Sejarah

Kisah Ajengan Ilyas Naik Kereta Api

Senin, 24 Agustus 2020 | 18:13 WIB

Kisah Ajengan Ilyas Naik Kereta Api

KH. Moh. Ilyas Ruhiat. Foto: Dok. Keluarga Cipasung.

Oleh Kang Uyan

Suatu hari saya dipanggil oleh Ibu Nyai Hj. Dedeh Fuadah melalui Mas Parjoyo, salah seorang santri yang menjadi khodamnya almagfurlah KH. Moh. Ilyas Ruhiat. Saat itu beliau menjabat sebagai Rois Aam PBNU.

"Uyan, Bapak harus ke Tulungagung, untuk mrngisi acara di pernikahan keponakan Mas Chobir. Bapak mau naik kereta api, nah, tolong Uyan temani Bapak, ya," kata Ibu Nyai ketika saya sudah duduk sila di hadapannya. Mas Chobir atau KH. Abdul Chobir adalah menantu Kiai Ilyas yang berasal dari Tulungagung, suami dari Hj. Ida Nurhalida.

Tentu saja saya merasa kaget bukan main, bercampur senang dan terhormat. Saya yang hanya santri biasa, diberi kesempatan untuk mengawal seorang ulama besar sekelas Ajengan Ilyas, pemimpin tertinggi organisasi Islam terbesar di dunia. 

Setelah solat Isya, saya pun bersiap-siap untuk menjalankan tugas mulia itu. Saya bawa tas kecil berisi pakaian seadanya. Dari asrama Selamet, tempat saya mondok di Cipasung, saya langsung menuju rumah Ajengan. 

Sebelum kami naik mobil Zebra untuk menuju stasiun KA Tasikmalaya, saya dibriefing oleh Ibu Nyai.
"Uyan, Ibu nitip Bapak ya. Tolong carikan tempat duduk untuk Bapak nanti di kereta. Kalau Bapak minta makan atau minum, nanti Uyan sediakan, ya. Ibu sudah siapkan makanan dan minumannya. Kalau Bapak mau kamar kecil, tolong Uyan antar ya." 

Kurang lebih setengah jam perjalanan dari Cipasung ke stasiun KA Tasik. Setelah menunggu beberapa saat, kereta yang akan kami tumpangi pun datang. Saya kawal Kyai Ilyas untuk naik kereta. Perlu diketahui bahwa kereta api pada saat itu belum senyaman sekarang. Siapa yang masuk duluan, maka dialah yang bisa duduk. Tentu jika tidak kebagian tempat duduk, terpaksa harus rela berdiri menunggu penumpang yang turun. 

Suasana itulah yang saya hadapi saat itu. Kereta api penuh sesak dengan penumpang sejak dari Bandung. Saya bolak-balik ke gerbong depan dan ke belakang, mencari kursi yang kosong, tapi tidak ada. Semua gerbong penuh sesak. Kereta pun mulai berjalan. 

Di sinilah saya menyaksikan betapa luhurnya akhlak guru saya itu. Beliau rela berdiri di kereta api untuk beberapa waktu sambil menunggu kabar dari saya. Beruntung ketika saya bolak-balik itu, ada seorang laki-laki setengah baya yang mengenali Kyai Ilyas. Akan tetapi karena dia kurang yakin, dia bertanya dulu kepada saya. "Dik, maaf, itu yang bersama Adik tadi apakah Kyai Ilyas Ruhiat Rois 'Aam PBNU?" 
"Iya, Pak, itu Kiai Ilyas," jawab saya cepat. 

Seketika orang itu mendekati Kiai Ilyas lalu mencium tangannya dan memperkenalkan diri. Ternyata dia adalah salah seorang pengurus PCNU Kota Surabaya. Dia lalu membawa Kiai Ilyas untuk duduk di kursinya yang dia duduki bersama keluarganya sejak dari Bandung. Sementara dia bersama saya berdiri di samping Kiai Ilyas.
 
Setelah melewati Purwokerto, kereta yang kami tumpangi mulai kosong. Orang itu pun permisi untuk pindah tempat duduknya karena kelihatan sangat sungkan jika dia harus duduk bersama orang nomor satu di PBNU itu. 


Memasuki stasiun Yogyakarta, kereta semakin kosong. 
"Coba, Yan, buka timbel dari ibu. Bapak lapar," ujar Ajengan Ilyas. 
Saya segera siapkan makanan dan minuman yang sudah disiapkan Ibu Nyai. Sebetulnya saya sangat sungkan jika harus makan bareng dengan mahaguru saya ini. Tetapi karena beliau yang meminta, supaya saya ikut makan, saya pun terpaksa makan di hadapan beliau. Setelah selesai makan, saya biasa merokok. Tapi siapakah yang berani merokok di depan beliau yang bukan seorang perokok? 

"Waduh , bagaimana ini ya, habis makan mulutku terasa kecut sekali kalau belum merokok.  Tapi masa iya sih saya harus merokok di depan Kiai. Ah .. Saya mau pura-pura ke toilet saja. 
" Pak, punten Uyan mau ke toilet dulu," saya memberanikan diri mohon izin kepada beliau. 
"Sok, mangga, " jawab Kiai Ilyas singkat.

Saya buru-buru menuju toliet, tapi bukan untuk buang air. Saya gunakan waktu sebaik-baiknya untuk merokok. Setelah puas, saya balik lagi ke tempat di mana Kiai Ilyas duduk. Beliau tertidur di kursi fereta dengan berbantalkan tas berisi pakaian beliau. 

"Yan, pencetan Bapak!" pinta beliau. Saya pun duduk sila di alas kereta sambil memijat kaki beliau. Karena lelah, tak terasa saya terkantuk-kantuk.
"Kalo Uyan ngantuk, tidur saja di kursi depan Bapak ini, jangan di bawah." 
"Oh iya, Pak, tapi saya biar di bawah saja." 
"Jangan. Sudah .. ayo naik ke kursi saja," ujar beliau sambil nunjuk kursi di depannya yang memang kosong.

Saya tidak berani tidur di depan Kiai, lebih baik saya merokok lagi saja deh, pikir saya waktu itu.

"Pak, Uyan mohon izin mau ke toilet lagi." 

Di luar dugaan, Kiai Ilyas menjawab dengan senyuman khasnya. "Kalau mau merokok, tidak usah di toilet, di sini saja, nggak apa-apa kok." 

Waduh, betapa kagetnya saya waktu itu. Ternyata Kiai Ilyas tahu kalau saya tadi berbohong. 
Itulah hebatnya Kiai Ilyas Ruhiat. Beliau menegur muridnya tidak dengan cara yang kasar atau menunjuk hidung. Beliau berikan pengajaran begitu berharga kepada saya, bahwa mengajari orang itu tidak harus menggurui, atau merasa sok lebih alim. Perlakuan bijak beliau sungguh menampar muka saya dan terus berbekas dalam sanubari. 

Akhirnya sekitar pukul 05.30, kami sampai di stasiun Kertosono, Nganjuk. Setelah salat Subuh di mushola stasiun, kami bertemu dengan salah seorang keluarga menantu beliau yang menjemput kami, untuk kemudian istirahat di rumah kakaknya Pak Chobir . 

Itulah sepenggal kisah perjalanan saya dengan Sang Kiai, almarhum almagfurlah KH. Moh. Ilyas Ruhiat. Pengalaman yang begitu istimewa dan akan selalu menjadi kenangan yang tak akan terlupakan. Semoga diri saya yang hina ini, mendapatkan barokahnya. Beliau sungguh sosok yang sangat wirai', bersahaja, bijaksana, sekaligus alim dan ‘allamah.

Alfatihah ...

Penulis, alumni Pesantren Cipasung, Ketua PCNU Kabupaten Karawang.