• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 20 Mei 2024

Tokoh

Ketika NU Tasikmalaya Dipimpin Seorang Jurnalis

Ketika NU Tasikmalaya Dipimpin Seorang Jurnalis
Sutisna Senjaya/Abah Sutsen. (Foto: Dok. Keluarga)
Sutisna Senjaya/Abah Sutsen. (Foto: Dok. Keluarga)

Oleh Imam Mudofar
Warga NU, khususnya di Tasikmalaya harus tahu jika NU Tasikmalaya pernah dipimpin oleh seorang Jurnalis. Sejarah NU Tasikmalaya mencatatkan nama Raden Sutisna Sendjaya sebagai Ketua Tanfidziyah NU Cabang Tasikmalaya dekade tahun 1930-an. Sutisna Sendjaya atau yang kala itu akrab dengan sebutan Abah Sutsen lahir di Wanaraja Garut pada 27 Oktober 1890. Jauh sebelum NU resmi didirikan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926 di Surabaya, Abah Sutsen sudah dikenal sebagai tokoh Pers di Jawa Barat. Pada era penjajahan Belanda, Abah Sutsen tercatat sebagai Redaktur dibeberapa surat kabar seperti Surat Kabar Siliwangi (1921) dan Sipatahoenan (1923). Nama “Sutsen” di tulis sebagai nama pena dalam setiap tulisan-tulisannya. 

Sebagai seorang ningrat dengan gelar Raden, Abah Sutsen terbilang seseorang yang beruntung karena bisa mengenyam pendidikan formal. Sesuatu yang langka dan jarang bisa dialami oleh kalangan masyarakat biasa pada era kolonial saat itu. Abah Sutsen tercatat pernah sekolah di Sakola Raja (KweekSchool) di Bandung pada tahun 1911. Selain itu, Abah Sutsen juga pernah mengajar di HIS Banten kemudian pindah ke HIS Banten sebelum akhirnya pindah mengajar ke HIS Pasundan 1 Tasikmalaya. Kemampuannya menulis diperoleh Abah Sutsen dari proses perjalanan panjang pemikiran dan pendidikan formal. 

Selain tercatat sebagai seorang tokoh Pers/Jurnalis, Abah Sutsen juga dikenal sebagai tokoh pergerakan. Mulai dari aktif di Paguyuban Pasoendan, tercatat sebagai Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat Tasikmalaya dan menjadi Koordinator Pergerakan Perjuangan Rakyat pada zaman revolusi fisik di era pemerintahan Jepang. Dan tentu tokoh pergerakan yang tercatat sebagai Ketua Tanfidziyah NU Cabang Tasikmalaya.

Keberadaan Abah Sutsen sebagai bagian penting dari perjalanan NU Cabang Tasikmalaya adalah antitesis terhadap narasi yang menyebutkan jika basis kekuatan NU itu identik dengan Kiai, Ulama dan Pondok Pesantren semata. Terbukti, Abah Sutsen yang notabene adalah tokoh jurnalis dengan latar belakang pendidikan formal dan kental dengan status darah birunya sebagai Raden menjadi bagian penting dari perjalanan NU Tasikmalaya saat itu.

Lantas, apa yang melatarbelakangi Abah Sutsen bergabung dan menjadi bagian penting dari Nahdlatul Ulama? Jawabannya akan kita temukan pada pandangan dan keinginan yang sama agar Bangsa Indonesia mampu merdeka dari segala bentuk penjajahan. Persamaan persepsi dalam kerangka merebut kemerdekaan ini bisa jadi salah satu alasan kuat seorang Abah Sutsen bergabung dengan NU yang identik dengan dunia pesantren. 

Saat Abah Sutsen menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah NU Cabang Tasikmalaya, NU Cabang Tasikmalaya membuat satu gebrakan hebat dengan menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama pada tahun 1933. Abah Sutsen sendiri yang memimpin penerbitan itu sebagai Pimpinan Redaksi. Pada saat itu, Majalah Al Mawa’idz ini menjadi yang pertama dan satu-satunya di Jawa Barat, atau bahkan mungkin di Indonesia yang terbit sebagai media resmi milik Nahdlatul Ulama. Isi dan kontennya pun beraneka ragam. Dari hanya sebagai kabar biasa, sampai pikiran-pikiran strategis dalam kerangka menyuarakan kepentingan umat di era itu. Meski pada akhirnya majalah Al Mawa’idz ini terpaksa harus gulung tikar di edisi ke 31 karena ada banyak pelanggan, khususnya dari kalangan warga Nahdliyin pada waktu itu yang menunggak pembayaran.

Selain kekuatan literasi lewat media Majalah Al Mawa’idz, kehadiran Abah Sutsen sebagai tokoh pergerakan yang kritis juga menjadikan NU Cabang Tasikmalaya memiliki daya gedor luar biasa dalam kerangka mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah kala itu. Pada saat Bupati Wiratanoeningrat membentuk sebuah organisasi yang dinamakan Perkoempoelan Goeroe Ngadji (PGN) dengan maksud menyatukan para kyai untuk mendukung setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang pada waktu itu masih berada di bawah jajahan Pemerintah Hindia Belanda, NU Cabang Tasikmalaya dibawah Abah Sutsen dengan lantang bersilang pendapat. Terutama yang berkaitan dengan status Pemerintah Hindia Belanda dikaitkan sebagai ulil amri dalam ajaran Islam. 

PGN dan NU berbeda pendapat berkaitan dengan substansi atau hakikat ulil amri. KH Fachroedin dari PGN berpendapat predikat ulil amri bagi Pemerintah Hindia Belanda dapat dipandang dari sisi Syar’i. Oleh karena itu, umat Islam wajib mematuhi segala kebijakannya sekalipun mereka itu merupakan pemerintahan yang kafir dan perbuatannya bersifat fasiq, jahil dan munkar. Dengan kedudukan seperti itu, Pemerintah Hindia Belanda memiliki wewenang untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah keagamaan. 

Sedangkan, NU Cabang Tasikmalaya tidak sependapat terkait hal itu. Menurut Abah Sutsen yang kala itu menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah NU Cabang Tasikmalaya, gelar ulir amri bagi Pemerintah Hindia Belanda yang tidak bisa dipandang dari segi syar’i, tapi siyasi (politik). Dengan demikian, NU memandang Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan yang sah, tapi statusnya tetaplah penguasa asing yang hanya berkuasa secara politik. Oleh karena itu, pemerintah hanya memiliki wewenang mengatur masyarakat sepanjang berkaitan dengan urusan politik. Di luar dari itu, terutama yang berkaitan dengan keagamaan, pemerintah sama sekali tidak memiliki wewenang untuk mengatur masyarakat. 

Meski demikian, perbedaan pandangan mengenai hakikat ulil amri antara PGN dan NU Cabang Tasikmalaya tidak membuat pemerintah kolonial bergeming. Pemerintah Hindia Belanda tetap berkepentingan untuk ikut campur dalam urusan keagamaan karena memandang agama berpotensi mengancam keamanan dan ketertiban umum. Lewat PGN, organisasi yang dibentuk oleh pemerintah pada waktu itu, birokratisasi agama mulai dijalankan. Tujuan politiknya disamarkan sehingga tidak bersifat kontra-produktif. Bahkan di tahun 1935, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Raad Igama atau Dewan Agama yang berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten.

NU Cabang Tasikmalaya di bawah kepemimpinan Abah Sutsen juga tak henti-hentinya melontarkan kritik terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Kritik itu disampaikan diberbagai momen baik yang bersifat tatap muka, maupun penggiringan opini di media massa. Abah Sutsen menulis sebuah opini di surat kabar Langlajang Domas tentang kegagalan Pemerintah Hindia Belanda dalam mengatur negara. Opini itu berjudul “de Herziening der Staatsregeling.” Dalam opini yang ditulisnya itu Abah Sutsen mengkritik Pemerintah Hindia Belanda telah membuat perangkat negara sebagai media untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia.

Pembentukan Volksraad, gemeenteraad, atau regentshapraad tidak disertai oleh suatu upaya nyata dari pemerintah agar lembaga itu dapat berfungsi secara optimal. Pada kenyataannya, lembaga-lembaga perwakilan itu hanyalah sebuah dagelan politik belaka. Sebab, Bangsa Indonesia tidak memiliki kekuatan mempengaruhi Lembaga-lembaga itu untuk kepentingan Bangsa Indonesia itu sendiri. 

“… oerang bisa nendeun pangaroeh ka Gemeenteraad sagemblengna? Bisa ngaroban bangoena Volkdsraad? Teu sing! Sabab nambahna noe marilih dileungitkeun pangaroehna koe teu meunang miloe milih lain bangsa. Lolobana bangsa oerang noe baroga hak kabeh tjondong ka kentja. Tapi sorana teu bisa diteundeun ka Walanda atawa Tiong Hoa kaom kentja. Noe matak ceuk koering teu aja gawena atawa saeutik pisan….” (Miftahul Falah; Sejarah Kota Tasikmalaya 1920-1942)

Kehadiran Abah Sutsen sebagai tokoh pergeran NU di Tasikmalaya, sebagai Ketua NU Cabang Tasikmalaya menjadikan NU Cabang Tasikmalaya memiliki warna tersendiri. NU Cabang Tasikmalaya terbentuk dari sebuah sinergi antara intelektual pesantren dengan intelektual formal yang secara gerak dan pemikiran tentu berbeda. Keduanya disatukan oleh satu status yang sama sebagai seorang pribumi yang menghendaki bangsanya merdeka di tanah airnya sendiri. 

Pengabdian Abah Sutsen di NU tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Selain tercatat sebagai Ketua NU Cabang Tasikmalaya, Abah Sutsen juga pernah tercatat sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat pada tahun 1948 atau tepatnya tiga tahun setelah Indonesia Merdeka. Abah Sutsen mengisi kemerdekaan dengan tetap menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama sampai ia wafat di Bandung pada tahun 11 Desember 1961. Semoga perjuangan dan pengabdian Abah Sutsen di Nahdlatul Ulama menjadi wasilah terbukanya pintu surga baginya. Amin. Alfatihah.

Penulis: Imam Mudofar. Alumnus Pondok Pesantren Queen Al Falah Ploso-Kediri. Alumnus FIB Unair Surabaya. Saat ini aktif di Banser sebagai Kasatkorcab Banser Kabupaten Tasikmalaya.
 


Tokoh Terbaru