• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Tokoh

Napak Tilas Kiprah KH Hasyim Muzadi

Napak Tilas Kiprah KH Hasyim Muzadi
KH. Hasyim Muzadi (Foto: IDY/NUJO)
KH. Hasyim Muzadi (Foto: IDY/NUJO)

Oleh Herdi As’ari
Kiai Haji Ahmad Hasyim Muzadi ialah seorang pemikir muslim kenamaan di Indonesia yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2010). Sejak Januari 2015, ia juga diangkat sebagai Dewan Pertimbangan Presiden, yang pada waktu itu diketuai oleh Sri Adiningsih.

Kiai Hasyim lahir di Tuban, Jawa Timur, 8 Agustus 1943. Putra dari H. Muzadi dan Hj. Rumyati ini, nampaknya terlahir dengan semangat belajar dan berorganisasi yang tinggi. Semangat inilah yang kemudian menghantarkannya ke dalam posisi-posisi strategis perpolitikan nasional, serta membawa Kiai Hasyim pada pucuk pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia.

Sebagai seorang ulama, Kiai Hasyim dikenal sebagai sosok yang kharismatik. Pendiri sekaligus pengasuh pesantren Al-Hikam ini, dikenal memiliki wawasan keumatan dan kebangsaan yang moderat. Menurutnya, Islam jangan bergeser terlalu kiri maupun terlalu kanan. Artinya –dalam konteks kebangsaan (keindonesiaan)– Islam harus berdiri di tengah antara ekstrimitas dan liberalitas. Syariat Islam harus mampu menyublimasi (baca: mengisi) kehidupan Indonesia yang plural. 

Nilai-nilai keislaman mesti dihadirkan melalui pendekatan sosial-kultular, ketimbang pendekatan formal-prosedural. Tatkala ada kasus pencurian, maka mengentaskan kemiskinan (hulu masalah) lebih urgent dari pada membuat undang-undang untuk memotong tangan si pencuri. Contoh lain, misalnya ia berpendapat bahwa dalam kasus terorisme dibutuhkan upaya yang sistematis dan simultan. Oleh karena pangkal dari terorisme itu adalah pola pikir yang keliru, maka diperlukan upaya prepentif melalui peran tokoh agama untuk mengurai kebekuan pikir (teologi) tersebut. Mengisi surau-surau atau madrasah-madrasah di tiap tempat dengan pemahaman agama yang moderat dan kearifan lokal adalah strategi implementatif yang mesti segera dilakukan.

Ulama yang mendunia    
Tak hanya di tingkat nasional, intelektual lulusan Pesantren Modern Gontor ini, kiprahnya juga diakui di kancah global. Kiai Hasyim merupakan salah satu tokoh intelektual muslim yang pemikiran-pemikirannya diperhitungkan, terutama soal resolusi konflik dan perdamaian dunia. Pada tahun 2006, ia terpilih menjadi salah satu dari 9 presiden pada Konferensi Dunia Agama untuk Perdamaian (Word Conference on Religion for Peace/ WCRP), bersama Din Syamsuddin.

Selain menjadi bagian WCRP, Kiai Hasyim juga aktif pada forum International Conference of Islamic Scholar (ICIS). Program-program yang ditawarkan ICIS juga tak beda jauh dengan program yang ada di WCRP. Yakni, rekonsiliasi konflik di Irak, Afganistan, dan Thailand Selatan, memediasi peperangan antar suku di Sierra Lione, serta program kemanusiaan lainnya di wilayah Afrika.

Dalam upaya resolusi konflik, Kiai Hasyim menandaskan bahwa upaya komunikasi intensif antar negara niscaya dilakukan. Kebiasaan dialog harus dibangun, ketimbang membuat keputusan yang terkesan terburu-buru. Pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving merupakan solusi yang disuguhkan Kiai Hasyim untuk menghentikan kekerasan.

Arus balik Kiai Hasyim
Semenjak 2010, suami Hj Muthomimah ini nampaknya lebih berfokus pada isu-isu moral dan spiritual. Di mana sebelumnya, ia telah mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk hal-hal praktis-strategis, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Ia kemudian lebih disibukan menjadi seorang penceramah, dari satu majelis ke majelis lainnya. 

Pembawaan yang tenang, penyampaian yang runut, dan sesekali diselipkan guyonan didaktis menjadi ciri khas Kiai Hasyim. Dengan kelapangan ilmu dan kedalaman hikmah, tak heran jika isi ceramah Kiai Hasyim selalu memikat pendengarnya. Kesantunan dan kemampuannya dalam merangkul setiap golongan menjadi ciri bahwa Kiai Hasyim lebih mementingkan cinta agama, dari pada emosional keagamaan.

Begitu banyak pesan moral yang diwariskan Kiai Hasyim. Di antaranya adalah intelektualitas akan goncang ketika ada goncangan pada hati seseorang. Sehingga iqra sebagai metodologi, harus sampai pada bismirobbika, sebagai teologisasi dari pengetahuan tersebut. Pendeknya, ilmu tersebut akan bermanfaat, dapat diamalkan dan dipertanggungjawabkan bukan sebab ilmiah tapi semata-mata hidayah dari Allah Swt.

Hari Kamis pagi, tepatnya tanggal 16 Maret 2017, sekitar pukul 06.00 WIB, salah satu putra terbaik bangsa ini meninggalkan alam pana untuk selama-lamanya. Bangsa Indonesia kehilangan “orang tua” nan bijaksana yang telah selesai dengan diri dan golongannya. Pulang meninggalkan Bintang Mahaputera Adipradana, kembali pada-Nya dengan hati yang tenang.

Mahasiswa Magister Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Tokoh Terbaru