• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Ngalogat

SEABAD NU

Jalan Menuju dan “Menjadi” NU

Jalan Menuju dan “Menjadi” NU
Anggi Afriansyah di antara para santri Asrama Al-Jihad Cipasung tahun 2005 bersama pengasuh KH. Ubaidillah Ruhiat dan Nyai Neneng Nurlaela (Foto: Anggi A)
Anggi Afriansyah di antara para santri Asrama Al-Jihad Cipasung tahun 2005 bersama pengasuh KH. Ubaidillah Ruhiat dan Nyai Neneng Nurlaela (Foto: Anggi A)

Oleh Anggi Afriansyah

 

Ketika kecil saya mengaji ke guru-guru yang Nahdlatul Ulama (NU) ‘banget’. Meski ketika kecil saya tidak tahu apa itu NU. Saya tahu tentang NU setelah sekolah di MAN Cipasung dan pesantren di Pondok Pesantren Cipasung. 

 

Izinkan saya bercerita mengenang masa lalu. Jadi, waktu kecil saya mengaji di beberapa tempat yaitu di Masjid Al-Ikhlas, Masjid Al-Falah, dan di TPA Nurul Islam. Semuanya berlokasi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Saya besar dan lahir di Kabupaten Bekasi. Tinggal bertahun-tahun di Kampung Cibuntu, Kecamatan Cibitung.

 

Pertama kali mengaji di Masjid Al-Ikhlas yang lokasinya mungkin sekitar 1 km dari rumah. Mama saya yang mengantar saya mengaji di Masjid Al-Ikhlas. Seingat saya Mama dan Bapak bilang mereka tidak bisa mengajarkan saya mengaji, jadi saya harus mengaji dengan guru yang lebih mumpuni.

 

Di Masjid Al-Ikhlas saya belajar dari Iqra jilid satu, mulai dari Alif, Ba, Ta, Tsa. Rasanya saya hanya mengaji hingga kelas satu. Saya masuk ke Masjid Al Falah di kelas satu SD dan belajar banyak hal di sini hingga sampai Iqra 6. Saya senang mengaji di sini karena bertemu beberapa teman SD juga dari SD lain. Guru mengaji saya bernama Teh Limah. Kadang juga dengan A Agus. Keduanya baik dan telaten mengajar mengaji. Rasanya tidak pernah marah. Berbeda ketika saya mengajar ngaji anak semata wayang saya dahulu. 

 

Tak lama kemudian saya pindah mengaji di TPA Nurul Islam. Di pengajian ini sistemnya lebih sistematis. Ada kelas-kelas, dari mulai yang dasar hingga tinggi. Dari mulai Iqra hingga Al-Quran. Selain belajar membaca Al-Quran di sini juga belajar ilmu tauhid, fiqh, dan sejarah Islam yang mendasar. Kegiatan belajar mengaji dimulai pukul 13.00 dan berakhir di pukul 16.00. Setelah selesai mengaji kami diajak untuk Shalat Ashar berjamaah. Di sinilah latihan untuk adzan dan iqamah, juga membaca beberapa shalawat.

 

Yang menarik juga di dalam proses mengaji ada kartu yang dipegang oleh setiap anak. Nah, jika lancar maka akan ditulis L (lancar). Sementara jika masih mengaji terbata-bata akan ditulis C (cekok), yang artinya harus diulang. Hal itu ternyata memotivasi setiap anak untuk membaca secara seksama sebelum menghadap Ustad/Ustadzah. Kalau kebanyakan cekok tentu memalukan dan hilang harga diri. Jadi sebelum menghadap suasana ramai oleh anak-anak yang mendaras setiap bagian masing-masing. Ketika dahulu yang banyak mengajar mengaji adalah Thabrani dan Pak Guntur. Kadang juga Almarhum Pak H Rojlan dan Bu Hj. Titin Masturah. Jika yang mengajar Pak H. Rojlan ketegangan memuncak. Sebab, tak mudah untuk mendapat atribut L dari beliau. 

 

Di samping mengaji saya berteman dengan banyak orang, sebab di sini memang berbeda kampung. Saya di Desa Cibuntu, lokasi TPA Nurul Islam ada di Desa Gandasari. Hal seru lainnya, kalau ke Al-Ikhlas saya berjalan kaki, ke TPA Nurul Islam saya bersepeda bersama teman lainnya. Kadang juga kami menembus sawah, yang dahulu masih banyak, dan melihat sapi-sapi dan kerbau yang masih sangat banyak ketika itu. Sekarang sawah-sawah tersebut sudah tergantikan pemukiman dan pabrik-pabrik. Saya mengaji di sini dari kelas dua hingga enam SD.

 

Pulang mengaji biasanya dimanfaatkan untuk bermain dan menonton televisi. Biasanya saya menonton kartun Tom and Jerry di TPI. Atau berman bola bersama teman-teman. Waktu bermain dan menonton biasanya dari pukul 16.00-17.30. Karena saya tinggal di pinggiran, maka ruang bermainnya luas sekali. Bisa bermain bola di lapangan besar, lapangan sekolah, berenang di sungai (kali), pergi ke sawah, bermain sepeda, bermain layangan dan aktivitas lainnya. Tiada kekhawatiran apa-apa. 

 

Menjelang Shalat Magrib kami berhenti bermain dan kemudian membersihkan diri untuk bersiap ke Masjid. Dari kelas dua SD saya mengaji di Masjid Al Falah. Di sini saya belajar Al-Quran, Fiqh, Tauhid, Sejarah Islam, membaca barzanji dan lain-lain. Saya pertama kali tahu kitab Safinah juga di sini karena setiap Ramadan kitab ini diaji setiap subuh. Karena Almarhum Pak Ustad Thoiudin Mahfudz merupakan aktivis NU, saya agak kenal NU di sini. Suara Pak Ustadz Thoi bagus sekali, karena beliau juga seorang Qori. Kalau mengaji dan bershalawat syahdu sekali. Anaknya, A Farid (sekarang saya panggil A Ustadz) saat ini mengikuti jejak langkah sang ayah.  

 

Rentang mengaji di sini agak lama. Karena ketika SMP, meski saya masuk siang, saya masih sesekali sempat mengaji. Juga setiap Ramadhan saya biasanya mengaji subuh di sini, tarawih dan mengaji pasca tarawih juga. Padahal jarak dari rumah tidak terlalu dekat juga. Bahkan mungkin dibanding teman-teman lain, rumah saya paling jauh dan ketika itu masih seram karena masih banyak kebun dan sepi. Tapi semangat mengaji cukup menggebu-gebu karena selain mengaji juga banyak berteman dan bermain dengan yang lain. Di sini juga pertama kali saya khatam Al Quran. Tradisi ketika itu, jika khatam maka diminta membaca surah Al Ikhlas hingga Ad-duha dan tampil di depan. Mama dan Bapak juga membuat tumpeng, untuk mensyukuri khataman Quran. Seru sekali. 

 

Saya berhutang banyak dengan guru-guru saya tersebut. Saya mengenal NU, juga ajaran agama dari mereka. Pembiasaan mengaji, shalat, dan ritual keagamaan lainnya diinternalisasikan melalui didikan mereka. Meski kadang mereka tegas, tapi mereka semua baik hati. Tidak pernah memaksa dengan kekerasan. Meskipun kadang ada cerita lucu tentang cara mereka mendisiplinkan murid-muridnya. Ketika mengaji di Al Falah setiap malam jumat pasti kami membaca barzanji. Nah namanya anak kecil kami selalu bercanda. Ketika itu Pak Ustadz belum datang, kami tak sadar tiba-tiba beliau datang, dan menjewer kami satu persatu. Beliau sampaikan, kalau kami bercanda itu tanda tidak menghormati Rasullah. Rasanya malu sekali, baik dijewer, maupun dinasehati. Setelah itu saya tidak berani bercanda ketika membaca barzanji.

 

Di lingkungan keluarga inti, Bapak dan Mama juga tidak pernah bicara soal NU. Kami juga bukan keluarga NU tradisional yang biasanya di rumah terdapat pernak-pernik gambar tokoh, shalawat, atau hal lain yang menggambarkan “keNU-an”. Ketika mereka merasa tidak dapat mengajar saya mengaji/membaca Al-Quran, mereka menitipkan anak-anaknya ke guru-guru yang mereka anggap mumpuni. Satu hal yang saya perhatikan mereka memang lebih menunjukkan teladan. Setiap waktu shalat mereka akan ajak saya bersama-sama untuk shalat. Ketika momen bulan Ramadan saya selalu diajak Tarawih ke masjid dan berpuasa. Ketika belum kuat puasa saya dibiarkan untuk berlatih secara perlahan. Selain itu, Bapak yang sesekali mengajak saya untuk Tahlil ketika ada tetangga yang meninggal.

 

Agar saya mau ke Masjid, Bapak selalu mengajak saya, terutama ketika hari Jumat. Padahal di era itu, seingat saya, di lingkungan rumah atau pabrik (lokasi rumah saya dekat dengan pabrik), orang-orang banyak yang tidak Shalat Jumat. Jika jam istirahat mereka lebih memilih mencari kantin atau pedagang makanan ketimbang Shalat Jumat. Berbeda dengan saat ini, saya melihat, para pekerja pabrik memenuhi masjid baik di momen Shalat Jumat atau shalat lainnya. Saya juga kenal beberapa tetangga yang dahulu, minim ke Masjid, bahkan di kala hari Jumat, tetapi sekarang rajin berjamaah. 

 

Jadi di ruang keluarga internaliasi ‘ke-NU-an” dilakukan melalui contoh. Dan saya yakin, hingga sekarang, Mama dan Bapak, tidak begitu paham mengenai apa itu amaliyah NU, bahkan siapa saja tokoh NU, mungkin hanya Gus Dur, dan Pak Kiayi Ilyas Ruhiat dan Kiayi Ubaidillah Ruhiat (karena saya nyantri  di Cipasung). Atau jika ditanya siapa Ketua PBNU saat ini, saya yakin Bapak dan Mama saya tidak akan tahu. Mereka hanya menyontohkan. 

 

Nah, ketika mendapat kesempatan pesantren di Cipasung, saya jadi ‘agak’ paham soal NU. Apalagi Pimpinan Pondok Pesantren ketika itu adalah Bapak KH Ilyas Ruhiat yang pernah menjadi Rais Aam Pengurus Besar Nahdhatul Ulama. Di Pondok Pesantren Cipasung, ketika masa saya nyantri  di tahun 2002-2005, sering dilakukan kegiatan-kegiatan NU dalam skala Jawa Barat ataupun nasional. Jika Haul KH. Ruhiat, tokoh-tokoh NU sering hadir. Jadi agak lebih kenal siapa dan bagaimana NU.

 

Di Cipasung saya belajar ragam keilmuan, termasuk kitab-kitab kuning. Belajar ngalogat kitab-kitab dari para guru. Meskinpun tiga tahun nyantri tentu saja hanya ilmu yang dasar-dasar saja. Tidak bisa mengaji hal-hal yang mendalam, juga tidak dapat menjadi guru ngaji. Tetapi saya jadi paham sedikit-sedikit amaliyah NU dan cara pandang NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Sebelum masuk pesantren, di masa SMP, saya sangat terpengaruh majalah Sabili. Ketika Majalah Bobo dianggap kurang relevan bagi usia saya ketika itu, saya mencari bacaan baru. Dan bertemulah saya dengan Sabili. Jadi setelah banyak baca, justru ada kecenderungan saya menyalahkan amaliyah Bapak dan Mama juga guru-guru ngaji yang lain. Saya kenal kosa kata bid'ah, bom bunuh diri dan lainnya. Apalagi dulu Osama Bin Laden lagi terkenal sekali. Perang di Afghanistan sedang mengemuka. Ketika itu saya pro sekali dengan Osama Bin Laden. Posternya beriringan dengan tim favorit saya, Inter Milan, di kamar saya yang sempit. 

 

Tapi akibat membaca Sabili lah saya ingin mesantren mendalami ilmu agama. Saya minta ke Bapak dan Mama. Bapak dan Mama bingung karena di keluarga hanya sedikit yang pergi mesantren. Dari obrolan ke sana ke sini, tanya sana dan sini, akhirnya Bapak dan Mama bertemu Bang Ropidin (sedang pesantren di Cipasung) dan sedang libur karena sakit. Atas obrolan itu Bapak dan Mama memilih Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Salah satu alasan lainnya adalah karena di Jawa Barat dan relatif dekat. 

 

Saya pun mulai belajar di Pesantren Cipasung, di Asrama Al Jihad yang diasuh oleh Bapak KH. Ubaidillah Ruhiat dan Ibu Hj. Neneng Nurlaela. Ketika belajar di sana, selain hal-hal terkait dengan ilmu agama, keduanya sangat fokus pada masyarakat. Jadi ada beberapa kegiatan yang dilakukan di asrama dan terkait dengan kegiatan kemasyarakatan. Ada kegiatan bertajuk Perspektif misalnya, di mana kami datang ke Cijuhung dan melebur dengan masyarakat, ikut memimpin pengajian, dan membantu masyarakat. Intinya Bapak dan Ibu selalu mengajak kami untuk bergaul dengan masyarakat. Kesan yang saya tangkap, mereka ingin agar kami menemani masyarakat, jangan merasa paling pintar dan paling baik.  

 

Demikian juga ketika di Aliyah. Tidak hanya ilmu akademik, tetapi kami diajak untuk menemani masyarakat. Intinya para guru di Cipasung baik di pesantren maupun di sekolah formal mengajak kami menemani masyarakat. Sebetulnya hal ini lah yang paling sulit. Mengabdi kepada masyarakat. Saya melihat secara langsung bagaimana para guru di Cipasung “mengemong” masyarakat. Pesantren tidak terisolasi, dan memang sangat, bahkan menyatu dengan masyarakat. Ada ragam aktivitas di mana masyarakat terlibat. 

 

Ternyata memang apa yang dilakukan oleh guru-guru baik ketika saya kecil atau ketika di pesantren merupakan sesuatu yang “khas” NU. Tentang pentingnya dekat dengan masyarakat, terutama yang marginal, juga menemani mereka. Tentang menjadi sosok yang moderat, tidak terlalu kanan dan terlalu kiri. Tentang perlunya mencintai Indonesia. Ketika di masa perkuliahan saya baru mulai membaca serius beberapa literatur tentang NU, meskipun tentu bukan ahlinya. Hanya senang membacanya saja, terutama tentang tokoh-tokohnya yang inspiratif seperti Gus Dur, Gus Mus, KH Ilyas Ruhiat, KH. Saifuddin Zuhri dan tokoh lainnya. 

 

Perjalanan menuju dan “menjadi’ NU yang dialami setiap orang tentu berbeda-beda.  Saya yakin ‘menjadi’ NU bukan karena proganda dan agitasi, tetapi karena teladan dari para tokoh dan guru-guru NU yang luar biasa. Tokoh di sini bukan berarti sosok yang dikenal publik luas, tetapi bisa jadi guru mengaji di kampung yang menemani anak-anak (atau orang dewasa yang belum bisa membaca Al-Quran) untuk mengenal Alif, Ba, Ta, Tsa dengan perlahan, menemani masyarakat untuk berjamaah,  merawat jenazah dan prosesi pemakaman, dan hadir ketika masyarakat merasa kesulitan. Bahkan, seperti saya, banyak juga orang yang tidak memiliki Kartu Tanda Anggota Nahdlatul Ulama, atau mengaku si Paling NU (Mengikuti gaya anak-anak sekarang), tetapi tetap merawat fundament ke-NU-an dengan sekuat hati.

 

Semoga NU terus menemani masyarakat.

 

Penulis adalah alumni Pesantren Cipasung, peneliti BRIN.


Editor:

Ngalogat Terbaru