• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Kuluwung

Idiom Covid yang Mengusik Wartawan

Idiom Covid yang Mengusik Wartawan
Ilustrasi (https://www.voicesofyouth.org/)
Ilustrasi (https://www.voicesofyouth.org/)

Oleh Acep Syahril
Sepuluh bulan sudah pandemi Covid-19 itu menyita perhatian dunia sejak pertama kali Li Wenliang menginformasikannya kepada pemerintahan Cina, Desember tahun lalu. Setelah itu korban positif terpapar terus bertambah menyusul jumlah korban meninggal terus meningkat akibat kedahsyatan kerja vitrus tersebut.
Virus korona yang bentuknya seperti bola dipenuhi duri, yang katanya mampu menerobos lubang jarum dalam jumlah 50 ribu sekali pun, kini telah bermigrasi ke berbagai kota belahan dunia. Bahkan konon katanya keberadaan virus ini sudah seperti air bah ketika penyebarannya memasuki sebuah kota. Artinya di situ orang-orang telah berenang di antara genangan virus yang menggila. Keberadaannya tidak hanya terbang melayang kemana arah angin, tapi juga menempel ke seluruh benda hidup dan benda-benda mati di sekitarnya. 

Hampir setiap detik informasi dari berbagai belahan dunia melaporkan, dari mulai korban yang terpapar sampai korban meninggal. Menyusul kecemasan, kebingungan, ketegangan dan kepanikan seluruh pemimpin dunia tidak bisa lagi disembunyikan di antara jeritan manusia serta kematian yang tak bisa lagi ditunda. Sementara potensial berbagai ilmuan dunia terpaksa harus meninggalkan pekerjaan mereka dan beralih mencari solusi untuk mengatasi pandemi yang luar biasa ini. 

Sementara di Indonesia seluruh potensi manusia dari berbagai disiplin ilmu telah dikerahkan, dari mulai tukang parkir, guru, ustad, kiai, tokoh masyarakat, anak-anak muda, guru, dosen, seniman, TNI/Polri, satpam, jaksa, wartawan, LSM, advokat bahkan koruptor sekali pun diam-diam ikut bekerja menyampaikan maklumat komando satu pintu untuk kemudian disampaikan ke masyarakat.

Sementara para penyair, penulis, sastrawan, pelukis, musisi, koreograf, dan budayawan ikut andil menuangkan imajinasi mereka sebagai upaya memberi keyakinan dan menciptakan tulisan, lukisan, musik dan tari sebagai ruang-ruang relaksasi kepada masyarakat melalui medsos, radio, dan televisi. 

Ibu-ibu rumah tangga dalam hal ini tidak kalah menarik, ketika mereka diminta mengirimkan puisi atau dalam berbagai catatan yang mengekspresikan perasaan mereka tentang pandemi Covid-19 melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, Twetter atau grup-grup Wasthapp yang mereka ikuti, termasuk ada yang menerbitkannya dalam bentuk buku.

Mimbar Pewarta NU Online Jabar 

Pewarta NU Online Jabar, Iin Rohimin  yang setiap hari lebur bersama varian informasi dalam bentuk berita yang diterima dari Nahdliyin di Indramayu, selain harus menyerap informasi, mengolah data dan membuat berita, menulis profil tokoh, mencatat sejarah, untuk kemudian dikonsumsi publik sebagai sajian informasi di NU Online Jabar. Ternyata membuat imajinasinya sulit untuk dibendung ketika menyimak berbagai idiom Covid-19 yang tampil di sejumlah media dalam bentuk tulisan. Dari mulai artikel, opini, mimbar, esai, puisi, cerpen, dagelan sampai dengan umpatan. Yang berisi kritik saran, anjuran, imbauan, siraman rohani dan lain-lain. 

Iin Rohimin seperti tidak sabar untuk segera menuangkan idiom-idiom Covid-19 tersebut, tapi bukan dalam bentuk berita, melainkan puisi. Puisi dengan bahasa mimbar yang kuat dan klimaks. Disertai idiom-idiom Covid-19 yang kemudian dibangun menjadi ruang kritik sosial menarik. …./Petugas berteriak, di rumah saja dan jangan/kemana-mana/Si miskin berteriak, kami tidak punya rumah/terus kami harus sembunyi dimana?//.

Diksi-diksi sederhana dan umum pada puisi ini diolah sedemikian menarik sehingga memunculkan idiom yang mampu membangun imej pembaca pada isu global yang bernama korona itu, seperti: 

Yang datang malah ketakutan
Pemerintah datang membawa perintah
Aparat datang membawa larangan 
Tim penanganan datang membawa kengerian

Penegasan bersayap pada baris terakhir: /Tim penanganan datang membawa kengerian/ di sini memiliki makna yang sangat luas dan tidak bisa dimaknakan secara verbal. Bisa saja pengertiannya “tim penanganan” dianggap telah memberikan informasi apa adanya kepada masyarakat seperti yang mereka lihat dengan mata telanjang pada saat menyelamatkan korban positif dengan kondisi memprihatinkan. Serta mengetahui kronologis riwayat penularan terhadap korban.

Pemaparan berdasarkan pengalaman empirik inilah yang oleh masyarakat dianggap sebagai bahasa kengerian atau yang lebih tragis lagi ketika tim penanganan ini bekerja tanpa perlengkapan prosedural, ditambah adanya anggota tim yang akhirnya rebah setelah terpapar virus. 

Namun demikian, secara klimaks Iin Rohimin pada puisi ini terkesan arif, karena melalui bahasa mimbar dengan kritik sosial yang terkontrol dia juga menawarkan solusi dan berusaha memberikan kenyamanan berpikir pada pembaca.

//Korona butuh inang/Ia tak ingin menyerang/Apalagi membunuh/Korona melanglang buana/Menari-nari melintasi benua/Menggoda  siapa saja yang terlena//  //Coba dekaplah korona /Dalam selimut hangat bahagia/Dalam buaian ceria/Niscaya ia akan terlena/Tertidur dan tak akan bangun lagi/Dalam peluk imunitas diri/Dalam dekap kewarasan sosial/Dalam rengkuh solidaritas global//  //Dunia akan kembali tenang/Setenang awan yang melayang /Menyambut terbitnya sang mentari/Ketika kebersamaan dan senyuman menyertai//

Penulis adalah budayawan dan seniman Indramayu


Kuluwung Terbaru