Oleh: KH Husein Muhammad
Socrates, filsuf terbesar Yunani, guru filsuf Platon. Pribadinya amat bersahaja, ugahari. Wajahnya tak menarik. Anak orang biasa.
Hidupnya dihabiskan untuk mencari kebenaran melalui cara dialektika, bertanya dan bertanya saja, tak ingin mengguruhi. Ia suka nongkrong di warung-warung rakyat jelata. Isterinya tak cantik. Ia juga tak berhasrat popularitas atau pujian orang. Banyak tokoh masyarakat, pejabat tinggi tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang filosofis. Ia mengajarkan etika ketuhanan dan kemanusiaan. Namanya amat populer di kalangan generasi muda yang cerdas dan kritis serta para intelektual progresif. Mereka mengaguminya. Konon akibatnya banyak pejabat tinggi dan sejumlah tokoh agama yang merasa dirinya paling hebat, cemburu berat dan membencinya setengah mati. Mereka bekolaborasi merekayasa kesalahan Socrates.
Socrates akhirnya diadili dan divonis mati dengan cara minum racun. Ia sebenarnya bisa lari. Tetapi dia taat pada keputusan hukum, meski dinilai publik tidak adil.
Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya Plato. Kematian Sokrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah menurut masyarakat.
Sang Zahid. Ugahari
Isteri Socrates ditanya temannya : Kebaikan apa yang kamu lihat dari suamimu?. "Oh. Dia itu masuk dan keluar rumah dengan wajah yang sama", jawabnya.
Seorang teman bertanya apa maksudnya. Aku menduga-duga saja: maknanya pujian tak membuat Socrates menjadi bangga dan sombong. Dan caci maki orang terhadapnya tak membuatnya marah dan dendam. Dia seorang ugahari, seorang zahid.
Sumber: FB Husein Muhammad