Ubudiyah KOLOM NADIRSYAH HOSEN

Tahlilan di Era AI

Rabu, 21 Mei 2025 | 14:51 WIB

Tahlilan di Era AI

MEmbaca Al-Qur'an di Tahlilan. (Ilustrasi: NU Online Jabar/Freepik).

Di zaman digital, kita bisa mengenang lewat unggahan, menyimpan foto mendiang dalam cloud, dan menerima ucapan duka dari ribuan akun dalam sekejap. Tapi ada satu hal yang tak bisa diunduh atau diprogram: tahlilan.


Tahlilan bukan sekadar rutinitas membaca Yasin atau menghitung kalimat la ilaha illallah. Ia adalah momen hening yang menghadirkan kita secara utuh—dalam tubuh, hati, dan jiwa. Ketika algoritma sibuk menebak keinginan, tahlilan mengajarkan kita untuk mengingat kehilangan. Ketika dunia berlomba menjadi cepat, tahlilan memanggil kita untuk pelan.


Banyak yang mempertanyakan tahlilan. Katanya, tak dicontohkan Nabi. Tapi apakah segala cinta harus terdokumentasi dalam dalil tekstual? Tahlilan bukan ritual yang berdiri sendiri, melainkan simpul kasih yang merangkul: dzikir, doa, sedekah, dan silaturahmi. Ia bukan inovasi atas ibadah, tapi ekspresi cinta dalam bingkai yang bisa dirasakan bersama.


Di era AI, ketika puisi pun bisa dibuat mesin, tahlilan tetap tak tergantikan. Sebab kehilangan bukan soal data, tapi duka. Bacaan Yasin dari cucu yang masih terbata, doa lirih dari tetangga yang datang meski hujan, adalah hal-hal yang tak bisa dikoding. Sebab dalam tahlilan, yang hadir bukan sekadar manusia, tapi juga kenangan dan kasih sayang.


Kini, tahlilan melintasi ruang—melalui Zoom, grup WA, hingga YouTube. Tapi apakah maknanya berkurang? Justru sebaliknya: ia membuktikan bahwa cinta itu adaptif. Ruh tak butuh sinyal, cukup ketulusan yang tak putus.


Tahlilan adalah dzikir kolektif di tengah zaman yang kian individual. Ia bukan peninggalan masa lalu, tapi harapan spiritual masa depan. Di dunia yang semakin didinginkan oleh mesin, tahlilan adalah pelukan hangat dari mereka yang masih percaya: doa tak pernah mati.


Dan kelak, saat kita pun tiada, bukan AI yang akan mengenang kita. Tapi suara lirih dari sebuah surau kecil, bacaan Yasin yang sayup, dari orang-orang yang tak kita kenal, namun masih peduli untuk mengirimkan doa.


Tahlilan adalah cara paling manusiawi untuk tetap menjadi manusia.


KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia