• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Ngalogat

Mengenal Istilah Kabuyutan

Mengenal Istilah Kabuyutan
Makbaroh Syekh H. Abdul Muhyi di Kabuyutan Pamijahan perkiraan tahun 1910 (Foto: KITLV/Imam Mudofar)
Makbaroh Syekh H. Abdul Muhyi di Kabuyutan Pamijahan perkiraan tahun 1910 (Foto: KITLV/Imam Mudofar)

Oleh Imam Mudofar
Kabuyutan. Sebuah istilah yang tak asing bagi masyarakat di tatar Sunda. Biasanya Kabuyutan diidentikkan dengan penamaan suatu daerah yang memiliki sejarah panjang peradaban, khususnya di bidang pendidikan dan dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Lantas apa sebetulnya makna sesungguhnya dari Kabuyutan? Dan sejak kapan istilah itu mulai muncul?

Mengacu pada data sejarah, istilah Kabuyutan sudah dikenal oleh masyarakat tatar Sunda sejak abad ke 11 M. Istilah itu ditemukan dalam sebuah prasasti yang bernama Sanghyang Tapak yang dibuat kira-kira 1006-1016 M. Dalam prasasti itu diterangkan jika Prabu Sri Jayabupati selaku Raja Sunda ketika itu menetapkan sebagian dari wilayah walungan (sungai dalam bahasa Sunda) Sanghyang Tapak ketika itu sebagai kabuyutan. Kabuyutan di sini berarti sebuah tempat yang mempunyai sebuah pantangan yang harus diikuti dan ditaati oleh rakyatnya.

Ada dua pendapat yang menerangkan secara harfiah arti dari kata kabuyutan. Pertama, istilah kabuyutan itu terbentuk dari akar kata buyut. Kata buyut sendiri memiliki dua makna. Makna pertama buyut yang berarti turunan atau keturunan ke empat (anak dari cucu atau leluhur ke empat (orang tua dari nenek atau kakek), dan ke dua buyut yang berarti pantangan atau tabu yang dalam bahasa sunda dikenal dengan kata cadu atau pamali. 

Ada juga pendapat yang menyebutkan buyut ini diambil dari bahasa Arab. Akar katanya bait atau baitun yang berarti rumah. Kabuyutan menggambarkan satu miniatur lingkungan yang strukturnya sangat lengkap. Ada bapak, ibu, anak-anak, cucu dan ruang. Masing-masing saling berinteraksi secara intens, penuh kasih sayang dan satu sama lain saling menciptakan nilai-nilai luhur kehidupan. 

Sedangkan berdasarkan fungsinya, kabuyutan bisa difungsikan sebagai kata sifat. Ketika dikaitkan dengan sifat, kabuyutan memiliki konotasi pertautan antar generasi dengan bentangan waktu yang sangat panjang dengan hal ikhwal yang dianggap keramat dan suci. Selanjutnya, kabuyutan juga bisa berfungsi sebagai kata benda. Dalam konteks ini, kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap suci dan sacral. Wujudnya bisa berupa bangunan, bisa juga lahan terbuka yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan atau tempat-tempat yang memiliki situs peninggalan peradaban di masa silam.

Dan kaitannya sebagai kata benda, kabuyutan memiliki makna yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga pada zaman dahulu kala bekerja, atau tempat yang menjadi pusat kegiatan-kegiatan yang bebrsifat religius.

Di kabuyutan inilah orang-orang terpelajar itu kemudian menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, memanjatkan doa dan hal-hal baik lainnya. 

Menariknya, sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Sebuah tempat yang kemudian menghasilkan nilai-nilai dan tatanan yang menyangga sebuah peradaban. Dalam kata “peraban” ada frasa kata “adab” yang bermakna tata etika yang di dalamnya mengandung seperangkat nilai. Nilai itu tercipa dari eksistensi manusia yang berhasil menciptakan dan menerapkan nilai-nilai itu dalam kurun waktu yang sangat panjang.

Orang Sunda, meringkas tatanan nilai yang dihasilkan dan diterapkan dalam waktu yang sangat panjang itu dalam sebuah miniatur kecil kehidupan yang disebut dengan kabuyutan. Dalam kabuyutan, tidak hanya berisi nilai-nilai yang abstraktif atau samar, tapi lebih jauh, kabuyutan menjadi pusaran utama kehidupan manusia yang ada baik di lingkungan dalam kabuyutan itu maupun daerah lainnya yang ada di sekitar lingkaran kabuyutan itu. 

Konsep itu kemudian berbanding lurus dengan konsekuensinya. Ketika melanggar, maka merusak suatu tatanan kabuyutan tidak hanya merusak suatu lingkungan fisiknya saja, tetapi juga menghancurkan segala nilai yang ada dan melekat di dalamnya. Nilai-nilai yang sudah ada dan diendapkan dalam jangka waktu yang sangat lama.

Nilai-nilai yang dijalankan berabad-abad lamanya sebagai penyangga sebuah peradaban itu kemudian tidak hanya sekedar pudar, tapi hilang tak berbekas. Mau tidak mau, kabuyutan itu diakui atau tidak, dirasakan atau tidak, menjadi magnet yang mengikat manusia untuk tidak kehilangan akal budi kemanusiaan. Maka wajar jika ada hipotesis yang menyebutkan “menghancurkan kabuyutan, berarti menghancurkan peradaban. Dan menghancurkan peradaban sama dengan menghancurkan kemanusiaan.”

Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren Queen Al Falah Ploso-Kediri. Alumnus FIB Unair Surabaya. Saat ini aktif di Banser sebagai Kasatkorcab Banser Kabupaten Tasikmalaya.
 


Ngalogat Terbaru