• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Tauhid

Penjelasan Para Rasul yang Tak Pernah Melakukan Perbuatan Haram, Makruh dan Mubah

Penjelasan Para Rasul yang Tak Pernah Melakukan Perbuatan Haram, Makruh dan Mubah
Ilustrasi/NU Online Jabar
Ilustrasi/NU Online Jabar

Di antara tujuan Allah mengutus para rasul adalah menyampaikan risalah kepada umat manusia yang menjadi tanggung jawab mereka. Hal itu terekam dalam kitab-kitab ilmu tauhid yang menjelaskan empat (4) sifat wajib para rasul, yaitu: shidiq (benar dalam semua pekerjaan, ucapan dan tindakannya), amanah (jujur dalam setiap apa yang disampaikan), tabligh (menyampaikan setiap risalah yang menjadi tanggung jawab), fathanah (cerdas dalam pribadinya).   

Sebagai manusia pilihan, tentu semua tindakan para rasul selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Karenanya, kita sebagai manusia mempunyai kewajiban mengikuti semua teladan yang dicontohkan oleh para rasul, kecuali yang Allah khususkan bagi mereka. Allah berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ

Artinya, “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika Kalian mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai kalian’.” (QS. Ali ‘Imran: 31)  

Dalam ayat lain disebutkan:

  وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Artinya, “Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’raf: 158)

Dua ayat di atas menunjukkan kewajiban mengikuti semua teladan yang dicontohkan oleh para rasul, kewajiban itu telah final tanpa dipertentangkan oleh para ulama, baik mutaqaddimin (klasik) maupun muta’akhirin (kontemporer). Ulama sepakat tanpa khilaf bahwa mengikuti jejak langkah utusan-utusan Allah sesuai dengan zamannya berhukum wajib.  

Kewajiban mengikuti para rasul juga menjadi dalil secara pasti atas terjaganya jiwa Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam dan rasul lainnya dari setiap perbuatan maksiat dan dosa. Mereka bahkan terjaga dari semua pekerjaan yang hukumnya makruh. Semua teladan yang dicontohkan oleh mereka berputar pada perbuatan yang berhukum wajib, sunnah dan mubah. Semua itu ketika dipandang dari sisi perbuatannya, tanpa memandang faktor lain yang bisa mempengaruhi hukum pekerjaan tersebut. Misalnya makan, ketika dipandang dari sisi pekerjaannya maka berhukum mubah, namun bisa menjadi sunnah bahkan wajib ketika disertai faktor lain yang mengubah hukum asalnya.  

Sedangkan ketika memandang dari faktor-faktor yang lain, yaitu, faktor yang bisa mengubah hukum asal dari sebuah pekerjaan mubah menjadi sunnah (awarid) maka semua pekerjaan para rasul hanya berada dalam hukum wajib dan sunnah saja. Syekh Muhammad Ad-Dasuqi mengatakan:

  وَأَمَّا لَوْ نَظَرَ اِلَيْهِ بِحَسَبِ عَوَارِضِهِ فَالْحَقُّ أَنَّ أَفْعَالَهُمْ دَائِرَةٌ بَيْنَ الْوُجُوْبِ وَالنَّدْبِ لاَ غَيْرُ، لِأَنَّ الْمُبَاحَ لاَ يَقَعُ مِنْهُمْ  

Artinya, “Jika memandang dari faktor lain (yang mempengaruhi hukum dari pekerjaan para rasul) maka yang benar adalah semua pekerjaan para rasul hanya berputar dalam hukum wajib dan sunnah, bukan yang lain, karena pekerjaan yang hukumnya mubah tidak pernah terjadi pada mereka.” (Muhammad Ad-Dasuqi, Hâsyiyatud Dasûqi ‘ala Ummil Barâhain, [Maktabah Imam, Surabaya: 2000], halaman 182).  

Menurut Syekh Ad-Dasuki, semua utusan Allah tidak pernah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang hukumnya mubah, karena semua pekerjaan tidak dilakukan dengan kehendak dirinya sendiri (syahwat), namun setidaknya disertai dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Atau bisa juga dengan tujuan mencontohkan sebuah syariat (tasyri’) kepada umatnya.

Dengan tujuan itu, secara otomatis menjadikan semua pekerjaan-pekerjaan mereka termasuk dari ajaran (ta’lim) kepada umatnya. Dengannya, semua teladan para rasul yang awalnya berhukum mubah akan menjadi bernilai ketaatan di sisi Allah disebabkan tujuan mulia tadi. Sedangkan melakukan ketaatan kepada Allah mempunyai hukum setidaknya sunnah.   

Berkaitan dengan penjelasan di atas, Syekh Az-Zarnuji menyampaikan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam:

  كَمْ مِنْ عَمَلٍ يُتَصَوَّرُ بِصُوْرَةِ أَعْمَالِ الدُّنْيَا وَيَصِيْرُ بِحُسْنِ النِّيَةِ مِنْ أَعْمَالِ الْأَخِرَةِ

Artinya, “Betapa banyak suatu pekerjaan yang bernilai dunia (mubah), namun disebabkan baiknya niat menjadi pekerjaan akhirat (mendapatkan pahala).” (Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, [Bairut, Darul Kutub: 2000], halaman 4).  

Semua pekerjaan dan ucapan yang disampaikan para rasul tidak lepas dari pantauan-Nya secara langsung. Seolah Allah menghendaki para utusan-Nya tidak pernah melakukan kesalahan sedikit pun. Toh jika memang melakukannya, Allah akan menegurnya secara langsung. Seperti Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengatakan suatu apa pun dengan kehendaknya sendiri setelah diangkat menjadi nabi. Begitu pun para rasul lain. Allah berfirman:

  وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى، إنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى

Artinya, “Dan tidaklah diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)  

Menurut ulama ahli tafsir, ayat ini menyatakan tentang terjaganya lisan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dari segala hawa nafsu dan tujuan yang salah. Ia tidaklah berbicara kecuali dengan apa yang diwahyukan kepadanya dari Allah. Ia juga tidak pernah mengatakan kecuali apa yang diperintahkan kepadanya, kemudian menyampaikannya kepada umatnya secara utuh dan sempurna, tanpa pengurangan maupun penambahan.   

Para rasul yang oleh Allah  diberi mandat sebagai uswah (teladan) bagi umat manusia di muka bumi selalu menampakkan etika, pekerjaan, ucapan, dan semua perbuatannya dengan penampilan yang baik. Analoginya begini. Para rasul Allah di muka bumi merupakan manusia pilihan yang Allah pilih untuk menyampaikan risalah kenabian. Mereka datang sebagai sosok penyelamat manusia dari kebodohan dan kesesatan menuju kehidupan berilmu dan hidayah.

Dengannya Allah memerintahkan semua makhluk untuk menjadikan para rasul sebagai teladan yang dijadikan panutan. Tentu jika para rasul melakukan kesalahan, baik yang hukumnya makruh atau khilaful aula, maka umatnya juga dituntut melakukan pekerjaan-pekerjaan tidak baik itu. Sedangkan yang dinamakan ketaatan hanyalah untuk perbuatan baik tanpa menyalahi syariat sedikit pun. Maka tidak logis jika pembawa risalah dari Allah memerintahkan sebuah keburukan. (Ad-Dasuqi, Hâsyiyatud Dasûqi, halaman 181).  

Sebab itu, semua perbutan yang dicontohkan para rasul tidak ada yang berhukum haram, makruh, khilaful aula maupun mubah, karena Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti semua jejak langkah yang dicontohkan oleh mereka tanpa harus diperinci. Seolah Allah hendak menyampaikan bahwa semua tindakan para rasul adalah baik dan harus diikuti tanpa mengomentari dan memerinci.

Semua perbuatan jika sudah dilakukan oleh para rasul maka menunjukkan perbuatan itu baik, kecuali beberapa perbuatan tertentu yang Allah khususkan bagi mereka, maka tidak dianjurkan diikuti. Bahkan haram bagi manusia lain untuk mengikutinya.

Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.  

Sumber: islam.nu.or.id


Tauhid Terbaru