• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 30 April 2024

Syariah

KOLOM KH IMAM NAKHA'I

Apakah Babi Najis?

Apakah Babi Najis?
Apakah Babi Najis?
Apakah Babi Najis?

Di sela sela istirahat makan siang di Kantor Komnas Perempuan, terjadi diskusi seru antara saya, Bang Veryanto Sitohang  yang Nasrani, Cak Bahrul Fuad  yang Muslim, dan Teh Dewi Kanti sebagai penganut Agama leluhur. 


Bang Veryanto Sitohang bercerita. Suatu hari kedatangan tamu yang muslim.  Hari itu kebetulan kawanku ini sedang memasak daging Babi. Melihat ada kawannya yang muslim bertamu, ia buru-buru menyembunyikan daging babinya dalam satu almari. Karena ia mendengar bahwa babi najis, menurut Islam. Ia lakukan itu untuk menghormati kawannya yang muslim itu, dan agar suguhan-suguhan yang akan disajikan tidak membuat risih.  Al-hasil, kawanku yang Nasrani ini dan tamunya yang Muslim bercengkerama dengan asik dengan hidangan yang ternikmati dengan lezat.


Setelah tiga hari dari perjamuan itu, kawanku mencium bau yang tidak sedap di dapurnya. Dicarinya sumber bau busuk itu, jangan jangan ada tikus mati, batin nya. Capek mencari, tidak ketemu juga sumber bau busuk itu. 


Akhirnya ia perintahkan sahabatnya yang biasa menemaninya. Cari sumbernya, setelah saya pulang kantor sudah harus ketemu, perintahnya. Ketika berada di Kantor ia mendapat call dari sahabatnya, ketemu sumbernya, ucapnya. Ternyata, daging babi yang disimpan di almari tersembunyi itu ketemu sudah membusuk lengkap dengan belatung-belatung yang sudah gemuk. 


Dari kasus ini, muncul diskusi di sela makan siang itu. Bahrul Fuad kawanku yang muslim, menjawab, itu sudah benar, karena babi itu najis, wadah yang digunakan untuk memasak atau menggoreng ikut najis, minyak dan air yang tersentuh juga najis, bibir yang digunakan untuk makan daging babi juga najis, gelas yang digunakan untuk minum juga bisa najis karena tersentuh bibir yang najis. Pokoknya yang apapun yang berhubugan langsung menjadi najis. Tegas Cak Fu, begitu kawan memanggil Bahrul Fuad.


Kawanku yang Nasrani ini, menoleh ke arahku sambil senyum senyum seakan ingin mencari jawaban yang solutif. 


Akhirnya sambil guyonan saya menjawab. Sesungguhnya Ulama tidak bersepakat soal "kenajisan babi". Haram iya, mereka sepakat. Tapi soal Najisnya mereka tidak sepakat. Bahkan dalam kitab "sirahu al-wahhaj" dikatakan, tidak ada dalil yang qaht'iy (menyakinkan) tentang kenajisan babi, bahkan kehendak madzhab syafi'iy, seharusnya babi suci, seperti harimau, macan dan sejenisnya. Dalam kitab itu dikatakan: 


وقال ابن المنذر: وأجمعوا على نجاسته، واعترض عليه بمخالفة مالك وأحمد.
لا جرم قال المصنف: ليس لنا دليل على نجاسته، بل مقتضى المذهب: طهارته كالأسد والذئب والفار.


Perbedaan itu antara lain berangkat dari tasir terhadap kata "رجس " dalam ayat  "فإنه رجس "- sungguh babi itu adalah "rijs". Apakah Rijs itu najis ainiyah (najis bendanya) ataukah najis hukmiyah (najis karena haram dimakan). Di sini ulama berbeda. Hal ini karena ada juga kata "najisun" yang secara dhahir tidak bermakna najis ainiyah (najis bendanya), yaitu dalam firman Allah "sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah "najis" ". Ayat ini jelas, menunjukkan bahwa orang musyrik bukan najis badannya, melainkan najis akidahnya.


Jadi gimana pak (bang Very biasa memanggil saya dengan "pak")? kata bang Very.  Ya ulama beda. Bang Very bisa ikut pendapat ulama yang mana saja. Loh saya kan Nasrani, masak ikut pendapat ulama? wah bapak ini menggiring saya untuk masuk islam ya. Saya hanya tersenyum. Saya dan bang Very memang suka meledek satu sama lain. Islam itu tidak menyulitkan, yang suka menyulitkan itu, ya umatnya sendiri, tegasku.


Pesannya, jika kita bertamu kepada sahabat, orang, kawan yang berbeda dalam keyakinan atau pandangan, pilihlah pandangan yang paling memudahkan jangan yang merepotkan. 


KH Imam Nakha'i, salah seorang Wakil Ketua LBM PBNU


Syariah Terbaru