Taushiyah KOLOM GUS ISHOM

Menyikapi Manusia Pendosa

Sabtu, 26 November 2022 | 13:00 WIB

Menyikapi Manusia Pendosa

Menyikapi Manusia Pendosa

Hanya manusia terpilih dan istimewa yang terjaga dan selalu menjaga diri dari kesalahan dan dosa. Mereka adalah manusia langka. Kebanyakan anak manusia bersalah dan berdosa. Manusia terbaik ialah yang segera bertobat. Menunda untuk kembali berbuat baik itu sikap tercela, karena maut bisa tiba kapan saja.


Banyaknya dosa itu menggelisahkan jiwa, membuat hati bergejolak, tidak tenang, dan berat melakukan ketaatan. Bahkan tenggelam dalam perbuatan yang dilarang itu membuat hidup kehilangan arah, menjadi tidak bermakna, dan menumbuhkan keputusasaan. Oleh sebab itu, setiap manusia yang berdosa tidak boleh putus asa. Ia harus segera kembali ke jalur kehidupan yang benar, berhenti dari menzalimi diri sendiri dan atau orang lain agar mendapatkan ampunan dan kasih sayang Allah.


Manusia bukanlah malaikat dan bukan pula syetan. Manusia di satu sisi berpotensi dan mampu berbuat benar dan baik, sedangkan ia juga bisa berbuat yang sebaliknya. Allah telah menciptakan kebaikan dan keburukan, sedangkan Ia telah menganugerahkan akal untuk menimbang, memilih dan memutuskan. Allah meridlai manusia yang memilih jalan kebenaran dan kebaikan namun tidak menyetujui pilihan yang sebaliknya.


Manusia dengan anugerah akalnya itu pada umumnya sangat dinamis. Selalu bergerak mendekati wilayah kebaikan yang bermuatan pahala atau ia memasuki wilayah keburukan yang bernilai dosa. Ibarat pendulum yang diam yang digantung dengan seutas benang, tidak bergerak, maka akan membagi wilayah menjadi dua bagian, kanan dan kiri. Wilayah kanan adalah wilayah ketaatan, sedangkan wilayah kiri adalah wilayah kemaksiatan atau dosa. Adapun manusia itu ibarat pendulum yang aktif dan dinamis bergerak, adakalanya ke kiri atau ke kanan. Saat manusia bergerak memasuki wilayah kanan, ia sedang berbuat kebajikan sehingga otomatis menjauhi wilayah dosa dan kedurhakaan.


Sebaliknya, semakin jauh dirinya memasuki area kedurhakaan, maksiat atau dosa, maka konsekwensi atau hukumannya ia dengan sendirinya menjauhi titik batas dari wilayah ketaatan yang bernilai pahala.


Merasa diri selalu suci dan selain dirinya banyak dosa juga kesalahan yang banyak dilakukan. Sibuk melihat aib pihak lain betapapun sedikitnya, tetapi tidak menyadari atau lupa kepada aib, cacat dan cela diri sendiri yang amat banyak. Ini adalah sikap yang tercela. Seseorang "berhijrah" karena dirinya merasa banyak dosa, namun setelahnya bisa jadi ia merasa bersih dari dosa, lalu memandang orang lain yang belum "berhijrah" seluruhnya sebagai pendosa. Ini juga berdosa. Dosa-dosa yang telah bersemayam di dalam jiwa itu bahkan tidak disadari oleh para pelakunya.


Lalai dari mengingat Allah, tidak percaya kepada-Nya atau tidak pula selalu merasa di bawah pengawasan-Nya menjadi sebab utama dari setiap perbuatan durhaka. Sehingga sungguh aneh jika ada perbuatan maksiat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena takut dan malu bila disaksikan oleh orang lain dan adakalanya dilakukan secara terang-terangan tanpa rasa malu.


Kini amat mudah mendapatkan pelaku kemaksiatan, bahkan dengan tanpa mencarinya, karena itu bisa dijumpai pada diri sendiri atau orang terdekat, pada orang yang kita kenal atau tidak. Bagaimana sikap kita menghadapi mereka yang secara terang-terangan berbuat dosa? Dalam kasus ini ada dua kelompok orang yang memiliki ciri-ciri berbeda dalam menyikapinya, yakni kelompok orang yang berbahagia dan kelompok orang yang celaka.


Orang yang berbahagia ialah orang yang saat menyaksikan orang lain melakukan perbuatan dosa ia tidak merasa paling suci seolah perbuatan dosa itu mustahil dilakukannya, secara lahiriah ia harus mengingkari atau tidak membenarkan perbuatan dosa tersebut, sedapat mungkin manakala kondisi memungkinkan ia berusaha memberikan nasehat baiknya kepada pelaku maksiat, ia tidak ikut serta menyebarluaskan aibnya dan tetap menjaga kehormatannya, dan ia berupaya mendoakan pelaku dosa tanpa sepengetahuannya agar menjadi orang baik dan dosa-dosanya diampuni oleh Allah.


Adapun orang yang celaka ialah orang yang apabila melihat orang lain berbuat dosa maka ia merasa suci dan merasa mustahil melakukannya, ia selain tidak mengingkari juga tidak tergerak untuk mencegah dan memberikan nasehatnya meskipun keadaan memungkinkan untuk berbicara empat mata, ia bahkan menggosip dengan cara membeberkan kesalahan orang lain kepada orang-orang yang sejak semula tidak mengetahuinya, ia sama sekali tidak memiliki rasa belas kasihan kepada orang yang berdosa itu sehingga hatinya tidak tergerak untuk mendoakan atau memohon agar Allah mengampuni dosa-dosanya.


KH Ahmad IshomuddinRais Syuriah PBNU masa khidmah 2010-2015 dan 2015-2021