Kuluwung

Sekolah di Sebrang Jalan Opium di Antara Hindu Kush dan Karakoram

Kamis, 29 Agustus 2024 | 13:27 WIB

Sekolah di Sebrang Jalan Opium di Antara Hindu Kush dan Karakoram

Ilustrasi. (Foto: Nasihin)

"Di suatu pagi yang indah, Khan mengajaku jalan-jalan bersama menuju ke tepi sungai Warduj. Di tempat inilah Sadhar Khan sering mengasingkan diri untuk beberapa menit sendirian sebelum berjalan ke Mesjid untuk shalat."


Provinsi Utara Badakshan-sebuah area terpencil dari wilayah selatan oleh tebing-tebing Hindu Kush, yang mata rantai historis dan kulturnya yang paling dalam menjangkau ke Utara hingga Tajikistan dan Usbekistan antara Kabul dan Badaksan, titik bertemunya  Pegunungan Himalaya dan Pegunungan Karakoram.


Badaksan terkenal dengan tambang Sar-e Sang, batu permata indah berwarna biru, memberi nyala pada topeng Raja Tutankhamen, segel resmi Assyria dan Babylonia serta lukisan Renaisans eropa. Dan kini sumber kekayaan yang lain dari Badaksan adalah opium.


Ketika Rusia menyerbu pada 1979 hampir semua lelaki dewasa dalam rentang 161 kilometer dari Baharak lari ke gunung-gunung bergabung dengan gerakan perlawanan.


Di tahun awal masa perang, Sadhar Khan terkenal dengan kegesitan dan kecerdikannya, Khan kerap kali terpilih menjadi pemimpin serangan ke dalam wilayah musuh. Berkat aksi-aksi ini pangkatnya dalam pasukan Mujahidin menanjak cepat dan akhirnya  menjadi salah seorang letnan Ahmad Shah Masoud yang dikenal sebagai "Singa Pansjhir", sosok Mujahidin paling hebat dan tangguh dalam perang melawan Soviet.


Tempat tinggal Khan di desa kecil Yardar, sekitar lima kilometer di luar Baharak. Rumah keluarga Khan dikitari ladang- ladang gandum, jewawut bayam dan okra. Sementara di tepian kanal irigasi dihiasi deretan rapi pohon walnut, pisthacio, almond, ceri, mulberry, apel dan pir.


"Lupakan soal perang-bercocok tanam jauh lebih baik dari pada bertempur," demikian Khan berkata.


Khan bertempur dari tahun 1979 hingga 1989 melawan Rusia, mempertahankan wilayahnya dari Taliban antara tahun 1994-2001. Khan berdiri diantara terkoyak dan hancur leburnya Afghanistan.


​​​​​​​Khan berkata pada Greg, " Anda mungkin saja seorang Veteran, tetapi anda bukan petarung dalam sebuah pertempuran. Saya menyaksikan, guncangan dahsyat granat merobek tubuh kawan sesaat sesudah makan, bau memualkan dari daging seorang rekan yang terbakar oleh roket, suara orang-orang sekarat karena tak tertolong oleh medis."


"Duduk disini memandangi air mengalir adalah satu-satunya cara membenarkan tindakanku berperang, alasan bertempur melawan Soviet dan kemudian Taliban adalah untuk menikmati momen-momen seperti ini, kecuali anda berada di kecamuk perang, ini adalah sesuatu yang tak akan pernah Anda pahami."


Pada pertemuan berikutnya Khan khawatir tidak bisa menjawab semua pertanyaan Greg saat di tepi sungai Warduj, kemudian dia menyerahkan secarik kertas kepada Greg. Dia menulis sebuah puisi yang ingin dia ungkapkan saat waktu itu:


Kau bertanya-tanya mengapa aku duduk,
di atas batu ini,
di atas sungai,
tanpa melakukan apa-apa?


Begitu banyak kerja yang harus dilakukan untuk rakyatku.
Makanan yang kami punya begitu sedikit,
Pekerjaan yang tersedia begitu terbatas,
Ladang kami tak karuan,
dan ranjau darat masih ada dimana-mana.


Jadi disini aku menyimak keheningan,
air,
dan pepohonan yang bersenandung.


Inilah suara kedamaian
dihadapan Allah.
Setelah tigapuluh tahun menjadi Mujahidin,
aku bertambah tua karena pertarungan.
Aku benci suara kehancuran.
Aku begitu letih akan perang.


(Sadhar Khan)


Kisah di atas adalah penggalan cerita Greg Morterson di buku Stone into Schools. Berawal dari kegagalan mendaki gunung K2, gunung tertinggi kedua setelah Everest. Greg kemudian tersesat dan terluka. Dia ditolong oleh warga Desa Korphe yang miskin dan terbelakang, Desa tanpa ada pendidikan atau sekolah.


Greg Morterson kemudian mengabdikan diri membangun relasi dan gerakan, membangun sekolah-sekolah di Afghanistan dan Pakistan, total hampir 131 Sekolah dengan 58.000 siswa/siswi. Perjuangan yang sangat tidak mudah di negara yang sedang menghadapi masalah-masalah yang sangat besar: kekerasan, perpecahan, fanatisme, pemberontakan, kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, tunawisma, opium.


Saat ini, lebih dari 120 juta anak di muka bumi masih mengalami buta huruf tidak mendapat pendidikan karena diskriminasi gender, kemiskinan, eksploitasi, ekstrimisme agama, dan pemerintahan yang korup.


Pendidikan, membaca, menulis adalah hak setiap anak.


​​​​​​​Nasihin, Pengurus Lesbumi PWNU Jawa Barat