• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Ngalogat

Dakwah Wali Songo Cerminan Ajaran Rasulullah

Dakwah Wali Songo Cerminan Ajaran Rasulullah
Wali Songo (Foto/NU Online)
Wali Songo (Foto/NU Online)

Terdapat tiga teori proses masuknya agama Islam ke Indonesia, di antaranya melalui peran para pedagang dari Gujarat, India pada abad ke-13 M. Di antara proses penyebaran agama Islam di Indonesia, Wali Songo berperan penting dalam penyebaran agama Islam, khususnya di tanah Jawa.

Apa yang disampaikan oleh para Wali Songo merupakan cerminan dari dakwah Rasulullah SAW. Sunan Kalijaga yang berdakwah dengan media wayang, Sunan Kudus yang sangat menjaga tenggang rasa dengan masyarakat Hindu, Sunan Gunung Jati yang sangat menghargai kearifan lokal. Itu semua adalah upaya penyeimbangan antara agama dengan budaya.

Peradaban manusia dan Islam sesungguhnya sangat bisa berjalan berdampingan, selama kecerdasan seorang pendakwahnya mampu menyeimbangkan tanpa harus dibenturkan. Inilah sebenarnya yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamain.

Peran mandat kewahyuan menduduki posisi vital dalam penyebaran Islam, namun pembentukan pribadi dan ketokohan menjadi perangkat lain yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sama seperti yang dikaruniakan kepada para nabi yang lain sebelum akhirnya mereka menjalankan tugasnya sebagai pendakwah ajaran Tuhan demi kebaikan umat manusia.

Realitas hidup terlahir tanpa ayah dan terdidik dalam ruang kesederhanaan telah membawa diri Muhammad SAW kepada perhatian yang lebih luas. Terdidik dalam perkampungan Bani Sa’d yang masih terjaga norma dan kefasihan tata bahasanya adalah bagian dari perangkat Muhammad dalam menghadapi kehidupan jahiliyah bangsa Arab. Termasuk proses perenungan yang panjang di Gua Hira pada akhirnya melatih Muhammad untuk berfikir cerdas dan memiliki kepekaan yang tajam dalam membaca lingkungan sekitar.

Skenario Allah SWT menjadikan Muhammad sebagai orang yang um (tidak bisa membaca dan menulis), bukanlah sebatas hujjah dari tuduhan kafir Quraisy bahwa Al-Qur’an adalah karya Muhammad. Bukan hanya menjaga keautentikan Al-Qur’an sebagai kalamullah. Tetapi juga sebagai bukti  bahwa Allah membersihkannya dari sifat yang tak pantas sebagai seorang nabi.
Kebiasaan bangsa Arab yang bertumpu pada tradisi menghafal sehingga menafikan sistem baca tulis dalam kehidupan sosio-kultural masyarakatnya. Semakin kuat seseorang menghafal semakin tinggi pula wibawanya. Pun sebaliknya semakin lemah daya ingat dan hafalan seseorang maka semakin rendah wibawanya.

Kegemaran berkompetisi dalam membuat syair mereka masyhurkan dengan cara dihafalkan, sampai tak jarang ahli sejarah mengisahkan, bahwa syair-syair yang paling top saat itu didendangkan oleh anak-anak di pasar-pasar.

Dengan demikian, Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW di dalam berdakwah tidak mengabaikan nilai tradisi dan budaya. Bahwa Islam tidak lahir dalam ruang hampa. Akan tetapi Islam memang disampaikan pada manusia yang sejak dulu sudah terbangun peradaban. Konteks bangsa Arab sebagai masyarakat jahiliyah bukan berarti bodoh dan tak mengerti apa-apa. Peradaban manusia saat itu sangatlah maju, tetapi etika, norma dan nilai-nilai kemanusiaan itulah yang mereka abaikan. Sebab itu Rasulullah bersabda “Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Penulis: Yoyon Syukron Amin
Editor: Riki Baehaki

Tulisan ini pernah terbit di https://nucirebon.or.id/blog/2018/07/17/islam-pertama-islam-nusantara/ pada 17 Juli 2018.


Ngalogat Terbaru