• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Hikmah

KOLOM BUYA HUSEIN

Berangkat Mondok (3)

Berangkat Mondok (3)
Berangkat Mondok (3). (Ilustrasi: NUO).
Berangkat Mondok (3). (Ilustrasi: NUO).

Doa: 


“Allah Maha Besar . Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Maha Suci Tuhan yang menuntun dengan mudah kendaraan ini untuk kami, sedang sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.


Ya Allah! Sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam perjalanan ini. Kami juga mohon pada-Mu kebaikan tingkahlaku kami sebagaimana yang Engkau sukai dan Ridha-i. Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini dan dekatkan jauhnya jarak perjalanan. Ya Allah! Engkaulah teman dalam perjalanan dan Yang mengurusi keluarga kami. Ya Allah! Sesungguhnya Kami berlindung kepada-Mu dari kesulitan dalam perjalanan, dari  pemandangan yang tak menyenangkan dan dari perubahan situasi yang buruk baik pada harta, keluarga dan anak. Ya Allah, berilah keselamatan padanya, keselamatan pada orang-orang yang bersamanya dan keselamatan pada apa-apa yang bersamanya.


Isak tangis terdengar di beberapa sudut. Aku mencoba bertahan untuk tidak memperlihatkan duka perpisahan dengan orang-orang yang aku cintai. Para hadirin kemudian satu persatu menyalamiku atau memelukku, sambil mendoakan keberhasilanku kelak.


“Semoga hasil maksud”, kata-kata yang selalu aku dengar dari kakek dan ayah-ibuku manakala mendoakan orang yang akan pergi mondok atau mesantren. Kepada para santri perempuan yang ikut hadir aku hanya melambaikan tangan singkat, dan mereka membalasnya dengan cara yang sama. 


Aku kemudian di antar ke jalan raya. Di sana sudah menunggu beberapa kendaraan (sekitar 3 atau 4 buah) yang akan mengantarkan aku ke stasiun kereta api di Cirebon. Kakiku seperti tak mau melangkah. Berat sekali. Aku mencoba menatapi satu satu apa yang ada disekitar rumahku; rumah embah (kakek), tajug (mushalla), bangunan-bangunan pondok dan madrasah, kentongan yang dulu sering ditabuh menandai masuknya waktu shalat dan pepohonan di depan rumah dan “bancik-bancik” batu yang menjadi tempat kaki melangkah dari pondok ke mushalla. Ya, bancik-bancik ini yang membuat catatan penanda luka di dahiku, gara-gara jatuh, terpeleset, karena aku berlari-lari di atasnya. 


Sambil mataku menyapu semua yang hadir mengantar, aku hanya bilang dalam hati : “Selamat Tinggal rumahku”, “Selamat Tinggal Masa Kecilku”. “Selamat Tinggal kampungku”, “Selamat tinggal kamarku”, “Selamat tinggal" teman-temanku semuanya.


Usai doa, para pengantar bergerak menuju mobil yang sudah menunggu di jalan. Mereka yang mengantar sampai di jalan dan tak ikut bersama rombongan menuju Cirebon, sekali lagi melambai-lambaikan tangannya. Ada yg menangis, ada yang mengekspresikan wajah duka, dan ada yang tersenyum dan tertawa. Aku membalas lambaian tangan mereka sambil berusaha tersenyum manis. Da da . 


Mobil satu persatu bergerak beriringan menyusuri jalan menuju stasiun Parujakan Cirebon.


45 menit kemudian kami sampai di stasiun. Di situ sudah menunggu beberapa orang seusiaku bersama keluarganya masing-masing. Aku mencoba-coba bertanya kepada salah seorang di antara mereka. Ia menjawab bahwa mereka juga akan berangkat ke tujuan yang sama. Ke pesantren Lirboyo.  


“Alhamdulillah, ada teman seperjalanan”, kataku dengan rasa senang. 


Tetapi kami semua masih harus menunggu kedatangan kereta api “langsam” itu untuk beberapa saat. Suasana cukup ramai dan penuh tawa. Tak ada lagi sisa-sisa kepiluan.  


“Minum dulu kang?”, suara teman duduk di kursi depan mengejutkanku dan menghentikan lamunanku.


“Oh Ya, haus”, jawabku singkat, lalu aku mengambil dirigen palstik berisi air minum yang dibungkus plastik hitam, berikut gelas yang juga terbuat dari plastic dan minum.


Kereta api terus melaju semakin kencang menuju ke arah timur. Kaki-kaki kereta itu menginjak rel-rel dengan suaranya yang membisingkan. Kereta ini diperkirakan akan sampai di tempat tujuan sekitar 12 jam kemudian, ketika fajar subuh tiba.


Lalu aku tinggalkan lamunan itu dan mengambil kain sarung sebagai selimut untuk menutupi tubuh, dan mencoba tidur.


KH Husein Muhammadsalah seorang Mustasyar PBNU


Hikmah Terbaru