealisasikan norma atau hukum yang dibuat oleh Resi. Sedangkan Rama berperan sebagai subjek utama (orang) sebagai pelaksana yang melaksanakan norma dan hukum yang telah dibuat.

Ungkapan Resi-Ratu-Rama berkembang di Sunda pada zaman kerajaan Hindu-Budha Sunda yaitu Kerajaan Padjajaran kisaran tahun 400 M-1575 M. Resi sebagai simbol pendeta/pujangga yang hidup dalam bidang keagamaan. Ratu sebagai simbol kekuasaan (raja) yang mengurusi pemerintahan. Dan Rama merupakan simbol rakyat sebagai pelaksana kebijakan pendeta dan kerajaan.

Sementara, sejak Islam datang dan menjadi agama baru bagi orang Sunda, Resi-Ratu-Rama berubah menjadi Pesantren-Menak-dan Rakyat. Pesantren sebagai simbol keagamaan. Menak sebagai simbol pemerintahan. Dan Rakyat sebagai simbol masyarakat umum. Ini artinya pola berpikir kesatuan tiga masyarakat Sunda tidak berubah meskipun mengalami perubahan kekuasaan/kerajaan. 

Ketiga, syarat suatu tempat disebut Kabuyutan harus terletak pada pertemuan dua sungai atau patimuan. Kabuyutan harus juga  terletak di wilayah yang dinamakan “pulo” sebuah tempat yang dikelilingi oleh air, tempat bertemunya dua aliran sungai. Dari sini dapat diambil kesimpulan alasan mengapa Kabuyutan dibangun di antara dua sungai. Jawabannya tiada lain agar keberadaan Kabuyutan tidak dimasuki oleh sembarang orang, terlebih orang luar. Oleh karena itulah maka Kabuyutan bersipat sakral, suci, dan terlarang (tabu) bagi orang luar. 

Jika merujuk pada penjelasan di atas, jejak Kabuyutan sebenarnya berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat Sunda kini. Jika kita melihat komplek pemakaman di seluruh tempat masyarakat Sunda hampir selalu berada di dataran tinggi, dikitari oleh pohon-pohon rindang dan besar, serta tidak jauh dari mata air atau sungai. Mata air simbol dari Langit-Dunia Atas. Makam simbol dari Manusia-Dunia Tengah. Sedangkan pohon rindang dan besar simbol Dunia Bawah-Bumi. Ini artinya pola berpikir masyarakat Sunda tidak pernah berubah.

Terlebih apabila kita mencermati makam-makam (pendiri kampung/ulama/kyai) yang “keramat” seperti di Makam Kian Santang (Garut), Astana Gede Kawali (Ciamis), Kabuyutan Cipaku Darmaraja (Sumedang), Kabuyutan Ciwidey (Bandung) dan makam keramat lainnya selalu memenuhi syarat sebagai tempat Kabuyutan, yakni ada mata air, ada batu-batu, dan ada pohon-pohon tinggi yang tua, dan tempat itu diapit oleh dua sungai.

Dengan demikian, pola berpikir masyarakat Sunda berupa kesatuan tiga yang dirumuskan oleh nenek moyang kita sebagai prasyarat untuk menghadirkan hirup panggih jeung huripna (selamat dan berkah) akan tetap menjadi pedoman masyarakat Sunda, meskipun pada kenyataannya sudah mengalami degradasi nilai.

Tugas kita sebagai orang Sunda adalah mempertahankan pola pikir Kabuyutan dalam setiap langkah hidup demi tercapainya keselamatan hidup. Mengutip syair Amanat Galunggung perihal pentingnya menjaga Kabututan, “… lamun miprangkeima kabuyutan nu galunggung, a(n)tuk na kabuyutan, awak urang na kabuyutan, nu leuwih diparaspade, pahi deung na galunggung, jaga beunangna kabuyutan ku jawa, baluk, ku cina, ku lampung, ku saka-laih, muliyana kulit lasun di jaryan, madan na rajaputra, antukna beunang ku sakalih…” (Apabila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di kabuyutan. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah dari pada rajaputra, (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain) (Danasasmita dkk., 1987).


Ngalogat Terbaru