• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Hikmah

KOLOM BUYA HUSEIN

Kenangan Mondok (2): Banyak Santri Miskin Jadi Ulama Besar

Kenangan Mondok (2): Banyak Santri Miskin Jadi Ulama Besar
Kenangan Mondok (2): Banyak Santri Miskin Jadi Ulama Besar. (Ilustrasi: NUO).
Kenangan Mondok (2): Banyak Santri Miskin Jadi Ulama Besar. (Ilustrasi: NUO).

Sepanjang cerita, kedua anakku mendengarkan dengan tekun, diam dan mata yang berkaca-kaca. Kadang-kadang jari-jari tangannya yang lembut memegang kain bajunya lalu mengusap-usapkan pada matanya.


Sesekali menggenggam tanganku erat-erat. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan.


Mungkin mereka merasa kasihan dengan keadaan ayahnya saat mondok. Akupun memeluk mereka satu persatu, menguatkan hati mereka. Aku mengatakan kepada mereka bahwa untuk mencapai sukses seseorang harus berjuang, dan berlelah- lelah.


Kakek kalian Abuya Muhammad telah menulis syair dalam bahasa Jawa Cirebon :


Arep mangan kudu ngliwet
Aja namung kruwat kruwet.
Uga wong kang arep pinter
Kudu wani pegel banter
Mau makan harus masak
Jangan hanya ngomel-ngomel
Juga orang ingin pintar
Harus lelah dan semangat
Orang-orang melayu membuat pantun : 
Berakit-rakit dahulu
Berenang renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian


Lalu aku juga menyanyikan bait syair dari Imam Syafi' i :


ومن لم يذق مر التعلم ساعة,
 تجرع ذل الجهل طول حياته


“Dan barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia kelak harus mampu menahan perihnya kebodohan”.


Para ulama besar, di manapun dan kapanpun banyak yang lahir dari keluarga miskin, tidak mampu secara ekonomi. Ayah Imam Ghazali itu miskin. Ia bekerja memintal benang untuk membiayai kedua anaknya. Imam Nawawi juga miskin. Setiap hari makannya roti kering dari madrasah. Mereka menempuh perjalanan mencari ilmu dengan jalan kaki dari propinsi ke propinsi. Istirahatnya di mushalla. 


Embah yai Manaf, embah yai Marzuki dan mbah yai Mahrus Ali , semua para pengasuh pesantren Lirboyo itu adalah santri- santri miskin, jauh lebih miskin dari buya. Beliau- beliau adalah ulama besar, guru para ulama/kiai. Kemiskinan itu acapkali memicu orang untuk semangat berjuang keras dan tekun belajar dan ibadah. Para santri sekarang pada umumnya lebih enak dan lebih makmur dari santri dulu. 


Mendengar ceritaku ini mata bibir mereka mengembang sedikit ceria, seperti ingin tersenyum. Tangan mereka memeluk tubuhku kencang sekali. Bersambung.


KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU


Hikmah Terbaru