Opini

Saat Kata Menjadi Senjata: Renungan Komunikasi atas Ucapan Gus Miftah

Rabu, 4 Desember 2024 | 15:22 WIB

Saat Kata Menjadi Senjata: Renungan Komunikasi atas Ucapan Gus Miftah

Gus Miftah. (Foto: Ss Youtube CNN).

Baru-baru ini, video potongan tentang ucapan Gus Miftah kepada penjual air mineral dan es teh dalam sebuah pengajian umum viral di media sosial dan menuai kontroversi. Kata "goblok," yang ditujukan kepada penjual air mineral dan es teh “mungkin bisa sebagai candaan/humor’ untuk menghibur jamaah pengajian. Sebagian publik ada yang memandangnya sebagai candaan biasa, namun sebagian besar lainnya menganggapnya tidak pantas. Fenomena ini dapat menjadi refleksi kita untuk melihat lebih dalam: bagaimana humor atau kritik dalam komunikasi publik, terutama oleh seorang tokoh agama.


Dalam praktik komunikasi, humor memang sering digunakan untuk mencairkan suasana dan membangun kedekatan dengan audiens. Namun, dalam konteks komunikasi, terlebih komunikasi massa, pesan tidak hanya diterima sesuai maksud pembicara, tetapi juga dipengaruhi oleh persepsi audiens. Kata “goblok,” meski dimaksudkan sebagai candaan, memiliki makna negatif yang berisiko menimbulkan kesalahpahaman. Peristiwa semacam itu yang terjadi pada Gus Miftah dengan penjual air mineral kemudian memicu beragam reaksi publik. 


Fenomena ini jika dilihat dari konsep Expectancy Violation Theory (EVT) dalam kajian komunikasi massa, menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap ekspektasi audiens (dalam hal ini, penggunaan bahasa yang dianggap tidak sopan) dapat menghasilkan dua kemungkinan: memperkuat daya tarik pembicara jika dianggap wajar, atau justru merusak kredibilitasnya jika dianggap tidak sesuai norma. Dari EVT kita bisa melihat kasus Gus Miftah dengan menggunakan kata "goblok" dalam konteks pengajian bisa dianggap sebagai pelanggaran harapan karena tidak sesuai norma dan harapan pada ulama yang berbahasa santun dan penuh asih kepada masyarakat kecil. 


Sebagai seorang tokoh publik, Gus Miftah memang dikenal dengan gaya bicara yang lugas dan cenderung blak-blakan. Lebih lanjut, dari perspektif lain dalam teori komunikasi, gaya ini dapat dilihat melalui Speech Act Theory (SAT) yang dikemukakan oleh John Searle. teori dalam ilmu komunikasi dan filsafat bahasa yang dikembangkan oleh John L. Austin dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh John Searle. Teori ini berfokus pada bagaimana ujaran bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga merupakan tindakan yang memiliki dampak pada realitas sosial.


SAT menjelaskan bahwa ucapan seseorang tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga tindakan yang bisa memiliki efek tertentu. Dalam teori ini, ada tiga bagian penting, Apa yang Diucapkan (Locutionary Act), Apa Maksudnya (Illocutionary Act), Apa Dampaknya (Perlocutionary Act). Apa yang diucapkan, adalah arti harfiah dari kata-kata yang digunakan. Misalnya, saat Gus Miftah berkata "goblok,” kepada penjual es teh itu, maknanya secara langsung adalah "bodoh". Apa maksudnya, ini adalah tujuan di balik ucapan tersebut. Gus Miftah ‘mungkin’ bermaksud memberi candaan atau kritik sosial—mengajak audiensnya berpikir ulang tentang etos kerja tanpa berharap rasa kasih orang lain. Apa dampaknya, ini tentang reaksi atau efek yang ditimbulkan dari ucapan tersebut. Dalam kasus ini, banyak orang justru merasa tersinggung, kecewa dan menyayangkan, sementara sebagian kecil yang lain melihatnya sebagai pesan motivasi yang keras atau candaan biasa.


Sementara itu, melihat fenomena ini dari sudut pandang etika komunikasi, seorang tokoh publik memikul tanggung jawab besar dalam menjaga keteladanan dan rasa hormat kepada audiensnya. Louis Alvin Day dalam bukunya Ethics in Media Communication menekankan pentingnya tanggung jawab moral dan etika dalam setiap interaksi publik. Diantara sekian banyak prinsip teori etika yang diuraikan antaranya adalah religious morality yang mengacu pada prinsip etika yang didasarkan pada ajaran agama, di mana tindakan dianggap benar jika sesuai dengan keyakinan dan norma religius. 


Dari sudut pandang islam, dalam islam sudah diingatkan bahwa dalam komunikasi penting memilih kata yang baik, bijak dan lemah lembut, Qaulan Layyinan-Qaulan Kariman,Qaulan Ma’rufan. Kita bisa mengingat itu semua dari apa yang ada dalam Alquran, seperti di surat Thaha ayat 44 yang menggambarkan tentang perintah Allah kepada Nabi Musa dan Harun untuk berbicara kepada Fir’aun (seorang raja yang berlawanan keyakinan dengan nabi Musa) dengan ‘perkataan yang lemah lembut’ untuk diajak beriman kepada Allah. 


Sebagai pendakwah atau tokoh agamawan, Gus Miftah semestinya mempertimbangkan dampak ucapannya terhadap psikologi audiens dan dampak sosial yang lebih luas. Kata "goblok," meskipun dimaksudkan sebagai candaan atau kritik, dapat menyinggung “martabat atau harga diri” pendengar dan berpotensi melemahkan pesan utama yang hendak disampaikan. 


Di sisi lain, tokoh publik seperti Gus Miftah juga diharapkan bisa lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan dan penggunaan istilah. Bahasa yang tajam mungkin efektif untuk audiens tertentu, tetapi di era digital, di mana pernyataan dengan mudah menjadi viral, kehati-hatian dalam memilih kata menjadi semakin penting. Candaan atau kritik bisa lebih diterima ketika disampaikan dengan bahasa yang membangun tanpa merendahkan terlebih dalam konteks pegajian umum.


Namun, kita juga perlu bijak dalam menyikapi fenomena ini. Dalam era digital yang serba cepat, ucapan kontroversial cenderung tersebar tanpa konteks penuh. Literasi media menjadi kunci untuk memahami pernyataan semacam ini secara utuh sebelum memberikan penilaian.


Pada akhirnya, kontroversi ini mengajarkan dua hal penting: pentingnya perilaku komunikasi yang mengedepankan etika dan keteladanan bagi para tokoh agama atau publik dan perlunya masyarakat untuk bersikap bijak dalam menanggapi isu yang viral di media. 


Gus Miftah, tidak jauh berbeda seperti kita semua, adalah manusia yang tak luput dari kesalahan. Fenomena ini mengingatkan semua pihak tentang pentingnya etika, empati, dan literasi dalam berkomunikasi, sebab kata akan menjadi senjata dalam proses penyampaian pesan, terutama di ruang publik.


Wallahua’lam


Mahbub Ubaedi Alwi, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia