• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 18 Mei 2024

Sejarah

HARI NUSANTARA 2020

Pemikiran Besar Djuanda Kartawijaya

Pemikiran Besar Djuanda Kartawijaya
Ir Djuanda Kartawidjaja, putra terbaik yang menjadi Perdana Menteri RI 1957-59. (Foto: Koleksi ANRI/Desain: Fahmi)
Ir Djuanda Kartawidjaja, putra terbaik yang menjadi Perdana Menteri RI 1957-59. (Foto: Koleksi ANRI/Desain: Fahmi)

Oleh Prof Sri-Edi Swasono
1.    Pada tahun 1905 tentara Jepang Tsushima memporakporandakan tentara Rusia. Kemenangan Jepang atas Rusia ini melahirkan “kebangkitan Asia”. 
2.    Imbasnya, tiga tahun kemudian, pada 20 Mei 1908, lahirlah gerakan nasional Boedi Oetomo, yang selanjutnya tanggal 20 Mei kita sebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional. 

3.    Pada tahun 1908, enam bulan setelah berdirinya Boedi Oetomo, Indische Vereniging didirikan di lingkungan mahasiswa Indonesia di Holand, dan pada tahun 1922 nama Indische Vereniging diganti dengan Indonesische Vereniging. Nama baru ini pada saat yang bersamaan mengetengahkan nama politis yang ditujukan untuk Ibu Pertiwi. Majalah Hindia Putra pun dirubah namanya menjadi Indonesia Merdeka. 

4.    Pada tahun 1927 Mohammad Hatta dan tiga kawannya ditangkap, dipenjarakan dan diadili di Pengadilan Den Haag. Pembelaan (pleidooi) Hatta berjudul Indonesiё Vrej. Dua tahun kemudian, pada tahun 1930 Soekarno pun diadili dan dipenjarakan di Bandung dengan pembelaannya yang berjudul Indonesiё Klaag Aan. 

5.    Pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta diadakan Sumpah Pemuda, salah satu tonggak utama dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Dalam Sumpah Pemuda ini ditegaskan perkataan “Bangsa Indonesia” (mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia). 

6.    Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menegaskan kebangsaan Indonesia: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Jakarta, 17 Agustus tahun 1945 Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno – Hatta. 

7.    “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l.” ditindaklanjuti: pada tanggal 27 Desember 1949 disetujui Perjanjian KMB terdiri dari delapan butir keputusan, antara lain butir (1). Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya tanpa syarat dan tidak dapat dicabut kembali. (2). Penyerahan kedaulatan itu akan 3 diberlakukan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949. (3). Tentang Irian Barat agar dirundingkan lagi dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan. 

8.    Barangkali “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l.” juga berlanjut dalam wujud Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957. “bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk dataran Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari parairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesi. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi kapal-kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mill diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar daripada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-Undang. 

Suatu deklarasi yang cermat, hebat, dan monumental. Dengan dikeluarkannya Deklarasi Pemerintah RI 13 Desember 1957, maka Ordonansi tahun 1930 tidak berlaku lagi di Indonesia dan garis teritorial laut Indonesia yang sebelumnya 3 mill menjadi 12 mill. Wilayah kedaulatan Indonesia yang semula 1,9 juta kilometer persegi, menjadi lebih luas 2,5 kali lipat, dari 2,027,087 kilometer persegi 4 menjadi 5,193,250 kilometer persegi, tidak termasuk Irian Barat. Dikemukakan oleh Nugroho Wisnumurti suatu catatan sejarah yang penting, deklarasi Pemerintah RI/Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957 di atas menunjukkan peranan yang menentukan dari Pak Chairul Saleh sebagai pendorong utama lahirnya Prinsip Negara Kepulauan dan Mochtar Kusumaatmadja adalah konseptor dari Prinsip Negara Kepulauan ini. 

Selanjutnya Deklarasi Pemerintah RI yang disebut Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957 yang konseptornya adalah Mochtar Kusumaatmadja itu dituangkan dalam UU No.4/Prp Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia. (Saat itu belum diakui oleh dunia internasional). Konsep yang kemudian dikenal sebagai Wawasan Nusantara yang memandang Indonesia sebagai kesatuan wilayah bangsa Indonesia dan negara yang utuh, darat dan lautnya tidak terpisah, diperjuangkan Mochtar Kusumaatmadja pada konferensi-konferensi PBB tentang hukum laut internasional. Peran Mochtar Kusumaatmadja sangat menentukan. 

9.    Ujung perjuangan yang sangat panjang, selama 25 tahun melalui perjuangan berat yang sangat gigih untuk memperoleh pengakuan internasional di PBB, akhirnya Indonesia memperoleh “kemenangan”, yaitu pada UNCLOS III (United Nations Conventions on the Law of the Sea), di Montego Bay, Jamaica, pada bulan Desember 1982. Para pimpinan heroik pada Konferensi Hukum Laut PBB ke-III ini adalah Prof. Dr. Mochtar Kusuma-atmadja (Ketua) yang pada saat itu menjabat 5 sebagai Menteri Kehakiman RI; Duta Besar Djajadiningrat (Wakil Ketua); Duta Besar Chaidir Anwar Sani (Wakil Ketua); Duta Besar Abdulah Kamil (Wakil Ketua); Marsekal Madya Soedarmono (Wakil Ketua); Marsekal Madya Subroto Yudono (Wakil Ketua); Duta Besar Dr. Hasjim Djalal (Wakil Ketua). Para anggota antara lain Sufri Yusuf, SH; Luhulima, SH; Nugroho Wisnumurti, SH.,LLM. dan masih banyak lagi. 

10.    Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957 membukakan cakrawala besar bagi Indonesia. Indonesia ibarat menjadi segar-bugar. Saya sendiri sebagai anggota Pokja GBHN pada WANHANKAMNAS merasakan pengaruh yang besar pada kalangan perumus draf GBHN yang harus dipersiapkan oleh WANHANKAMNAS. Dari Wawasan Nusantara itu dapat lebih lanjut dirumuskan perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Kesatuan Politik; Kesatuan Ekonomi; Kesatuan Sosial Budaya; dan Kesatuan Pertahanan Keamanan, masing-masing dengan uraiannya yang cukup mendalam. 

11.    Wawasan Nusantara memberi landasan untuk memperkukuh makna kebangsaan (nasionalisme) dan patriotisme Indonesia. Nasionalisme adalah paham yang mengutamakan kepentingan nasional, tentu tanpa mengabaikan tanggungjawab global. Bingkai daripada nasionalisme Indonesia adalah Wawasan Nusantara. Sementara patriotisme adalah tindakan atau perbuatan nyata dari sikap yang nasionalistis. 6 Pada awal kemerdekaan nasionalisme dan patriotisme digambarkan sebagai orang yang memanggul senapang, yang mengorbankan harta, darah, jiwa dan raga untuk memenangkan perjuangan kemerdekaan dan keberdaulatan. Namun bentuk dan wujud nasionalisme dan patriotisme masa kini sudah makin meluas, antara lain meliputi apa yang diperjuangkan oleh para diplomat Indonesia dalam menegaskan sovereignty dan territorial integrity Indonesia. Juga upaya-upaya keras untuk mengharumkan Indonesia oleh para olahragawan, seniman, ilmuwan dan para budayawan, ahli kuliner Indonesia dll. di dunia internasional. 

12.    Saat ini kita bicara tentang menyusutnya nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Integrasi dan kohesi nasional terkoyak. Bhinneka Tunggal Ika – Tan Hana Dharma Mangrwa tak sepenuhnya dilaksanakan dengan penuh ketaatan. Berbagai disintegrasi nasional terjadi oleh berbagai sebab musabab yang dapat dijelaskan, serta memerlukan solusi-solusi kedaruratan. Bahkan embrio nasionalisme sebagai tuahnya Mpu Tantular “Tan Hana Dharma Mangrwa” (tidak ada kebaktian yang mendua) – artinya tidak ada loyalitas ganda kecuali satu Ibu Pertiwi, telah dicemari dengan paham menyeleweng tentang dwi-kewarganegaraan. Indonesia pada dasarnya tidak mengenal loyalitas ganda, hanya mengenal loyalitas tunggal kepada Ibu Pertiwi. Inilah nasionalisme Indonesia. Tan Hana Dharma Mangrwa tertulis di bawah logo LEMHANNAS atas permintaan Presiden Soekarno, berarti merupakan perintah sakral dari Presiden pertama RI itu. 7 Lebih lanjut saat ini modernisasi sering diartikan sebagai Westernisasi, bahkan pula kadang-kadang diartikan sebagai “eksklusivisasi parochial” yang justru mengutuk modernisme yang mendekatkan pada puritanisme suicidal. Modrenisasi seharusnya diartikan sebagai memantapkan ke-Indonesiaan.

13.    Nasionalisme dan negara bangsa (nation state). Di kampus-kampus berkumandang paham “the end of nation state”, dan “the borderless world” yang dapat melemahkan paham nasionalisme. “…Negara bangsa merupakan dan akan tetap menjadi wujud realistis dan final dari institusi manusia di muka bumi… kewaspadaan adalah harga kemerdekaan yang setiap nasionalis siap untuk membayarnya…”. Saat ini kewaspadaan nasional samasekali diremehkan. Paham kebangsaan meluntur. 

14.    Saya mencemaskan bahwa cukup banyak anak-anak muda kita lebih menyukai produk impor tak terkecuali kuliner-kuliner luar negeri yang dijajakan di Indonesia, yang penuh import-contents dan mencederai produk dalam negeri. Di Amerika diperkenalkan semangat by American, American First dll, di Indonesia barangkali perlu pula digaungkan “beli yang Indonesia”, “cintai produk dalam negeri”, “nikmati kuliner Indonesia”. 

15.    Pemerintah Indonesia hendaknya tidak menggantungkan kepada produk impor yang rakyat kita sendiri mampu memproduksinya. Artinya pemerintah harus mengenakan lagi Daftar Negatif Investasi. 8 Saya ingin mengutip apa yang dikemukakan oleh Rajni Kotari (1976) “…We need to design a strategy which not only to produce for the mass of the people, but in which the mass of the people are also producers…”. 
(Kita perlu merancang strategi yang tidak hanya memproduksi untuk keperluan rakyat, tetapi rakyat juga harus menjadi produsen. Red).

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia.
 


Editor:

Sejarah Terbaru