• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Tokoh

Mama Muhammad Faqih Lemburawi (2): Kiai yang Tak Tersentuh Gorombolan DI/TII

Mama Muhammad Faqih Lemburawi (2): Kiai yang Tak Tersentuh Gorombolan DI/TII
Mama Ajengan KH Muhammad Faqih Lemburawi, pendiri Pondok Pesantren Baitul Arqom (Foto: Ahmad Fuad Ruhiat
Mama Ajengan KH Muhammad Faqih Lemburawi, pendiri Pondok Pesantren Baitul Arqom (Foto: Ahmad Fuad Ruhiat

Masih melanjutkan cerita yang belum lengkap tentang sosok Mama Kiai Haji Muhammad Faqih. Dalam tulisan sebelumnya Mama dikenal dengan sosok yang rendah hati, siapa pun yang datang dengan tujuan apa pun, beliau melayaninya dengan santun. 

Masyarakat sekitar kampung Lemburawi menyebutnya dengan Mama, karena sebutan itu bagi masyarakat adalah sebagai sebuah potret penghargaan atas sosok kharismatik dan dituakan.
  
Pada masa DI/TII (1949-1962) daerah Pacet menjadi tempat “persinggahan” DI/TII. Di tempat inilah Kartosuwiryo ditemukan dan ditangkap. Lebih tepatnya di wilayah Gunung Rakutak pada tahun 1962. 

Mama Muhammad Faqih Lemburawi: (1) Alim dan Rendah Hati

Pembakaran oleh “gerombolan” (sebutan masyarakat kepada kelompok DI/TII) di hampir semua tempat yang ada di Pacet. Salah satu tempat yang dibakar adalah Pangauban, Salawi, Cipadali, Cinanggela termasuk hampir nyaris Lemburawi. Namun pesantren Lemburawi tidak tersentuh bahkan dianggap “leuweung” (hutan) oleh para "gerombolan", karena tak kasatmata. 

Pada waktu itu, masyarakat umumnya, setiap sore memasak nasi dan lauk pauk. Lalu disimpan di pelataran rumah. Malam harinya makanan tersebut diambil oleh "gerombolan". Kalau tidak melakukan itu semua, rumah pasti dibakar. Kalau ketemu penghuninya pasti "digorok". Kondisi yang sangat menakutkan, tentunya.
  
“Kiai anu teu ingkah balileuhan,” (kiai yang tidak lupa diri/menjunjung purwadaksi). 

Pada masa kondisi seperti itu, Mama sama sekali tidak meninggalkan pesantren. Hampir semua kiai meninggalkan Pacet untuk menghindarkan diri dan keluarga dari kondisi yang teramat mencekam. Sementara Mama tetap tinggal, dan menjadikan masjid dan madrasah yang sekarang dijadikan masjid khusus “santriyat”, tempat bersembunyi masyarakat Pacet, khususnya masyarakat Lemburawi, dari keganasan “gerombolan”.
 
Urang salamet, tapi tong nyilakakeun batur,” (diri kita selamat tapi jangan mencelakakan orang lain).

Setiap terjadi suara ledakan, Mama selalu menutup rapat mesjid atau madrasah, yang di dalamnya terdapat keluarga, masyarakat dan santri. “Gerombolan” yang lewat dengan memakai senjata lengkap, berlalu begitu saja, seakan tidak menemukan apa pun, terkecuali hanya pepohonan.

Penulis: Ahmad Fuad Ruhiyat
Editor: Abdullah Alawi 

 


Editor:

Tokoh Terbaru