• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 22 Juni 2024

Hikmah

Makna Hari Tarwiyah Sebagai Puncak Ibadah Haji

Makna Hari Tarwiyah Sebagai Puncak Ibadah Haji
Hari Tarwiyah (Ilustrasi: Kemenag)
Hari Tarwiyah (Ilustrasi: Kemenag)

Hari Tarwiyah merupakan hari ke-8 bulan Dzulhijjah. Bulan ini adalah salah satu dari empat bulan yang Allah muliakan, yang disebut "Asyhurul Hurum." Pada bulan Dzulhijjah, terdapat dua peristiwa besar dalam agama Islam, yaitu Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban, dan pelaksanaan ibadah haji. Puncak ibadah haji terjadi pada tanggal 8-9 Dzulhijjah, yang dikenal dengan Hari Tarwiyah dan Hari Arafah.


Pada puncak ibadah haji tersebut, umat Muslim yang tidak melaksanakan ibadah haji disunnahkan untuk berpuasa.


Penamaan Hari Tarwiyah
Hari Tarwiyah adalah menginap (mabit) di Mina pada 8 Dzulhijjah, sebelum wukuf di Padang Arafah. Pada hari ini, jamaah haji menunaikan shalat Zuhur, Asar, Maghrib, Isya, dan Subuh di Mina. Mereka tidak meninggalkan Mina sebelum terbit matahari di hari Arafah. Hukum melaksanakan Tarwiyah adalah sunnah.


Mengutip tulisan Ustadz Sunnatullah di laman NU Online, terkait penamaan hari tarwiyah terdapat dalam kitab karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606 H).


Imam Fakhruddin Ar-Razi (544-606 H) mengutip beberapa pendapat ulama perihal alasan di balik penamaan hari tersebut dalam kitabnya:


  فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ أَحَدُهَا: أَنَّ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْبَيْتِ، فَلَمَّا بَنَاهُ تَفَكَّرَ فَقَالَ: رَبِّ إِنَّ لِكُلِّ عَامِلٍ أَجْرًا فَمَا أَجْرِي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ؟ قَالَ: إِذَا طُفْتَ بِهِ غَفَرْتُ لَكَ ذُنُوبَكَ بِأَوَّلِ شَوْطٍ مِنْ طَوَافِكَ، قَالَ: يَا رَبِّ زِدْنِي قَالَ: أَغْفِرُ لِأَوْلَادِكَ إِذَا طَافُوا بِهِ، قَالَ: زِدْنِي قَالَ: أَغْفِرُ لِكُلِّ مَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الطَّائِفُونَ مِنْ مُوَحِّدِي أَوْلَادِكَ، قَالَ: حَسْبِي يَا رَبِّ حَسْبِيي. وَثَانِيهَا: أَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَأَى فِي مَنَامِهِ لَيْلَةَ التَّرْوِيَةِ كَأَنَّهُ يَذْبَحُ ابْنَهُ فَأَصْبَحَ مُفَكِّرًا هَلْ هَذَا مِنَ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ مِنَ الشَّيْطَانِ؟ فَلَمَّا رَآهُ لَيْلَةَ عَرَفَةَ يُؤْمَرُ بِهِ أَصْبَحَ فَقَالَ: عَرَفْتُ يَا رَبِّ أَنَّهُ مِنْ عِنْدِكَ وَثَالِثُهَا: أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ يَخْرُجُونَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ إِلَى مِنًى فَيَرْوُونَ فِي الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يُرِيدُونَ أَنْ يَذْكُرُوهَا فِي غَدِهِمْ بِعَرَفَاتٍ   


Artinya, “Ada tiga pendapat di balik penamaan hari Tarwiyah. (1) karena Nabi Adam ‘alaihissalâm diperintah untuk membangun sebuah rumah, maka ketika ia membangun, ia berpikir dan berkata, ‘Tuhanku, sesungguhnya setiap orang yang bekerja akan mendapatkan upah, maka apa upah yang akan saya dapatkan dari pekerjaan ini?’ Allah subhânahu wata’âlâ menjawab: ‘Ketika engkau melakukan thawaf di tempat ini, maka aku akan mengampuni dosa-dosamu pada putaran pertama tahwafmu.’ Nabi Adam ‘alaihissalâm memohon, ‘Tambahlah (upah)ku’. Allah menjawab: ‘Saya akan memberikan ampunan untuk keturunanmu apabila melakukan tahwaf di sini’. Nabi Adam ‘alaihissalâm memohon, ‘Tambahlah (upah)ku’. Allah menjawab: ‘Saya akan mengampuni (dosa) setiap orang yang memohon ampunan saat melaksanakan thawaf dari keturunanmu yang mengesakan (Allah).’ 


(2) Sesungguhnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm bermimpi ketika sedang tidur pada malam Tarwiyah, seakan hendak menyembelih anaknya, maka ketika waktu pagi datang, ia berpikir apakah mimpi itu dari Allah subhânahu wata’âlâ atau dari setan? Ketika malam Arafah mimpi itu datang kembali dan diperintah untuk menyembelih, kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm berkata, ‘Saya tahu wahai Tuhanku, bahwa mimpi itu dari-Mu’. 


(3) Sesungguhnya penduduk Makkah keluar pada hari Tarwiyah menuju Mina, kemudian mereka berpikir tentang doa-doa yang akan mereka panjatkan pada keeseokan harinya, di hari Arafah.” (Fakhuddin Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, [Bairut, Darul Fikr: 2000], juz V, halaman 324).


Tiga pandangan tersebut didasarkan pada makna tarwiyah itu sendiri. Menurut Fakhruddin, tarwiyah berarti berpikir atau merenung. Tak pelak, hari Tarwiyah identik dengan keadaan berpikir dan merenung tentang peristiwa yang masih dipenuhi keragu-raguan, seperti yang dialami oleh Nabi Adam AS dan Nabi Ibrahim AS.


Syekh Nidhamuddin Al-Hasan bin Muhammad bin Husein An-Naisaburi dalam kitab Tafsîr an-Naisabûri menyatakan bahwa hari Tarwiyah mempunyai sejarah yang sangat luar biasa, yaitu menjadi hari persiapan untuk bekal menuju ibadah haji. Orang-orang mengumpulkan air yang sangat banyak untuk dibagikan kepada calon jamaah haji. 


Mereka akan memberikan kepada jamaah setelah merasakan lelah dan dahaga ketika menempuh perjalanan menuju kota Makkah, atau mereka akan membagikan air-air yang telah mereka kumpulkan kepada para jamaah saat melaksanakan ibadah haji, mengingat gersangnya tanah Arab dan sedikitnya air saat itu. Ibaratnya, orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji merupakan orang-orang yang sangat haus ats rahmat Allah.


Karenanya, Allah telah mempersiapkan rahmat-Nya kepada mereka semua setelah melakukan ibadah, dengan diampuninya dosa-dosa mereka.” (Nidhamuddin An-Naisaburi, Tafsîr an-Naisabûri , [Bairut, Dârul Kutub: 1999], juz I, halaman 489).
 


Editor:

Hikmah Terbaru