• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Tokoh

Jejak Sejarah KH Abdullah Syathori Arjawinangun (1)

Jejak Sejarah KH Abdullah Syathori Arjawinangun (1)
KH. Abdullah Syathori.
KH. Abdullah Syathori.

KH. Abdullah Syathori atau yang kerap disapa dengan panggilan Mbah Kiai Syathori lahir pada tahun 1905 di dusun Lontang Jaya, desa Panjalin, Majalengka. Tiga Km sebelah barat Babakan Ciwaringin Cirebon. Meski tidak diketahui secara pasti tanggal dan bulan kelahirannya, beberapa sumber menyebutkan beliau lahir pada hari Sabtu, sehingga beliau mendapat julukan pada waktu kecil, yaitu ‘tunen’ merupakan kependekan dari ‘metu sabtu puput senen’.

Mbah Kiai Syathori terlahir dari keluarga ulama dan bangsawan. Darah ulama mengalir dari jalur ayahnya KH. Sanawi bin Abdullah bin Muhamad Salabi dari Lontang Jaya. KH. Sanawi adalah seorang ulama penghulu yang merintis berdirinya Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid dengan mendirikan langgar (musholla).
Meski perpindahan domisili beliau ke Arjawinangun belum di ketahui secara pasti, akan tetapi dari hipotesa yang berdasarkan pekerjaan, beliau berpindah karena tugas seorang penghulu sementara. KH. Abdullah bin KH. Hasanuddin (KH. Muhammad Salabi) kakek Mbah Kiai Syathori adalah sosok ulama dan pejuang di zamannya dalam mengusir penjajah, terutama ketika terjadi ‘Perang Kedongdong’.

KH. Abdullah dan beberapa para kyai lain turut terjun ke medan peperangan, meski banyak yang gugur namun KH. Abdullah terhitung tokoh ulama yang selamat. Dari jalur ibu, mbah kyai Syathori merupakan ulama berdarah bangsawan. Ibundanya, Nyi Hj. Arbiyah putri kiai Abdul Aziz bin Arja’in adalah keturunan Sultan Banten dari Sura Manggala yang memerintah kesultanan Banten pada tahun 1808.

Dan pada ujung silsilah Mbah Kiai Syathori bertemu dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Mbah Kiai Syathori hidup dalam suasana keagamaan dan displin pendidikan ilmu yang tinggi. Berkat kecerdasan dan didikan orang tuanya, Mbah Kiai Syathori telah mampu menghafal Juz ’Amma dengan fasih. Selain dikenal sebagai anak yang cerdas dan rajin belajar, Mbah Kiai Syathori kecil juga dikenal sebagai anak periang dan suka berolahraga, khususnya sepak bola.

Nasab KH Abdullah Syathori​​​​​​​
Sunan Gunung Jati Cirebon
Maulana Hasanudin
Maulana Yusup
Muhammad
Sultan Al-Makhir
Sultan Abdul Ma’ali
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Abu Nasiri
Sultan A. Mahasyim
Sultan M. Syifa
Sultan Kuh-Arif
K. Agung Sanawi
Kyai Sholeh Penghulu Cirebon
Kyai Arja’in Penghulu Kesepuhan
Abdul Aziz Penghulu Kesepuhan
Hj. Arbiyah binti Kyai Abdul Aziz (menikah) KH. Sanawi bin Abdullah bin Muhamad Salabi.
KH Abdullah Syathori 

Wafat
Tepat pada hari Kamis, tanggal 6 Februari 1969 M atau 19 Dzulqa’dah, Mbah Kiai Syathori berpulang ke Rahmatullah. Hari itu adalah hari berkabung bagi masyarakat Arjawinangun khususnya, dan masyarakat muslim Cirebon pada umumnya. Kepulangan beliau karena penyakit jantung yang dideritanya. Masyarakat sangat kehilangan karena wafatnya.

Banyak kisah menarik disebutkan seputar wafatnya Mbah Kiai Syathori, diantaranya adalah saat menjelang pemakaman beliau. Saat itu Arjawinangun bagai lautan manusia. Semua masyarakat mengungkapkan kesedihannya dengan menghantarkan kiai tercinta ke maqbarah. Sepanjang rumah Mbah Kiai Syathori hingga ke maqbarah Kiruncum sekitar 1 Km dipenuhi manusia yang mengantarkan jenazah.

Lembaga pemerintahan, institusi pemerintah dan swasta di Arjawinangun dan Junjang pada hari itu meliburkan diri, turut berduka atas wafatnya Mbah Kiai Syathori. Bukan hanya itu, santri dan masyarakat mendo’akan beliau dengan membaca al-Qur’an di maqbarah selama 40 hari secara terus menerus.

Ada kesaksian yang unik yang di ceritakan H. Sayidi, salah seorang staf pengajar pesantren saat masih dipimpin Mbah Kiai Syathori. Menurutnya tanda-tanda Mbah Kiai Syathori wafat jelas diisyaratkan oleh Mbah Kiai Syathori sendiri. Dengan beberapa indikasi:

Setengah bulan sebelumnya, Mbah Kiai Syathori minta orang-orang dari desa Gintung untuk datang dan melakukan bersih-bersih di pesantren dan rumah pengasuh. Ini dilakukan dengan alasan bahwa beliau akan kedatangan tamu, manusia yang sangat banyak jumlahnya.

Tiga hari sebelum wafat, Mbah Kiai Syathori menyatakan bahwa beliau akan membangun Pesantren yang tidak ada di dunia ini.

Pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 WIB pada hari wafatnya Mbah Kiai Syathori menyatakan bahwa dirinya akan tidur untuk selama-lamanya.

Sekitar pukul 11.00 WIB kemudian beliau pulang ke Rahmatullah. H. Sayidi juga menceritakan bahwa banyak Kiai-Kiai Cirebon dan luar Cirebon untuk berta’ziyah, mensholatkan, dan mengantarkan ke maqbarah. KH. Sanusi dari pesantren Bababkan Ciwaringin datang dengan para santrinya dengan berjalan kaki.

Rombongan ta’ziyah dari Pesantren Buntet dipimpin KH. Hawi. Setelah selesai melaksanakan sholat jeazah untuk almaghurlah Mbah Kiai Syathori, KH. Hawi berbicara di hadapan santri dan para hadirin semua.
Beliau menyatakan bahwa : “Mbah Kiai Syathori ini kelihatannya saja meninggal, tetapi sesungguhnya masih hidup “bal ahya’un ‘inda rabbikum”. Buktinya apa? Lah, wong aku salam kok Kiai Syathori malah menjawabnya. Mayit mana yang bisa menjawab salam? Almarhum ini sungguh bukan manusia biasa seperti kita-kita ini”.

Editor: Muhammad Rizqy Fauzi
Sumber: FB Aswaja Qura An


Tokoh Terbaru