M. Rizqy Fauzi
Penulis
Oleh: Zikri Alvi Muharram
Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning Kabupaten Tasikmalaya menggelar Reuni Akbar ke-59 dan Haul Pendiri yang ke-10, pada Senin-Selasa (8-9/05/2023) yang bertempat di Komplek Pesantren Baitul Hikmah Haur kuning Kabupaten Tasikmalaya.
Pada kesempatan tersebut salah satu dewan guru sekaligus putra dari Alm. KH. Saefuddin Zuhri yakni KH. Acep Salahudin Zuhri membacakan riwayat perjalanan pendiri Pondok Pesantren Baitul Hikmah dalam mencari ilmu sampai menjadi seorang ulama besar. Setidaknya ada beberapa suri tauladan yang bisa para pencari ilmu, khususnya santri petik dan terapkan dalam mencari ilmu.
Pertama, keinginan yang kuat dan cita-cita yang tinggi karena kedua hal tersebut bak kedua sayap untuk terbang mengantarkan pada derajat kemuliaan. Sering disebutkan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim bahkan ada bab khusus tentang pentingnya kesungguh-sungguhan dan memilki cita-cita yang tinggi dalm mencari ilmu.
Salah satunya syair Ali bin Abi Tahlib betapa berpengaruhnya keinginan yang kuat dan cita-cita yang tinggi:
عَلَى قَدْرِ أَهْلِ الْعَزْمِ تَأْتِى الْعَزَائِمُ # وَتَأْتِى عَلَى قَدْرِ الْكَرِيْمِ الْمَكَارِمُ
وَتَعْظُمُ فِى عَيْنِ الصَّغِيْرِ صِغَارُهَا # وَتَصْغُرُ فِى عَيْنِ الْعَظِيْمِ الْعَظَائِمُ
Artinya:
Kedudukan seseorang tergantung yang dicita-citakannya # seperti halnya derajat kemuliaan yang dicapai sesuai dengan kadar derajat kemuliaan yang diinginkannya.
Cita-cita yang besar akan terasa berat bagi orang yang berjiwa kecil # Dan akan nampak kecil di hadapan orang yag berjiwa besar.
Dari syair tersebut dapat dipahami begitu pentingnya keinginan kuat dan cita-cita yang tinggi dapat berpengaruh pada hasil dan proses untuk mencapainya. Bukan suatu yang salah jika niat kita mencari ilmu ingin menjadi seorang kiyai dan memilki pondok. Karena itu dapat memberikan motivasi dan mengingatkan butuh waktu dan eport yang besar untuk meraihnya.
Kedua, masyaqoh (prihatin) dan qona’ah (merasa cukup dengan yang ada), ada adagium berbahasa Sunda “Santri mah kudu kuru cileuh jeung kentel peujit” yang artinya santri itu beleknya harus kurus dan ususnya harus kental. Maksudnya, santri itu harus sedikit waktu tidurnya dan harus perbanyak puasa. Seperti sikap masayaqoh dan qona’ah pendiri Ponpes Haurkuning ketika mondok di Cikajang, Garut, selama tujuh hari, tujuh malam hanya tidak mendapati makan dan minum kecuali air putih. Hal itu tidak membuatnya menyerah untuk mencari ilmu.
Pernah, ketika beliau kehabisan bekal pada saat mondok. Beliau tidak pasrah saja menunggu atau meminta bekal kepada orang tuanya.Yang beliau lakukan adalah julan arang dan tahu untuk bekalnya mondok. Hal tersebut merupakan bentuk qon’ah yang dipraktikan beliau, yang artinya qona’ah itu perlu usaha dengan dibumbui rasa tawakal dan kesabaran. Perlu diketahui bahwa KH. Saefuddin Zuhri itu lahir dari keluarga yang tarap ekonominya rendah. Hal ini juga yang memberikan dorongan dan semangat beliau untuk tidak berhenti mencari ilmu.
Ketiga, menuruti petunjuk guru. Suatu saat beliau dipercaya gurunya KH. Nawawi, Garut untuk terjun ke masyarakat atau istilahnya mukim. Beliau juga diberi amanah untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan di sebuah bukit yang bernama “Puncak Haur” yang sampai sekarang dikenal dengan Haur Kuning. Berbekal keyakinan, tawakal, dan kekuatan do’a seorang guru beliau mampu merubah drastis sebuah daerah yang tadinya rimbun pepohonan, dipenuhi semak belukar, sunyi dan gelap gulita menjadi sebuah daerah terang menderang dan ramai oleh riuhnya suara santri yang sedang mengaji.
Itulah beberapa resep keberhasilan KH. Saefuddin Zuhri yang patut dijadikan suri tauladan. Meskipun resep tersebut sudah ada berpaut jauh dari masa KH. Saefuddin Zuhri yaitu syair dari Ali bin Abi Thalib yang berbunyi:
اَلا لاَ تَناَلُ اْلعِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ #
ذَكاَءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِباَرٍ وَبُلْغَةٍ وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
“Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memenuhi enam syarat. Saya akan beritahukan keseluruhannya secara rinci. Yaitu: Kecerdasan, kemauan, kesabaran, biaya, bimbingan/petunjuk guru, dan waktu yang lama.”
Dan yang dipraktikan oleh KH. Saefuddin Zuhri tak semuanya, bisa disaksikan keberhasilannya. Yang terpenting adalah implementasi dan aksi.
Seperti substansi kaidah fikih:
مَا لَا يُدْرَكُ كُلُّهُ لَا يُتْرَكُ كُلُّهُ
“Jika tidak mampu semuanya, jangan tinggalkan seluruhnya.”
Dan juga meskipun nasihat tersebut berumur ratusan tahun, tapi relevansinya fii kulli zaman wa makan.
Terimakasih dan semoga bermanfaat.
Penulis merupakan salah seroang Alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haur kuning Tasikmalaya Angkatan 2015
Terpopuler
1
Khutbah Jumat Singkat: Kunci Meraih Kebahagiaan yang Hakiki
2
Pendidikan Karakter di Era Modern: Meneladani Adab Guru-Murid ala Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari
3
Muslimat NU Kabupaten Bandung Padukan Olahraga dan Wisata Alam di Cicalengka
4
Santri Depok Unjuk Kebolehan di Laskar III Qotrun Nada
5
Keseruan Nobar Timnas Indonesia Bersama PCNU Depok
6
Seminar Dakwah Digital di KPI STAI Al-Masthuriyah, Farhan Zayyid: Bergerak itu Harus dengan Ilmu
Terkini
Lihat Semua